Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika


Rhoma Irama

DI tengah gonjang-ganjing dan klaim Rhoma Irama tentang gelar profesor, namanya telah lama dibahas dan didiskusikan oleh para akademisi dan peminat kajian Indonesia di Amerika. Lagu-lagu Rhoma adalah ikon musik perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Lirik lagunya adalah pintu masuk untuk memahami lapis menengah ke bawah masyarakat Indonesia. Lantas, bagaimanakah pandangan para profesor Amerika atas Rhoma hari ini?

***

DI suatu hari di musim gugur tahun 2012, saya mendaftarkan diri untuk mengambil kuliah Sejarah Asia Tenggara yang diasuh Prof William Frederick di negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS). Sang profesor adalah salah satu pakar kajian Indonesia yang namanya mulai melegenda dan disejajarkan dengan pakar Indonesia lainnya yakni Prof Benedict Anderson. Sebagaimana lazimnya seusai mendaftar kuliah, saya lalu diberikan silabus perkuliahan. Saat itulah, saya tersentak ketika melihat gambar Rhoma Irama di silabus perkuliahan.

Di sampul silabus, foto Rhoma diletakkkan di tengah-tengah beberapa tokoh sejarah penting. Di antaranya adalah King Chulalongkorn (Thailand), Aung San Suu Kyi (Myanmar), Benigno Aquino (Filipina), juga pahlawan Indonesia, Kartini. Ketika saya melihat gambar sang Raja Dangdut, saya bertanya-tanya dalam hati, apa sih kontribusi sosok ini sehingga fotonya diletakkan sejajar dengan sosok penting lainnya di silabus perkuliahan sejarah di Amerika?

Prof William Frederick, yang kerap disapa Bill, menjelaskan bahwa kuliah itu bertujuan untuk membahas tentang sejarah Asia Tenggara, yang pintu masuknya adalah studi tentang tokoh. Biografi satu tokoh menjadi jendela untuk memahami dunia sosial yang lebih luas, termasuk memahami situasi zaman, serta bagaimana posisi seorang tokoh di tengah zaman yang terus berubah. Kita bisa paham relasi antara aktor dan konteks sejarah. Melalui biografi, seseorang di masa kini bisa merasakan bagaimana napas dan detak jantung suatu massa. Sejarah menjadi tidak berjarak, menjadi amat dekat. 

silabus perkuliahan bergambar Rhoma Irama

Bill memang memiliki kedekatan dengan Rhoma. Pada tahun 1980-an, ia sering ke Indonesia dan mewawancarai Rhoma. Pada saat itu, musik dangdut yang diperkenalkan Rhoma adalah ikon dari masyarakat kelas bawah, yang sering direndahkan dengan kata ‘kampungan.’ Lirik lagu yang dibuatnya menjadi potret dari masyarakat Indonesia kelas bawah, sekaligus mewakili aspirasi kelompok Muslim yang memberikan beberapa catatan kritis atas situasi politik.

Sebagai pembaharu di bidang musik dangdut, ia memiliki jumlah pemuja yang paling besar. Konser-konsernya dihadiri ribuan orang. Mengapa? “Sebab ia bisa merangkum berbagai tema-tema sosial dan kritisisme pada negara melalui lirik-lirik lagunya. Ia adalah pengikat sekaligus pengendali massa melalui lagu-lagunya,” kata Bill.

Kajian Bill tentang Rhoma lalu diterbitkan di jurnal yang diteritkan oleh Cornell University berjudul Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Culture. Dalam kajian itu, Bill mengemukakan bahwa pada tahun 1975 – 1981, dangdut amatlah populer di kalangan masyarakat bawah, serta masyarakat di pedesaan.

Lirik lagu dangdut juga berisikan pesan-pesan kritis yang mewakili suara umat Islam Indonesia atas rezim Orde Baru. Dangdut menjadi identitas, yang tak hanya ikut membentuk budaya Indonesia, namun juga sebagai prisma untuk memahami bagaimana situasi sosial serta mulai mekarnya kritis pada praktik pemerintahan yang mulai bergeser dari tujuan kemerdekaan. (jika ada yang tertarik membaca kajian Bill tentang Rhoma, bisa kirim pesan lewat inboks. Saya akan mengirimkan paper tentang beliau).

Bill bukanlah satu-satunya yang menulis tentang Rhoma Irama. Setelah dirinya, seorang profesor lain yakni Andrew N Weintraub dari Pittsburgh University menulis tentang sosok Rhoma. Mulanya, Andrew hendak menulis tentang musik klasik, namun suatu hari ia mendengar musik Sunda yang dimainkan oleh ndang Sumarna, seniman Sunda yang tinggal di Amerika. Andrew langsung tertarik. Ia lalu menulis tentang pantun Sunda. Ketika datang melakukan penelitian di Indonesia, minatnya bergeser ke arah musik dangdut.

