Bali Menyimpan Bom Waktu

NAMANYA Nyoman. Usianya sudah sepuh, sekitar 60 tahun. Selama beberapa hari ini, ia menjadi tukang opjek pribadi yang mengantar saya mengitari sudut-sudut kota Denpasar. Selama perjalanan tersebut, saya selalu mengajaknya berbincang. Ia menikmati saat-saat ketika saya tercengang melihat sekeliling, tersentak melihat bule berbikini, hingga tersentak saat menyaksikan perkampungan internasional di sekitar kawasan Pantai Kuta.

berpose di depan bangunan milik asing

Kata Nyoman, dahulu ia punya tanah yang cukup luas di sekitar pantai. Namun semuanya tinggal kenangan. Ketika ditawar mahal oleh seorang investor, ia lalu melepas tanahnya. Hanya dalam hitungan tahun, hasil penjualan tanah itu sudah ludes. Ia banting stir menjadi tukang ojek yang setiap hari menawarkan jasa di sekitar Kuta. Di saat tidak ada penumpang, ia lalu duduk mengaso di sekitar pantai sambil melihat pemandangan. Ia hanya bisa menatap iri pada bule-bule yang lalu lalang dan menghabiskan uang di negeri ini. Nyoman hanya bisa sedih ketika melihat rerimbunan hotel, yang dahulu adalah tanah tempatnya bermukim bersama anak istri.

turis asing di jalan raya

Pada hari ini, Bali bukan lagi sebuah tempat eksotik di mana warganya hidup harmonis dengan pertanian yang subur atau laut yang melimpah bagi pata nelayan. Pada hari ini, Bali adalah sebuah kampong internasional yang penuh dengan hotel-hotel dan berbagai jasa pariwisata. Sebagai industri, pariwisata menjadi tumpuan serta napas yang memenuhi atmosfer. Di sini, setiap jengkal tanah menjadi lahan bisnis. Uang menjadi agama baru yang dikejar dengan penuh nafsu. Para pemodal raksasa menyerbu Bali dan menyingkirkan pria seperti Nyoman. Maka bertumbuhanlah berbagai hotel dan gedung-gedung yang menopang industri pariwisata. Bangunan-bangunan yang megah dan mentereng, yang hanya bisa disaksikan dari kejauhan --dengan penuh decak kagum—oleh warga setempat, seperti Nyoman.

“Dulunya semua gedung itu dimiliki investor lokal. Ternyata itu hanya kedok. Semuanya dimiliki bule,” kata Nyoman dengan menggeram. Setelah bertanya pada beberapa orang, barulah saya paham maksudnya. Ternyata, rata-rata pemilik semua infrastruktur pariwisata itu bukan lagi warga Bali. Warga Bali banyak yang hanya menjadi kaki tangan para investor. Mereka adalah pion-pion kecil yang tak berdaya ketika berhadapan dengan para pemilik modal. 

Kata Nyoman, para bule itu punya seribu akal untuk menyiasati aturan. Mereka memakai nama karyawannya untuk bertransaksi, membeli tanah, membangun property hingga memasarkan tanah tersebut. “Mulanya bule-bule itu mengontrak rumah. Lama kelamaan mereka melobi untuk membeli rumah tersebut. Karyawannya yang nota bene adalah oprang Bali lalu diminta bertandatangan dan mengurus surat-surat. Setelah itu, barulah si bule kembali mengelola rumah itu,” kata Nyoman.

Ada pula modus lain. Para bule itu menyewa rumah untuk jangka waktu hingga 10 tahun. Setelah itu, mereka merenovasi rumah tersebut, lalu dipasarkan melalui internet hingga ke manca negara. Ketika tamu berdatangan, mereka mulai menenggak untung. “Keuntungannya bisa belipat-lipat dari sewa rumah,” kata Nyoman lagi seraya menghembuskan asap rokok.

Saya hanya bisa masygul mendengar kisah Nyoman. Tiba-tiba saya teringat pengalaman seorang teman di luar negeri. Saat berkenalan dengan seorang warga asing, ia menyebut Indonesia. Sang bule justru tidak mengenal Indonesia. Teman lalu menyebut Bali. Bule itu langsung paham. Saat teman itu menjelaskan lebih lanjut tentang Bali sebagai bagian kecil dari Indonesia, warga asing itu langsung memprotes. “Bali is Bali. Not Indonesia,” katanya dengan kukuh.

Saat mendengar kisah itu, saya hanya tersenyum saja, tanpa paham maksudnya. Tapi, pengalaman berbincang dengan Nyoman seolah menerbangkan saya pada kisah seorang teman di luar negeri. Saya mulai paham mengapa Bali disebut bukan bagian dari Indonesia. Mungkin saja karena semua properti dan asset wisata sudah berpindah tangan. Orang bali bukan lagi pemilik yang punya otoritas mengatuir semuanya. Orang Bali hanyalah penonton yang melihat dari pinggiran. Banyak di antara mereka yang hanya menjadi pekerja biasa, menjadi kaki tangan dari sebuah perusahaan besar.

Bali menjadi bom waktu, yang menanti saat tepat untuk meletup. Jutaan warga miskin yang hanya menjadi pekerja biasa itu adalah sekam yang mudah dipantik oleh sebuah api kecil. Mereka adalah potensi sekaligus ancaman bagi harmoni kehidupan social yang telah dibangun slama ribuan tahun di tanah itu. Ini hanya soal waktu. Entah apakah kelak akan kita saksikan dentuan social itu, ataukah tidak.(*)


Denpasar, 9 April 2010

0 komentar:

Posting Komentar