Peradaban Rambut


Di sela-sela melakukan perjalanan, saya membaca buku berjudul Peradaban Rambut Nusantara, yang ditulis Oky Andries dan Fatsi Anzani. Ini salah satu buku menarik yang saya baca dalam sebulan ini. 

Yang dibahas adalah hal unik mengenai sejarah. Bukan sejarah-sejarah heroik dari para bangsawan, pahlawan, jagoan, atau mereka yang bertarung di medan laga. Rasanya jenuh dan bosan juga membahas orang-orang besar ataupun merasa besar di kanvas sejarah.

Buku ini membahas hal remeh-temeh mengenai rambut. Spektrum pembahasannya cukup luas. Mulai dari bagaimana relief Mesir Kuno yang menggambarkan bangsawan sedang dicukur, kemudian relief di Candi Borobudur yang menampilkan kegiatan memotong rambut. Ada juga dibahas bagaimana rambut dalam peradaban Cina, Romawi, hingga Yunani.

Buku ini memberi wawasan baru buat saya. Bahwa memotong rambut adalah aktivitas yang sudah ada sejak manusia mulai wara-wiri di muka bumi. Jauh sebelum era Mesir kuno, rambut sudah menjadi lifestyle, identitas, juga menggambarkan kelas sosial. 

Di buku ini, saya menemukan catatan sejarawan Anthony Reid mengenai Arung Palakka yang membuat upacara pemotongan rambut di Gunung Cempalagi, Bone, saat kemenangannya atas Makassar di tahun 1972. 

Rambut menjadi simbol kesucian dan kekuatan. Di era perdagangan (age of commerce), para lelaki dan perempuan didorong untuk menumbuhkan rambut selebat mungkin.

Selain Arung Palakka, Pangeran Diponegoro juga bernazar akan menggunduli rambutnya jika menang dalam pertempuran.  Bahkan Pakubuwono I juga membuat ikrar serupa.

Para pejuang kemerdekaan juga membuat nazar terkait rambut. Di antaranya adalah Bung Tomo yang tidak akan mencukur rambut sebelum Indonesia merdeka.

Saya jadi paham kenapa Aji, kawan saya di Pare-Pare, menggunduli rambutnya seusai PSM Makassar juara. Rupanya itu tradisi kuno yang masih bertahan di era jaman now.

Bagian favorit saya di buku ini adalah kisah mereka yang mencukur para Presiden Indonesia. Mulai dari Yusuf Soebari yang selama puluhan tahun jadi tukang cukur Presiden Gus Dur. Juga kisah Agus Wahidin, pria asal Garut yang disebut sebagai satu-satunya orang yang berani memegang dan memutar kepala Presiden SBY. 

Ada juga pria bernama Herman, lagi-lagi asal Garut, yang rutin mencukur Presiden Jokowi. Orang-orang ini sering diabaikan sejarah, tetapi merekalah yang berani meletakkan pisau di leher presiden. Hanya mereka yang berani memiring-miringkan kepala Presiden Indonesia, di saat yang lain hanya bisa nyinyir dari kejauhan. Hebat kan?

Ini buku yang cukup menarik. Setelah ini saya ingin membaca dua buku lainnya. Satu mengenai sejarah para pembuat roti di Batavia, juga tentang bagaimana peradaban seks di Nusantara. 

Hmm. Sepertinya saya tertarik membaca buku kedua. Seru.


0 komentar:

Posting Komentar