Mencicipi Kuliner, Mencicipi Kebudayaan

bersama Bondan Winarno

DALAM satu acara di Denpasar, Bali, saya bertemu dengan Bondan Winarno, seorang presenter acara kuliner di televisi yang cukup tersohor di negeri ini. Kebetulan pula, kami bertemu dalam satu acara makan siang sehingga bisa ngobrol banyak hal sambil tertawa-tawa. Memang menyenangkan berbincang dengan Bondan. Bukan saja wawasannya yang luas karena sudah bertualang di banyak tempat, melainkan juga karena penguasaannya atas khasanah sejarah, serta rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik sebuah kuliner atau masakan.

Sebagai jurnalis senior, ia sangat menyenangkan diajak ngobrol, apalagi saat diajak membahas tentang berbagai jenis makanan di berbagai daerah-daerah. Kata Bondan, hampir semua daerah memiliki khasanah pusaka yakni aneka kuliner yang hingga kini masih lestari. Ia menolak anggapan bahwa masuknya berbagai kuliner impor akan mematikan semua kuliner lokal. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kuliner asing itu yang terancam gulung tikar oleh kuliner lokal.

“Kita sering khawatir sama pengaruh McDonald. Padahal, gerainya di seluruh Indonesia nggak lebih dari 115. Malah jumlahnya makin berkurang. Demikian pula dengan Starbuck yang bangkrut di mana-mana. Orang Indonesia berpikir, ngapain ngopi di Starbuck dan harus bayar sampai 50 ribu rupiah. Mending ngopi di pinggir jalan. Di Bali ini, harga ngopi di pinggir jalan cuma dua ribu rupiah. Padahal kenikmatannya sama saja,” katanya.

Bondan hendak menjelaskan betapa tangguhnya para pengusaha kuliner kita. Bahkan, saat krisis menerjang, justru para pengusaha kuliner yang paling tangguh menghadapinya. Ia menjelaskan jika dihitung secara kuantitatif, maka jumlah pengusaha kuliner bisa sampai separuh dari jumlah pengusaha di Indonesia. “Pengusaha kuliner itu bukan cuma tukang masak saja. Sebab semua peternak, pedagang ayam, juga masuk dalam kategori pengusaha kuliner. Demikian pula petani. Mereka semua menyediakan bahan untuk kuliner,” katanya. Sayangnya, pemerintah tidak begitu peduli dengan pusaka kuliner. Padahal, jika kuliner dikelola dan dikemas secara kreatif, maka akan menjadi satu kekayaan budaya serta potensi wisata yang sangat besar.

“Sebenarnya, ini kan soal kemasan. Kita tidak mengemas kuliner kita secara kreatif. Misalnya saja di bali ini kita mengenal menu bernama Pencong. Ini masakan ayam yang amat enak. Pada masa lalu, resep ini hanya dibuat ketika ada ayam aduan yang kalah. Andaikan sejarah ini diceritakan, pastilah semua orang akan ngiler dan penasaran untuk mencoba,” lanjutnya lagi.

Inilah yang saya sukai dari Bondan. Ia menjelaskan aspek-aspek sejarah yang bersemayam di balik setiap kuliner sehingga kita jadi penasaran untuk mencobanya. Ternyata di balik setiap masakan atau kuliner, terselip demikian banyak kisah-kisah yang bisa dieksplorasi dan menunjukkan bagaimana sebuah kebudayaan tumbuh dan berkembang. Ternyata, kuliner bisa menjadi sebuah jendela atau pintu masuk untuk menjelaskan banyak hal. Mulai dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di suatu tempat, bahan-bahan alami yang mudah ditemukan, hingga pelapisan sosial ketika satu kuliner di masa silam hanya dikonsumsi oleh keluarga bangsawan.

Ternyata kuliner bisa menjadi starting point untuk menjelaskan kebudayaan secara lebih luas. Dalam khasanah ilmu sosial yang menganut logika induktif, kuliner menjadi pintu masuk yang akan membawa seseorang memasuki jantung sebuah kebudayaan melalui pengenalan akan khasanah alam, serta dinamika dan interaksi antar manusia yang ada di dalamnya. Melalui kuliner bernama Pencong tersebut, kita bisa mengenal lebih jauh tradisi sabung ayam, potensi alam Bali, serta bagaimana dinamika manusia-manusia Bali yang mengolah kuliner tersebut.

parende ikan merah

Saya sendiri teringat cerita tentang jenis ikan merah di Pulau Buton. Pada masa kesultanan, setiap kali seorang nelayan Bajo menemukan ikan tersebut, ia akan segera mengantarnya ke keraton untuk diserahkan kepada sultan. Kisah ini jelas menarik sebab membuka lapis-lapis realitas sosial tertentu. Mulai dari fakta interaksi orang Bajo dengan pihak kesultanan, posisi seorang sultan sebagai simbol pemimpin negeri yang dicintai seluruh warga, hingga bagaimana konsep ikan yang enak dan tidak enak, dalam konsepsi orang-orang Buton. Kesemuanya adalah lapis-lapis kenyataan yang bisa diketahui hanya dengan mengetahui cerita tentang ikan merah yang ditemukan para nelayan Bajo dan diserahkan ke istana.

Kelemahan Bondan adalah ia mencicipi kuliner sebagaimana layaknya seorang turis. Bahkan, ketika menulis kuliner, ia menuliskannya sebagai makanan enak belaka, tanpa mengurainya secara lebih dalam, tanpa menjelaskan dinamika-dinamika sosial serta bagaimana manusia memaknai kuliner itu di sepanjang sejarah dan peradaban. Mungkin inilah yang menjadi tantangan bagi para ilmuwan sosial dan akademisi kita. Tantangan untuk memulai studi kebudayaan melalui perspektif kuliner.(*)


0 komentar:

Posting Komentar