Ia lalu menerbitkan buku berjudul Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, yang diterbitkan oleh Oxford University Press (2010). Tak hanya mereka. Saya pun menemukan beberapa studi tentang Rhoma Irama dalam buku the Dance of Life (1988), yang berisikan musik-musik perlawanan di Asia Tenggara karya Lockard. Nah, dengan banyaknya publikasi itu, kita bisa menarik kesimpulan sederhana bahwa Rhoma adalah sosok penting yang menjadi ikon musik Indonesia.

buku Dangdut Stories

Bagaimanakah komentar para profesor Amerika itu atas Rhoma hari ini. Saya pernah berdiskusi dengan Bill tentang Roma. Apakah ia masih melihat Rhoma sebagai sosok penting yang merepresentasikan suara masyarakat bawah?

Bill beberapa kali tertawa ketika membahas Rhoma. Ia mengaku tak akan pernah lupa saat-saat ketika mewawancarai sang raja dangdut. Katanya, dalam beberapa wawancara, Rhoma selalu didampingi oleh istrinya. “Istri yang mana?” tanyaku. Bill langsung tertawa ngakak dan enggan menjawabnya. Yang juga dikenangnya adalah dalam beberapa wawancara, Rhoma beberapa kali hendak mengislamkan Bill.

Seperti apakah pandangan Bill pada Rhoma di masa kini? Ia tersenyum ketika ditanya tentang itu. Ia mengatakan, Rhoma sering melakukan kesalahan yang seharusnya tak terjadi di dunia politik. Rhoma sering mencari sensasi, sehingga energi kritiknya terbuang percuma, tanpa menyentuh sasaran hati rakyat Indonesia. Sensasi itu bisa terlihat pada keterlibatannya di partai politik, konflik dengan Inul Daratista, hingga mencuatnya berita pernikahan dengan kasus Angel Lelga yang kemudian mempengaruhi penilaian publik atas dirinya.

Lantas, apakah Rhoma akan berhasil menaiki tangga kuasa? Bill tertawa keras. Katanya, ingatan orang Indonesia terlampau pendek. Dahulu, Sukarno selalu dipuja-puja dan dianggap sebagai Ratu Adil. Ketika Sukarno jatuh, ia dengan mudahnya dilupakan. Kalaupun ia diingat, maka boleh jadi, hanya pada segelintir orang yang membaca catatan sejarah.

Demikian pula dengan sosok Soeharto. Dulu, banyak yang membencinya di awal reformasi. Tapi, kini banyak yang mulai memujanya. Malah, kaos bergambar Soeharto mudah ditemukan di mana-mana. Apa yang dilakukan Soeharto mulai tenggelam dalam sejarah. Bahkan, pernah pula diadakan survei yang menyebutkan bahwa Soeharto adalah presiden paling populer di Indonesia. Masyarakat Indonesia tak setia membaca dan belajar sejarah. Mereka tak banyak tahu sisi lain Soeharto. Ingatannya sangat pendek..

aksi panggung

Sebagaimana halnya Soeharto, maka tak menutup kemungkinan jika di masa datang ingatan atas kerikil-kerikil dalam perjalanan Rhoma hari ini juga terlupakan. Jika saja sosok Rhoma dikemas oleh seorang ahli strategi politik dan pencitraan, maka sosoknya bisa menjadi lebih diterima di hati publik, sebagaimana telah ditunjukkannya pada masa Orde Baru.

Tak percaya? Publik mencatat bahwa presiden yang hendak digantikan Rhoma tidak lebih baik. Presiden yang masa jabatannya berakhir ini punya kinerja yang biasa saja, namun dipuja-puja setinggi langit oleh partai pengusungnya. Kerja-kerja tim sukses dan tim pencitraan telah mengemas pencapaian yang biasa itu hingga menjadi hebat dan diklaim sebagai presiden paling hebat. Nah, jika ingatan publik pendek, tentu saja kerja tim pencitraan bisa membuat publik lupa siapa Rhoma dan berbalik menyanjungnya.

Maka bersiaplah menerima sosok Rhoma Irama sebagai Presiden RI.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Selamat pagi mr yusran. Saya amat tertarik dg bang haji. Bisa kirim saya paper ttg beliau? Kirim ke email saya ichal.jamers@gmail.com terima kasih :)

Anonim mengatakan...

Saya juga sangat tertarik, boleh kirim peper tentang beliau. sudirmansyarif73@gmail.com

Posting Komentar