Anak muda itu datang dengan senyum tersungging. Di Kafe Nongky-Nongky, dalam perjumpaan dengan Ibu Andis, dosen fakultas hukum unhas, anak muda itu menjabat tangan saya. Dia menyapa saya dalam bahasa Buton. Rupanya kami sekampung.
Namanya Yusril Sirman. Dia seorang albino. Saat dia menyebut kampungnya di Pulau Siompu, saya langsung familiar. Di situ, ada banyak orang albino yang sering menjadi duta kesenian Buton Selatan. Apalagi, di situ ada catatan sejarah tentang Hatibi Bula, seorang albino yang jadi ulama besar.
Baru berbincang sejenak, saya terpikat dengan anak muda ini. Dia membahas satu tema penting tentang para albino yang selama ini termarginalisasi. Menurutnya, albino harusnya dikategorikan sebagai diabilitas, sebab mereka memiliki keterbatasan fisik.
“Para albino itu memiliki keterbatasan penglihatan. Mereka masuk kategori low vision. Ini sudah bisa masuk kategori disabilitas,”katanya.
Dia lalu bercerita tentang diskriminasi yang kadang menimpa seorang albino.
Saya terdiam mendengar kisahnya. Saya ingat liputan di National Geographic tentang para albino di Afrika. Banyak di antara mereka yang dibunuh dengan kejam karena dianggap tukang sihir. Ada anggapan kalau tulang mereka bisa jadi jimat. Mereka yang hidup harus menerima risiko di-bully dalam aktivitas sehari-hari.
Laporan Under the Same Sun (UTSS), organisasi yang fokus pada masalah diskriminasi menjelaskan, anak-anak albino seluruh dunia rentan pada bully atau perundungan.
Dalam laporan yang dibuat untuk PBB, disebutkan, anak-anak albino sering dihina dan diejek, serta diintimidasi karena dianggap berbeda. Mereka terisolasi oleh stigma, mitos, dan prasangka kultural.
Di Indonesia, tanah yang religius dan pancasilais ini, banyak orang yang juga mem-bully mereka. Saya membaca beberapa laporan media tentang anak albino di Ciburuy, Jawa Barat, yang malu ke sekolah karena diolok-olok rekannya karena dianggap berbeda. Mereka di-bully atas sesuatu yang dianugerahkan Tuhan sejak lahir.
Tapi anak muda di hadapan saya ini justru berbeda. Dia menjalani hari dengan ceria. Dia jadi aktivis, penulis, juga pemikir yang intens mengkaji sesuatu. Di usia muda, dia sudah memiliki misi penting untuk mengadvokasi para albino agar hidup setara dengan orang lain, tanpa mengalami diskriminasi.
Saya senang melihat rona ceria selalu terpancar di wajahnya. Dia tahu dia berbeda, tapi dia justru melihat itu sebagai kekuatan. Dia tekun membaca, menjadi aktivis, penulis, juga sering membawa materi di berbagai forum kajian kampus. Dia mengasah potensinya untuk jadi yang terbaik.
Tak hanya itu. Dia juga punya gagasan besar untuk melobi Under te Same Sun agar mendukung perjuangan kaum albino di Indonesia. Saya mendukung semua langkah-langkah kecilnya untuk membumikan ide-ide besarnya.
“Bantulah kami untuk menggolkan gagasan ini. Kalau proposal ini tembus ke beberapa lembaga asing, ada banyak cuan mengalir,” katanya.
Hmm. Saya tertarik. Saya membayangkan ada cuan, juga cashback.
0 komentar:
Posting Komentar