BANK Mega membangun pusat perkantoran yang megah di kawasan Tanjung Bunga Makassar, berdekatan dengan Trans Studio World, pusat hiburan keluarga yang juga dimiliki oleh owner Bank Mega. Di antara berbagai bangunan yang ada di Kota Makassar, barangkali bangunan ini bisa masuk dalam 10 bangunan termegah di Kota Makassar.
pusat perkantoran Bank Mega di Tanjung Bunga, Makassar |
Dari puluhan lantai bangunan tersebut, hal yang unik adalah tidak adanya lantai empat (4). Menurut informasi seorang kawan, angka 4 bagi warga keturunan Tionghoa adalah angka yang berarti mati dan tidak membawa hoki. Entahlah, apakah ini penjelasan yang sesungguhnya ataukah tidak. Yang jelas, inilah desas-desus yang beredar di masyarakat luas.
Jika saja desas-desus itu benar, artinya sedang terjadi mitologisasi pada tataran berpikir manusia modern. Di tengah zaman yang kian mengagungkan rasionalitas seperti ini, kita masih belum beranjak dari cara berpikir mitos. Padahal, kata sejumlah orang, proses berpikir melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari mitos, religi-metafisik, hingga positifistik, yang melandasi lahirnya ilmu pengetahuan modern. Namun nampaknya tidak demikian. Pada saat seseorang jadi sangat rasional dan positivistik, ia bisa saja masih berpikir mitologis.
pusat perkantoran Bank Mega |
Jangan heran kalau di kantor Bank Mega tersebut, tak ditemukan lantai empat. Sementara di banyak hotel besar dunia, juga tidak pernah ditemukan kamar 13. Bahkan, tak ada juga lantai 13. Jangan heran pula, bisnis paling marak saat ini adalah bisnis perdukunan. Seorang dukun bukan lagi seorang yang kumuh, tradisional, dan ndeso. Melainkan sudah bertransformasi menjadi sosok berjas, dan ke mana-mana selalu menenteng laptop. Pernah sekali saya ke rumah Ki Joko Bodo di Jakarta. Wow.. rumahnya megah seperti kastil dalam film Harry Potter. Di rumah itu, ada pula semacam pertapaan dan ruang-ruang gelap untuk mengamalkan meditasi, atau mungkin santet.
Kata Ki Joko Bodo, sebagaimana dilansir media massa, pelanggannya kebanyakan para politisi ataupun para pengusaha yang ingin sukses atau ingin menjegal lawan bisnisnya. Saya hanya bisa geleng kepala melihat kenyataan ini. Mungkin, tabiat zaman kita mulai aneh. Sesuatu yang irasional, tiba-tiba saja menjadi bagian dari kesadaran kita sendiri. Lantas, bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?
Saya teringat Van Peursen yang menulis buku Strategi Kebudayaan pada tahun 1974. Menurutnya, mitos adalah sesuatu yang tidak rasional, tidak didasari eksplanasi ilmiah, namun diterima begitu saja sebagai kebenaran. Masih kata Van Peursen, dahulu manusia tradisional menjawab semua fenomena alam melalui kisah-kisah mitologi. Bagi bangsa Norwegia, petir adalah kejadian ketika Dewa Thor mengayunkan kapaknya. Sementara bagi bangsa Jawa, gerhana bulan adalah proses ketika raksasa Batara Kala hendak menelan bulan. Pengetahuan-pengetahuan itu jelas tidak keliru sebab pada masanya bisa menuntaskan dahaga keingintahuan manusia. Dan hadirnya pengetahuan modern secara perlahan memberikan penjelasan ilmiah atas semua gejala. Pengetahuan mitologi itupun mulai terkubur.
Tapi, tanda-tanda zaman kita mulai menunjukkan sesuatu yang aneh. Inilah zaman ketika mitos dan rasionalitas saling berbaur dan berkelindan menjadi satu. Malah, para pemikir seperti Habermas melihat kebenaran sains atau kebenaran ilmiah adalah mitos baru. Jangan-jangan, kita juga terlalu menuhankan metodologi ilmiah sebagai satu-satunya pengabsah atas kebenaran. Dan kalau diskusi ini diarahkan pada dunia politik kita, akan nampaklah gejala mitologisasi pada sejumlah tokoh politik. Seolah-olah politik adalah sesuatu yang hanya diwariskan pada sejumlah lingkaran keluarga saja.
Pada titik inilah bangsa kita sedang berpijak. Pada titik inilah benih-benih pemikiran post-modernisme mulai mewabah bagai cendawan. Meskipun pada akhirnya pemikiran ini akan terkubur juga sebagaimana puluhan gagasan dalam ilmu social lainnya, namun kita kelak akan menyaksikan satu fajar pemikiran baru yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Setiap pemikiran akan selalu berdialektika sebab ketika pemikiran itu statis, maka bisa menjelma menjadi mitos baru.
Satu pelajaran yang bisa dipetik, mitos dan rasionalitas adalah dua sisi mata uang koin yang saling melengkapi. Tidak saling meniadakan. Mungkin, inilahj penjelasan yang paling masuk akal hari ini. Atau, adakah penjelasan lain?
Makassar, 25 April 2010
3 komentar:
Kalau dalam ilmu sosial dikenal istilah mitos, dalam matematika dikenal istilah 'aksioma'. sesuatu yang benar dengan sendirinya. Manusia tidak akan bisa beranjak maju kalau tidak membuat asumsi mengenai hal-hal tertentu. kalau dalam perencanaan biasanya asumsi ini mendasari pengambilan angka nominal koefisien atau data-data tertentu. Gunanya adalah agar perhitungan bisa dilakukan. tanpa bilangan-bilangan tertentu itu, maka tidak akan tercapai satu kesimpulan atau rentang nilai nominal yang bisa dijadikan pijakan dalam mewujudkan rencana tersebut.
Kalau kita baca berbagai buku, artikel, dsb. maka kita seakan-akan diminta untuk menerima secara sukarela pendapat sang penulis, berdasarkan 'semacam aksioma' yang diakui bersama, bahwa itulah logika yang benar.
pertalian antara mitos dan logos, ada yg menyebutnya sbg gejala2 posmodern..
Yup. 100 points for u
Posting Komentar