BH Impor dan Celana Jeans

Pudarnya Makna Merek di Pulau Kecil


HARI ini saya mengantar ibu berbelanja ke Pasar Wameo, yang terletak di Kota Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Saya menyaksikan sebuah lapak-lapak yang menjajakan aneka BH impor yang dikerubuti banyak perempuan. Lapak itu baru saja menggelar dagangannya berupa BH impor yang diobral murah, hanya sekitar Rp 2.500. Saya mengenali satu di antara perempuan yang mengerubuti dagangan tersebut. Saat mendekat, perempuan itu menunjukkan sebuah BH kepada saya sambil berteriak, ”Gila Yus… Di Jakarta, harganya bisa ratusan ribu. Di sini, harganya cuma dua ribu lima ratus rupiah. Wow!!!” 

BH impor yang dijual di lapak-lapak

Beberapa hari yang lalu, saya juga menemani seorang peneliti LIPI yang bergelar doktor, alumnus perguruan tinggi ternama di Perancis. Ia hendak mewawancarai seorang nelayan di tepi Pasar Wameo. Saat sedang asyik berbicara, sang doktor tersentak melihat baju si nelayan. Ia memperhatikan gambar buaya dan lalu berteriak “La Coste. Ini kan baju yang sangat mahal di luar negeri?”

Lebih terkejut lagi saat sang doktor menyaksikan sepatu sang nelayan yang bermerk Adidas tipe koleksi khusus yang amat sulit didapatkan. Ia lalu melihat ke sekeliling dan menemui fakta bahwa rekan-rekan nelayan itu juga memakai baju merek mahal saat sedang menjajakan ikan. Ia kebingungan dan menoleh ke saya untuk mendapatkan jawaban. Saya hanya tersenyum dan menjelaskan bahwa di pulau ini, merek-merek mahal adalah hal biasa sebab warga membelinya dengan harga murah. Kok bisa? Sebab merek mahal itu dijajakan sebagai pakaian bekas yang laris di lapak-lapak kecil atau digelar begitu saja di tanah. 

Sang doktor itu jelas amat terkejut. Ia belajar amat keras hingga ke luar negeri demi perbaikan ekonomi, agar mengenakan pakaian merek-merek mahal. Baginya, merek mahal adalah semacam sosialita atau etiket untuk memasuki pergaulan di tingkat jetset atau tingkatan elite (sstt… bukan ekonomi sulit lho). Tapi di sini, di pulau kecil ini, merek mahal kehilangan nilai sosial dan nilai estetisnya sebab menjadi barang murah yang dijual secara obral dan bisa dijangkau siapa saja. Di pulau ini, merek seperti Nike atau Adidas diturunkan statusnya menjadi merek sepatu yang dikenakan seorang nelayan, sebagaimana yang ditemui sahabat saya, seorang doktor jebolan universitas di Perancis.

suasana penjualan RB
kaos kaki impor ikut dijual

Saya tidak sedang bercanda. Sejak saya masih kecil, berbagai barang merek ternama sudah membanjiri Kota Bau-Bau. Semua barang-barang tersebut adalah barang second atau barang bekas yang didatangkan dari luar negeri melalui kapal perdagangan antar pulau yang ilegal. Makanya, barang tersebut sering disebut barang selundupan yang tidak berizin.

Di Sulawesi Selatan (Sulsel), pakaian bekas itu dinamakan ”cakar” sebab saat membelinya, pakaian itu hanya dihamparkan di atas tikar, dan para pembeli mesti mengais-ngais seolah ayam yang sedang mencakar. Sementara di Pulau Buton sendiri, barang tersebut dinamakan RB (dibaca: erbe). Ada juga warga yang memplesetkan RB adalah singkatan dari Rombongan Bupati. Kata warga, ini singkatan dari kata ”rombengan” atau bekas. Entah sejak kapan istilah ini dipakai. Saya memperkirakan barang-barang tersebut mulai menjamur sejak tahun 1980-an, saat banyak pelaut Buton khususnya dari Wakatobi yang berlayar ke Singapura dan saat kembali membawa pakaian yang dimasukkan dalam karung tersebut.

Aliran Barang

Beberapa pedagang yang saya tanyai mengaku RB itu mereka datangkan dari Wakatobi. Sejak dulu, pelaut Wakatobi sudah dikenal sebagai pelaut ulung yang menjangkau negera-negara lain hanya dengan menggunakan kapal layar. Mereka punya seribu trik untuk melewati penjagaan patroli perbatasan atau petugas bea cukai. Kata seorang teman, para pelaut Wakatobi memiliki semacam mantra untuk mengelabui patroli perbatasan. Saat mereka merapal mantra, maka kapalnya akan lenyap, tidak nampak di mata para anggota patroli. Dan sejak tahun 1980-an, berbagai barang-barang ”impor” tersebut membanjiri Pulau Buton dan sekitarnya, hingga mencapai Sulawesi Selatan.

Pemerintah beberapa kabupaten di Sulsel sempat mewacanakan pelarangan barang tersebut. Tapi entah kenapa, larangan tersebut bagai nyanyi sunyi yang sayup-sayup terdengar. Lagian, siapa sih yang sanggup melarang sebuah mata rantai kebutuhan yang sudah terjalin lama dan melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Mulai dari pelaut, pedagang, hingga akhirnya tiba ke konsumen sebagai mata rantai terakhir. 

