ARSJAD RASJID Terlalu Lembut untuk Bertarung di Rimba Politik

 


Di bulan September, nama Arsjad Rasjid disebut sebagai Ketua TPN Ganjar. Saat itu, nama Ganjar meroket semua survei dan disebut-sebut akan memenangkan kontestasi pilpres. 

Kini, di akhir Desember, nama Ganjar tidak seterang dua bulan sebelumnya. Tak ada satupun lembaga survei yang menempatkannya di puncak. Strategi marketing politik apa yang dimainkan Arsjad dalam waktu yang tinggal 47 hari?

*** 

Suatu hari di bulan Oktober 2023. Di satu kampus di kawasan timur Indonesia, Arsjad datang untuk membawakan kuliah umum. Sejak mendarat di kota itu, dia mendadak diserbu banyak orang. Bukan hanya pengusaha, politisi dan akademisi antri untuk menemuinya.

Semua tahu kalau namanya setiap hari dibahas media massa. Arsjad akan memimpin tim besar untuk memenangkan Ganjar, yang saat itu memuncaki semua survei politik. Dia akan berada di barisan yang didukung Presiden Jokowi. 

Sebelah kakinya seolah sudah di ambang kemenangan. Dia akan ikut menemani presiden dalam menentukan siapa menteri, siapa kepala lembaga negara, hingga siapa saja yang akan menjadi komisaris perusahaan.

BACA: Kisah Bahlil, Dari Tomia, Banda, Hingga Papua


Arsjad menyatakan bersedia setelah mendapat restu dari dua sosok yang dikaguminya, yakni Megawati dan Jokowi. Megawati melihat Arsjad seperti anak kandung, sebab Arsjad berasal dari Palembang, sekampung dengan Taufik Kiemas, suami Mega.

Sedangkan Jokowi juga dianggap meng-anakemas-kan Arsjad, sejak merestuinya untuk memimpin Kadin, organisasinya para pengusaha papan atas negeri ini. Di banyak kegiatan, Arsjad sering mendampingi Jokowi, khususnya di acara yang menghadirkan banyak pengusaha.

Di awal-awal, Arsjad mengumumkan rencana-rencananya. Dia ingin menjadikan politik sebagai arena yang riang gembira. Dia ingin mengelola politik sebagaimana seorang CEO mengelola perusahaan. Dia ingin menerapkan marketing politik yang fokus pada ide-ide dan gagasan.

Semua kalangan melihat Arsjad sosok yang tepat. Dia paham interaksi kaum milenial di platform digital. Apalagi, pilpres mendatang akan didominasi generasi digital savvy. Generasi ini sering disebut milenial dan Gen Z. Mereka meramaikan wacana, menentukan arah baru di dunia kerja, serta mengubah lanskap komunikasi di abad ini.

Arsjad adalah idola bagi pebisnis yang ingin tumbuh besar. Dia seorang CEO handal, serupa Raja Midas yang semua sentuhannya bisa menjadi emas. Dia sukses di bisnis media, tambang, hingga motor listrik. Dia juga dekat dengan kalangan milenial. Setiap hari dia tampil di media sosial, membagikan hal baik, dan menebar inspirasi. Dia sosok yang suka berbagi ilmu.

Kini setelah tiga bulan berlalu, politik tidak berjalan seperti yang dikehendaki Arsjad. Dia bertubi-tubi menghadapi realitas politik, yang jauh dari apa yang dibayangkannya. Politik kita jauh lebih kompleks dari bisnis. Politik kita tidak sesederhana seorang pebisnis mengejar cuan.

Dia menghadapi beberapa tantangan besar:

Pertama, berubahnya haluan Presiden Jokowi. Arsjad yang menerima posisi Ketua TPN karena meyakini ada Jokowi terpaksa harus memutar kemudi tim untuk menghadapi gelombang yang lebih besar. Jika sebelumnya perahu yang dikemudikannya mulus untuk mencapai tujuan, kini harus siap menghadapi turbulensi.

Dia harus menjadi pemimpin di tengah krisis. Tak perlu menunggu angin dari Jokowi untuk membawa kapal melaju, melainkan harus tetap berlayar dengan mengandalkan dengan angin yang tak sekencang sebelumnya.

Positioning, yang tadinya hendak melanjutkan program pemerintah, sontak berubah, sehingga berdampak pada hilangnya pemilih loyal. Jika berbagai survei benar, maka dalam waktu dua bulan, Ganjar kehilangan banyak pemilih yang hijrah ke kubu sebelah.

