Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan

KEMARIN, saya menuntaskan novel Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro GK. Saya cukup lama menantikan novel ini. Beberapa bulan lalu, saya terbius oleh promosinya yang jor-joran. Bahkan, saya kepincut setelah membaca blog khusus yang memuat bagian-bagian awal buku ini. Saya lalu memasukkannya dalam list buku yang wajib dimiliki. Apalagi, saya sudah membaca beberapa novel sebelumnya yang ditulis Tasaro seperti Galaksi Kinanthi dan Samitha.


Semula, saya agak kecewa dengan pihak penerbit Bentang yang lambat mendistribusikan buku. Mulanya, penerbit mengumumkan akan menerbitkan buku pada tanggal 1 Maret, kemudian molor lagi jadi tanggal 13 Maret. Tiba-tiba diumumkan akan akan launching pada 17 Maret pada acara Islamic Book Fair. Saat ke toko buku sesudah launching itu, saya belum bisa menemukan buku Muhammad. Akhirnya saya beli lewat situs online dan baru bisa dapat buku pada tanggal 29 Maret lalu. Inilah susahnya karena berumah di daerah terpencil. Tapi, seorang kawan di Makassar menuturkan bahwa hingga kini, ia belum menemukan buku tersebut di rak-rak toko buku. Dengan promosi yang demikian selangit, sungguh disayangkan jika penerbit membuat banyak orang menunggu-nunggu dan penasaran dengan novel ini.

Tapi untunglah penantian yang lama itu akhirnya terbayarkan setelah buku berada di tangan. Saya langsung membacanya dengan lahap sebagaimana santapan lezat yang harus segera dituntaskan. Novel ini berukuran agak besar dan cukup tebal, yakni 543 halaman. Hurufnya juga tidak terlalu besar. Saya butuh waktu sekitar tiga hari untuk menuntaskan novel setebal ini. Mungkin karena saya membaca dengan cara menyicil. Padahal, biasanya, saya menuntaskan novel hanya dalam waktu satu atau dua hari.

Secara umum, novel ini terdiri atas dua bagian. Pertama, kisah tentang pemuda Persia bernama Kashva, seorang terpelajar yang menghuni kuil Sistan. Ia membaca perkamen-perkamen kuno dan meramalkan lahirnya sosok manusia sempurna yang kelak ajarannya akan menguasai seluruh dunia. Ia membaca kitab Zardust, kitab suci para penganut Zoroaster, dan menemukan bait-bait yang meramalkan hadirnya sosok tersebut. Penguasa Persia, Khosrou, murka besar. Kashva menjadi buronan dan berpindah-pindah demi mencari kebenaran atas pencariannya. Ia lalu pindah ke Suriah, India, hingga mendaki ke Tibet, negeri atap langit. Perjalanannya adalah perjalanan mencari kebenaran, misi suci yang diyakininya akan menyibak lapis-lapis misteri yang selama ini memenuhi ruang berpikirnya. Perjalanan Kashva menjadi bahagian penting dari novel ini.

Kedua, novel ini hendak mengisahkan tentang Muhammad SAW yang kehadirannya telah dinubuatkan dalam berbagai tradisi dan keyakinan. Para penganut Buddha meramalkan hadirnya sosok Maitreya yang bertubuh emas. Penganut Zoroaster menyebutnya Astvat Ereta, seorang nabi yang dijanjikan. Seorang Pendeta Kristen bernama Bahira malah menujum Muhammad sebagai Himada, sosok yang akan membawa keagungan di rumah Tuhan. Kemudian kitab kuno umat Hindu, Kuntap Sukt, meramalkan hadirnya sosok yang menghadirkan hujan wahyu, seorang lelaki pengenggam hujan yang kelak memberikan kesegarannya kepada seluruh umat manusia. Dan Lelaki Pengenggam Hujan yang dimaksud tersebut adalah Muhammad, seorang rasul yang lahir di tengah bangsa Arab yang jahiliyah. Ia membawa hujan dan pencerahan sebagai jalan terang bagi siapapun untuk meniti kehidupan dunia dan akhirat. Ia menampilkan kebajikan dan ahlak, dan menjadikan dirinya sebagai prasasti hidup atas kebijaksanaan dan prototipe ideal serang Muslim yang menjadi rahmat bagi semesta.