Para konsumen jelas tidak peduli dengan larangan tersebut. Mereka jelas menginginkan barang yang murah, bermerek, meskipun itu barang bekas. Saat pakaian itu dikenakan, tak mungkinj ada yang menanyakan apakah itu pakaian bekas atau tidak. Sepanjang bitu nampak gagah, anda bisa saja mengaku bahwa itu dibeli pada sebuah butik ternama di Perancis. Lagian, para pejabat secara diam-diam juga menjadi konsumen produk RB ini. Pernah sekali, saat saya sedang memilih-milih pakaian, saya berpapasan dengan seorang pejabat di Bau-Bau. Saat saya sapa, ia menjawab, ”Daripada kita beli mahal di Jakarta, lebih baik kita beli di sini. Murah meriah khan?” Benar juga Pak! 

Satu hal yang harus dicatat, RB tidak hanya pakaian berupa baju, celana atau BH. Jika suatu saat anda ke Buton atau Wakatobi, jangan terkejut jika melihat begitu banyak barang RB. Mulai dari sepatu, kaos kaki, tas, ransel, karpet bulu, selimut, gorden, tirai, hingga barang-barang elektronik seperti televisi, radio, handphone, hingga laptop. Bahkan, seorang kawan menuturkan bahwa di Wakatobi, banyak sepeda motor merk ternama yang merupakan barang RB. Jangan tanya soal harga, sebab harganya jelas jauh lebih murah daripada yang tertera pada label harga di kota-kota.

Bagaimana Menafsirnya?

Nah, bagaimanakah menafsirkan fenomena kehadiran barang-barang RB di Buton? Saya punya beberapa argumentasi. Terserah kepada Anda hendak bersepakat atau tidak. Pertama, dari sisi nasionalisme. Indonesia adalah negeri yang sejak dulu menjadi ’tempat sampah’ dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Mungkin saja tingkat pertumbuhan ekonomi di negara sekitar kita sudah sedemikian meninggi, sehingga tingkat konsumsi juga ikut meninggi. Dalam dunia konsumsi, berlaku istilah bahwa merk yang hari ini ngetrend, bisa saja akan tertinggal jauh keeskan harinya. Makanya, konsumsi yang terus digenjot, akan melahirkan banyak ”sampah-sampah” barang bekas yang kemudian dipasarkan ke negara sekitanya. Kita boleh saja sedih dengan fenomena ini. Tapi inilah faktanya.

Kedua, kehadiran barang-barang RB itu menjadi paradoks yang menarik untuk disimak. Bayangin, pada saat warga kota sibuk bekerja keras demi mengumpulkan pundi-pundi yang selangit demi mengejar barang bermerek, warga yang tinggal di pulau tiba-tiba saja mengenakan merek mahal, tanpa perlu bekerja keras. Mereka bisa mendapatkannya dengan harga murah, namun saat dikenakan bisa meningkatkan gengsi pemakainya. Gengsi? Tunggu dulu. Jika dikenakan di Bau-Bau atau Wakatobi, jelas menjadi barang yang kehilangan fungsi sosial dan estetisnya. Namun saat dikenakan di kota-kota besar, maka barang itu kembali mendapatkan fungsi sosialnya. Jangan terkejut dan depresi saat menyaksikan seorang nelayan kecil yang penghasilnnya hanya Rp 10.000 per hari, bisa ginta-ganti merek mahal. Itu sih biasa. Saya lebih suka menyebut fenomena ini sebagai olok-olok warga kampung terhadap warga kota. Artinya, warga kampung sedang mengolok-olok warga kota yang begitu gandrung dengan merek-merek mahal.

suasana penjualan RB

 Ketiga, fenomena ini mengisyaratkan perlunya kembali meninjau beberapa teori sosial yang membahas tentang merek dan gaya hidup. Beberapa teori dari Dick Hebdigge yang melihat karakter konsumsi modern, serta Erving Goffman yang melihat tubuh sebagai lanskap penyemaian gaya hidup modern, serta Pierre Bourdieu yang melihat selera dan gaya hidup sebagai sesuatu yang sudah dirancang secara sosial. Semua teori itu jelas kurang tepat untuk melihat fenomena merek mahal yang kehilangan makna di pulau-pulau kecil.

***

Sebagai seorang warga biasa, ngapain saya memikirkan berbagai teori sosial tersebut. Biarin itu jadi tugas para akademisi atau para ilmuwan sosial. Mending saya bisa belanja murah dan setelah itu bergaya dengan merek-merek mahal tersebut. Iya khan?


Pulau Buton, 7 April 2010
Saat kembali dari Pasar Wameo

3 komentar:

kasman mengatakan...

cakar, ada juga yang mengatakan singkatan dari "Cap Karung" karena pakaian cakar itu biasanya dibawa pakai karung...

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks bang kasman.banyak yg kasih masukan tentang cap karung itu. thanks

Anonim mengatakan...

POKOKNYA BARANG CAKAR(RB),HARUS DI LANCARKAN SEPERTI BARANG BARU LAINNY KE DAERAH-DAERAH TAMPA ADA YANG MENGINTIMIDASI DARI PIHAK-PIHAK LAIN.MOHON BANTUANNYA....RAJA PALOPO....

Posting Komentar