JELANG azan mengalun di suatu Jumat, suasana Masjid Al Markaz Al Islami menyemut dengan manusia. Di jalan-jalan koridor yang dilewati para jamaah salat Jumat, para pedagang menggelar barang-barang demi menjajakan sesuatu. Mereka mengais rezeki dari ribuan jamaah salat Jumat yang memenuhi masjid termegah di Sulawesi Selatan itu.
Masjid Al Markaz Al Islami |
kubah masjid yang menjulang |
Saya tak pernah menghitung berapa kali salat Jumat di situ. Mungkin sudah tak terhitung. Tapi, hari ini saya tiba-tiba saja sibuk memperhatikan banyaknya pedagang yang memenuhi sekitar masjid tersebut. Dulu, --sewaktu masih kuliah—saya selalu menyempatkan diri untuk salat Jumat demi mendapatkan edisi majalah Tempo yang baru lewat seminggu. Dengan cara rajin membeli majalah bekas, saya seolah berlangganan majalah itu, meskipun ketika membacanya, saya harus berpikir mundur. Biasanya, saya juga tak hanya membeli majalah Tempo, melainkan juga beberapa buku loakan, serta tabloid Bola terbaru.
Hari ini, saya tak berniat membeli Tempo. Saya hanya memperhatikan banyaknya aktivitas di lantai dasar masjid. Mulai dari perpustakaan, taman kanak-kanak (TK), seni bela diri, koperasi, perkantoran, hingga kantin-kantin yang berderet rapi. Saya juga melihat aula yang selalu disewakan kalau ada acara perkawinan, maupun diskusi rutin. Kian banyaknya aktivitas di situ, membuat saya terus berpikir. Batin saya terus mencerna apa yang saat ini saya saksikan.
koridor yang penuh pedagang |
pedagang kaligrafi di Al Markaz |
pedagang parfum |
Mungkin ini adalah sebuah gambaran ideal bahwa sebuah masjid bukanlah sekadar tempat beribadah semata. Sebuah masjid bukanlah sekadar tempat di mana kita melafalkan dimensi kecintaan kepada Allah semata. Bukan pula sekadar portal untuk menyublimkan semua pengharapan kita tentang masa depan yang lebih baik. Sebuah masjid adalah sebuah sentrum (pusat) dari berbagai aktivitas. Tidak sekadar garis tegak lurus antara manusia dengan Tuhannya, melainkan juga garis horizontal di mana manusia saling mencari penghidupan demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Selama ini kita terlampau salah kaprah melihat masjid. Kealpaan kita manusia modern adalah saat mereduksi masjid sebagai ruang ruhaniah belaka, tanpa menjadikannya sebagai sumbu dari aneka aktivitas. Mestinya, masjid menjadi pusat segala aktivitas, sekaligus menjadi pusat dari berbagai kegiatan politik demi menyatakan suatu sikap terhadap apa yang terjadi di negeri ini.
Saya pernah membaca tulisan Kuntowijoyo tentang dinamika pasar dan masjid pada masa Rasulullah. Saya lupa persis bagaimana penjelasannya. Yang melekat dalam benak saya, pada zaman Rasul, masjid adalah oase yang sejuk untuk membahas berbagai masalah mulai dari masalah keagamaan dan spiritualitas, hingga masalah politik dan kenegaraan yang pelik. Sementara pasar adalah ruang tempat manusia mencari nafkah. Pasar adalah tempat manusia saling berkontestasi dalam sebuah sistem yang dikendalikan oleh kekuatan nilai, yang mata airnya memancar dari masjid. Masjid sebagai sumber nilai, dan pasar sebagai arena kontestasi, adalah bagian dari kekayaan khasanah peradaban Islam. Sinergi masjid dan pasar menjlema menjadi pilar utama yang menempatkan politik dan agama bisa disangga kekuatan ekonomi yang memadai. Melalui sinergi inilah, peradaban Islam mulai kokoh berdiri. Islam dijelmakan menjadi sesuatu yang mengubah sejarah, sesuatu yang mengubah peradaban.
Lantas, mengapa kita tidak berpikir untuk kembali merevitalisasi masjid sehingga fungsinya tidak hanya sebagai ruang spiritual saja? Ini menjadi pertanyaan yang mengiang-ngiang. Dugaan saya, pikiran kita terlanjur digerogoti pola berpikir sekuler yang mulai merasuki gelombang pemikiran sejak zaman pencerahan (renaissance) melanda Eropa. Kita adalah generasi yang dibesarkan oleh cara berpikir ilmiah, yang secara kultural tumbuh dari sengketa dengan cara berpikir keagamaan.
Para ilmuwan adalah nabi baru yang menggantikan para rahib. Dan kita terlanjur terbiasa memisahkan urusan dunia dan urusan akhirat. Urusan dunia bisa tumbuh seliar mungkin, sedangkan urusan akhirat akan serahkan kepada para pemuka agama dan para rahib penyebar kebenaran. Kita adalah generasi terbelah yang pikiran kita melalangbuana sebagai hasil dari proses berpikir di masa Eropa, namun jiwa dan hati kita masih merindukan agar tatanan nilai Tauhid menjadi sumbu utama dalam kehidupan.
koridor dalam masjid |
kubah masjid dilihat dari dalam |
Tapi di Al Markaz Al Islami, saya menyaksikan bahwa semangat keislaman itu bisa menjadi ruh yang menggerakkan banyak hal, mulai dari ekonomi, pendidikan, dan perbaikan ahlak. Di masjid itu, ada harapan yang merekah tentang kemenyatuan Islam dengan berbagai aktivitas duniawi yang kesemuanya bisa ditata sekaligus, tanpa harus saling menggantikan. Meskipun apa yang saya lihat di situ masih skala yang sifatnya mikro, namun terasa ada semangat yang kuat untuk membangkitkan semangat untuk mewarnai peradaban itu. Mungkin kelak, Al Markaz akan menjadi awal dari merekahnya semengat Islam yang mengintegrasikan masjid dan pasar. Semoga.(*)
0 komentar:
Posting Komentar