***

kaligrafi Muhammad
SAYA mencatat ada beberapa kelebihan novel ini. Pertama, gaya bahasanya amat indah dan meliuk-liuk serasa membaca sebuah novel bergenre sastra. Saya menikmati gaya bahasa yang indah tersebut, meskipun pada beberapa tempat saya seringkali termenung lama memikirkan maknanya. Dan saya sendiri tidak terlalu terkejut menemukan bahasa yang indah untuk menggambarkan Rasulullah. Malah, saya berpikir bahwa apapun gambaran tentang Rasulullah, maka itu harus lahir dari bahasa yang paling indah dan jernih. Bersetuju dengan Imam Ayatullah Khomeini, saya akan mudah tersinggung dengan gambaran yang menjelek-jelekkan Rasulullah. Dan bukankah –sebagaimana pernah dikemukakan Jalaluddin Rumi-- sejak ratusan tahun lalu, para sufi dan penyair telah membakar dirinya melahirkan bait-bait yang indah sebagai pertanda kecintaan kepada Muhammad? Sejak ratusan tahun silam, para sufi telah terkapar saat menggambarkan kerinduan akan sosok Muhammad, sosok yang memantik cahaya pencerahan. Ribuan syair dan puisi telah dilahirkan demi mengungkapkan bahasa kerinduan yang kian lama kian berkobar dalam diri mereka yang setiap saat menyebut nama Rasul hingga tergetar. Dan bukankah keimanan atas Muhammad adalah salah satu pilar utama dalam rumah kokoh bernama akidah Islam?

Hingga kini, saya masih terpesona dengan penuturan salah satu intelektual Muslim asal Pakistan, Sir Muh Iqbal, dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kata Iqbal, “Tuhan dapat kau ingkari, namun Rasul tidak.” Anda bisa mengabaikan keberadaan Tuhan, namun tidak dengan Rasulullah. Iqbal hendak menegaskan bahwa Rasul adalah prasasti hidup yang telah membumikan semua pesan Allah di muka bumi. Rasul Muhammad adalah segi aktivitas Allah yang dapat dilihat. Muhammad adalah potensi ketuhanan yang mengaktual, seorang manusia sempurna, yang seumpama cahaya bersinar terang benderang dan memberi suluh bagi seluruh umatnya. Dalam syairnya, Iqbal mengatakan, ”Duhai Rasul Allah, dengan Allah aku berbicara melalui tabir-tabir, denganmu tidak. Dia yang tersembunyiku, dikau yang nyataku.”


Kedua, novel ini mengajak kita untuk mengenali Muhammad secara personal. Kita diperlihatkan gambaran tentang Muhammad yang historis, dalam satu setting ruang dan waktu. Muhammad yang hadir dalam novel ini bukan hanya sosok yang menyandang pesan langit dan menerima mukjizat kenabian untuk alam semesta, bukan sekadar sosok yang bisa memberi rekomendasi bagi langit untuk menjatuhkan azab bagi kaum yang mengingkarinya. Novel ini mendekatkan kita dengan Muhammad, merasakan degup jantung kecintaannya pada umat, merasakan cinta umat kepadanya yang mengalir melalui seluruh pembuluh darah.. Kita pun ikut tegang ketika Muhammad dalam pilihan-pilihan sulit. Muhammad disapa dengan panggilan Engkau. Ini mengingatkan pada syair Al Burdah yang ditulis Bushiri, seorang penyair yang dalam kesengsaraannya senantiasa berpaling pada Nabi dan menulis sajak untuk memuliakannya. Sebagaimana kalimat dalam Al Burdah yang amat dekat dengan Muhammad, novel inipun demikian. Saya mendapat kesan bahwa Muhammad adalah sosok yang menyejarah, lahir dan dewasa dalam konflik antar suku di jazirah Arabia, menerima pesan kenabian dan berikhtiar untuk menyebarkan Tauhid ke segenap penjuru bumi. Saya diperlihatkan sosok Muhammad sebagai manusia biasa yang harus berdialektika dengan berbagai karakter ataupun watak jahat yang membencinya. Muhammad yang mentransformasikan semua benci dan amarah menjadi selaksa cinta. Muhammad yang menjadi telaga demi menyejukkan semua amarah, menelan semua kebencian, dan mengubah semuanya menjadi bahtera kecintaan kepada Tuhan.