Padahal, Arsjad figur yang tak suka konflik. Dia menghormati Megawati, sebagaimana dia juga menghormati Jokowi. Apa daya, dia tak bisa memilih. Dia terlanjur megawal Mega dan harus siap di kubu yang berbeda dengan Jokowi.

Kedua, kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas. Di dunia politik, dia tak akan pernah menjadi CEO yang efektif. Mengapa? Sebab CEO sesungguhnya adalah pemilik partai, serta politisi-politisi yang butuh tampil di media jika ingin kembali terpilih masuk Senayan. 

Kekuasaannya tak sebesar kuasa milik sekjen partai merah yang leluasa menyerang pemerintah, tanpa peduli irama permainan yang dikehendaki Arsjad. 

Politik yang dibayangkannya sebagai arena riang gembira, menjadi arena yang penuh semburan kata. Semua orang melampiaskan kesal, tanpa menimbang pola-pola marketing yang sedang dibangun. 

Dalam bisnis, keputusan suka pada produk bisa melalui proses trial and error. Setelah beli dan suka, maka seseorang bisa merekomendasikan. Jika tak suka, maka seseorang tidak akan membeli lagi. Tak ada repeat order.

Dalam politik, tak ada trial and error. Jika Anda salah memilih, maka kesalahan itu hanya bisa diperbaiki lima tahun mendatang. Dalam momentum yang sangat terbatas, kerja-kerja marketing menjadi sangat penting untuk memberi pencerahan kepada publik tentang siapa yang dipilih.

Ketiga, Arsjad mengedepankan kelembutan di arena politik. Padahal arena ini dipenuhi mereka yang pandai bersiasat dan sesekali berkelahi untuk merebut kemenangan. Dia memilih merangkul, dan perlahan memperkenalkan Ganjar ke khalayak lebih luas.

BACA: Permainan Deseptif di Balik Gibran


Pendekatannya lebih ke arah soft selling, yang fokus pada menjalin relasi, kemudian perlahan mengajak orang lain masuk ke ruang politik. Namun, pendekatan ini akan efektif jika sedang berada di atas angin. Saat di posisi underdog, harus diimbangi dengan kengototan, serta keberanian untuk memasuki arena tempur.

Pendekatan soft selling sering tidak bisa efektif jika berhadapan dengan kebutuhan mendesak. Pendekatan ini sering tidak bisa langsung dipahami konsumen sebab membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memanam kebaikan, juga pengetahuan, hingga perlahan akan dicintai konsumen atau khalayak.

Di sisi lain, pendekatan soft selling sering kalah dalam kompetisi sebab tidak secara langsung menampilkan keunggulan produk. Dalam kompetisi elektoral yang ketat, mau tak mau, tim sukses harus jualan hard selling. Differensiasi harus dibangun, agar suara menebal di satu pihak.

***

Tanggal 27 Desember 2023, lembaga CSIS mengumumkan hasil surveinya. Dalam rentang pilpres tinggal 47 hari lagi, Ganjar berada di posisi ketiga dengan angka 19 persen. Di atasbta ada Prabowo dengan 43,7 persen, dan Anies 26,1 persen. Jika survei ini dianggap kredibel, Ganjar perlahan ditinggalkan.

Angka ini hanyalah representasi dari satu keping kenyataan. Realitas terus bergerak. Namun Arsjad dan tim sudah seyogyanya memainkan strategi yang lebih intens. Dia harus memainkan perang kota untuk merebut wilayah yang selama ini menjadi basis. Dia mesti menurunkan tim kerja yang lebih massif untuk merebut basis lawan, dan mengamankannya.

Dia harus memperlebar kemenangan di Jateng, merebut Jabar, Jatim, juga Jakarta. Melihat suara yang kian tergerus, dia perlu memiliki kendali yang lebih kuat. Di sisi lain, dia tak berdaya melihat elite politik sibuk memperburuk situasi, melalui komentar yang tidak bermutu.

Dia harus punya banyak skenario demi memenangkan Ganjar. Sekali lagi, politik tidak sama dengan bisnis. Dia terlalu baik untuk bertarung dalam arena politik. Jika semua rencana tak berjalan, dia mesti menunggu lima tahun untuk menerapkan apa yang dipelajarinya di pilpres kali ini.

Sebagai anak bangsa terbaik, dia pantas duduk di posisi yang lebih penting. Dia pantas memimpin bangsa ini demi melalui samudera dan gelombang tantangan yang kian bertubi. 

Semoga dia seperti ras Saiyan dalam kisah Dragon Ball, yang semakin terluka akan semakin perkasa. Semoga dia semakin belajar, semakin sempurna. Kita menunggu Arsjad for Indonesia 2029.


0 komentar:

Posting Komentar