Ketiga, lewat pengembaraan pemuda Persia bernama Kashva, kita seolah ikut berkelama menemukan kebenaran dan melewati banyak negeri-negeri. Deskripsi dalam novel ini sangat kuat sehingga kita seolah bisa membaui kuil-kuil di Persia, bisa merasakan teriknya matahari yang membakar di dataran tinggi India, hingga merasakan bagaimana terjalnya pendakian menuju Tibet, negeri atap langit. Saya paling suka deksripsi pada bagian awal novel mengenai kabar tentang Muhammad yang tiba di beberapa titik yakni pinggir Kota Isfahan (Persia), Danau Zhaling di kaki Gunung Anyemaqen (Tibet), tengah gurun di sebelah barat Laut Merah (Mesir), Lembah Narmada (India), dan Pelabuhan Barus (Nusantara). Deskripsi di lima titik itu amat menawan dan menghadirkan kesan bahwa nama Muhammad berdesir hingga ke negeri-negeri yang jauh, menjadi berita gembira tentang keindahan ahlak dan akan datangnya sebuah ajaran yang memandang semua manusia sama di hadapan Tuhan, sebuah ajaran yang membebaskan manusia.

***

SAYANGNYA, saya sempat terganggu dengan beberapa kerikil-kerikil dari novel ini (untuk tidak menyebutnya sebagai kelemahan). Pertama, novel ini terlampau panjang sehingga agak menjemukan. Bagi yang sering membaca sejarah Muhammad, novel ini tidak menawarkan sesuatu yang baru dan menyegarkan. Mungkin karena penulis novel amat bersetia dengan sejarah hidup Muhammad, makanya kisah-kisah yang disampaikan jadi kehilangan unsur-unsur kejutan. Kita jadi tahu apa ending dari semua cerita tersebut. Kita kehilangan deg-degan dan rasa penasaran sebagaimana halnya ketika membaca sebuah novel. Padahal, saya berharap ada eksplorasi data-data sejarah ataupun interpretasi dalam novel ini. Mungkin ini terlalu terjal untuk ditempuh penulis novel. Saya hanya bisa menebak-nebak, kesulitan utama dalam menuliskan kisah ini adalah karena sedemikian kuatnya figur Muhammad sehingga kisahnya mudah ditemukan dalam berbagai buku maupun sejarah. Ketika terdapat adegan yang tidak sesuai fakta sejarah, maka kritikan akan deras mengalir. Penulis novel hanya mengisahkan ulang kisah hidup dalam bahasa puitik sehingga lebih mirip sebuah esai panjang dan dialog-dialog secara mendalam dari hati ke hati dengan Rasulullah. Tanpa mengkesplorasi naskah-naskah kuno itu secara lebih jauh.

makam Muhammad

Kedua, bagian akhir (ending) novel ini terlampau datar. Saya masih menyesalkan kenapa dua kisah yang dieksplor yakni Kashva dan Muhammad tidak bertemu pada satu titik. Hingga bagian akhir, dua kisah utama dalam novel ini tidak bertaut sehingga terkesan datar-datar saja. Muhammad berhasil memenangkan perang dan memasuki Makkah dengan kepala tegak, namun Kashva tidak berhasil menggapai kota Yatsrib untuk bertemu sosok yang dijanjikan dalam kitab-kitab. Saya bukan seorang pembaca novel yang intens. Tapi dari sedikit novel yang saya baca, bagian ending selalu merupakan klimaks atau konklusi dari beberapa cerita yang dihamparkan pada lembaran-lembaran awal. Tapi dalam novel ini, dua kisah yang dijalin, sama sekali tidak bertemu di satu titik. Saya menyayangkan mengapa keduanya tidak bertaut. Padahal, pada halaman 182, saat membahas pemuda Persia bernama Salman Al Farisi, di situ sempat tertera gumaman Salman yang menyebut Mahsya, sahabat Kashva. Sayang sekali, jejak ini tidak dilanjutkan dalam lembar-lembar berikutnya. Padahal, sosok Salman Al Farisi bisa menjadi jejak yang mempertautkan dua kisah tersebut.

Saya tidak paham. Mungkin ini adalah gaya atau style bertutur yang dipilih penulis. Tapi saya pernah melihat kisah yang menggabungkan data sejarah hidup seorang suci dan kisah lain yang kemudian bertaut. Saya teringat film Little Buddha (1993) yang dibintangi Keanu Reeves dan disutradarai Bernardo Bertolucci. Isinya tentang kisah pencarian reinkarnasi seorang rahib yang telah meninggal. Dalam kisah tersebut terseliplah kisah hidup Buddha Gautama yang dikisahkan secara kronologis. Pada bagian awal film, muncul beberapa rahib yang menemui sebuah keluarga di Amerika demi memastikan bahwa anak keluarga itu adalah reinkarnasi seorang guru yang telah meninggal. Di tengah pencarian itu, terselip kisah-kisah hidup Buddha yang dikisahkan pada sang anak agar memahami masa lalunya dengan baik. Kisah pencarian seorang guru, dan kisah Buddha menjadi dua kisah yang saling mengisi dan memperkaya sajian film tersebut. Kedua kisah itu lalu bertaut pada akhir film di mana reinkarnasi sang rahib telah memecah dalam tiga tubuh anak kecil, yakni anak kecil di Amerika, anak kecil di Kathmandu, dan seorang anak perempuan di Bhutan. Sebuah pertautan yang sangat cerdas.

Ketiga, novel ini tidak merekam secara utuh kehidupan Rasulullah beserta sosok-sosok yang menyertainya. Novel ini hanya mengisahkan sepenggal kehidupan Rasulullah, khususnya saat menghadapi peperangan. Padahal, saya berharap novel ini juga mengisahkan Rasulullah sewaktu masih muda dan kanak-kanak. Saya ingin mengetahui proses ketika Rasulullah menemukan Tauhid atau pengakuan akan keesaan Tuhan sebagai pilar utama dalam agama Islam. Saya ingin melihat Muhammad sewaktu muda, kejujurannya, kebajikannya, dan sifat-sifat yang melekat padanya sehingga ia menyandang gelar Al Amin. Sayangnya, gambaran itu tidak tersedia dalam novel.

Novel ini tidak mengisahkan secara lengkap mereka-mereka yang dekat dengan Rasulullah. Tokoh yang paling banyak disebut adalah Aisyah, Abubakar Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Mereka dibahas dalam bab-bab tertentu dalam novel. Aneh, saya tidak menemukan satupun bab khusus yang membahas Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra. Ada apakah? Padahal dua sosok ini punya kecintaan yang dahsyat kepada Rasulullah. Keduanya telah mendedikasikan dirinya di jalan Tuhan demi menegakkan ajaran Rasulullah. Saya merindukan kisah-kisah tentang kefasihan Ali sebagai pintu ilmu, bukan hanya kehebatannya dalam Perang Khaibar, tapi kefasihannya dalam berbicara sehingga lahir kumpulan pidatonya byang amat indah berjudul Nahjul Balaghah. Saya juga mencari-cari di manakah ada pembahasan tentang perempuan suci Fathimah Az Zahra. Sayangnya, saya hanya menemukan lebih banyak kisah tentang Aisyah dalam novel ini.

***

APAPUN itu, saya merekomendasikan novel ini sebagai novel yang mengasyikkan untuk dibaca. Meskipun bahasanya agak berat bagi masyarakat awam, namun saya yakin ada segmen pembaca yang menantikan kehadiran novel ini. Pesan penting yang saya kira bergema adalah kecintaan kepada Muhammad adalah napas yang menggerakkan semua proses penyelesaian novel ini. Untuk itu, saya mengapresiasi Tasaro selaku penulis novel yang telah berpayah-payah dengan riset untuk menuliskan ulang kecintaannya pada sosok luar biasa ini. Selamat membaca!



Pulau Buton, 5 April 2010
Saat bersiap-siap memancing cumi-cumi

5 komentar:

The Setiawans mengatakan...

saya setuju dengan bagian akhirnya yg terkesan kisah kashva terpisah dari kisah yg terjadi di Mekah. Malah saya pikir bakal ada sekuelnya (ada ga ya?).

saya rasa novel ini bisa dinikmati oleh semua orang termasuk orang awam (seperti saya hehe). Terlihat sekali sapaan penulis untuk sang nabi sangat indah, pas sekali untuk menggambarkan sosok sang lelaki penggenggam hujan.

desy mengatakan...

Agak berat euy gaya bahasanya, saya lebih suka baca novel sejarah "Sulaiman & Queen Sheba" karya Waheeda El-Humayra dengan gaya bahasa yang lebih ringan dan cukup sekali baca dah ngerti.

Kios Aneka mengatakan...

sy muat di tribun ya...: la firi

Anonim mengatakan...

mantap bang SINOPSISNYA

sesekali bergetar dada ini mendengar saudara ucapakan Nama MUHAMMAD SAW...

Dinda mengatakan...

Boleh dicoba nih untuk memperbanyak referensi tentang Rasulullah selain sirah nabawiyah. terima kasih resensinya =)

Posting Komentar