Musisi Jenius yang Menyayangi Kucing




KISAH Freddy Mercury dalam film Bohemian Rhapsody bukan saja menjadi nostalgia pada lagu-lagu Queen yang pernah menyihir dunia, melainkan menjadi gerbang untuk menelusuri sisi paling manusiawi dari seorang Freddy. 

Biarpun dia seorang Parsi yang berasal dari keluarga penganut Zoroaster, tapi dirinya kemudian menjadi ikon Inggris. Dia seorang pencinta kucing yang saat konser di negeri lain sering menelepon hanya untuk mendengar suara kucingnya. 

Dia seorang yang rapuh dan selalu bergerak meninggalkan zona nyamannya. Dia seorang yang tunduk pada alkohol dan pergaulan bebas sesama jenis. Tapi dia seorang sosok jenius di dunia musik yang suaranya selalu melekat di benak jutaan penggemarnya. 

Lelaki bergigi tonggos ini juga seorang pencinta yang gagal, yang hanya bisa mengenang kekasihnya melalui lagu “Love of My Life.” Dia menyebut berkat adanya ekstra empat gigi seri itu, suaranya bisa melengking hingga mencapai empat oktaf.

Apa pun itu, dia adalah sosok penting yang membawa musik rock ke arah baru yang amat menghibur. Dia menggabung berbagai genre, termasuk memasukkan unsur musik opera, paduan suara, diksi yang tidak umum, hingga nada-nada dan standar musik yang ingin digapainya.

Saya menonton film ini dengan perasaan yang penuh nostalgik. Banyak lagu Queen yang sangat familiar dan menjadi abadi di lintasan sejarah. Lagu-lagunya unik dan tidak biasa. Saya tak terkejut jika lagu-lagunya akan selalu dinyanyikan generasi setelahnya.

Sepanjang film, saya beberapa kali bersenandung lagu Queen yang saya sukai. Tak cuma Bohemian Rhapsody, tapi juga We are the Champion, We Will Rock You, Radio Gaga, hingga lagu-lagu romantis seperti Somebody to Love, Crazy Little Thing Called Love, dan Love of My Life.

Saya tak ingin mengulas aspek sinematografi dan akting pemainnya. Juga tak ingin membahas cerita. Saya percaya bahwa akan sulit menyajikan satu kisah yang memuat semua aspek kehidupan seseorang. 

Jujur, pemain film ini sangat mirip dengan aslinya. Bahkan gestur dari pemeran Freddy Mercury ini membuat hati dipenuhi rasa rindu pada penyanyi hebat itu. Sempat saya berpikir bahwa Brian May ikut main di film ini dan berperan sebagai dirinya. Kaget juga pas lihat di Youtube, ternyata orangnya sudah tua.

Yang paling nikmat dari film ini bukan cuma lagunya, tapi kisah perjalanan dan satu lanskap sosial tempat seseorang tumbuh dan menjulang tinggi. Setiap orang punya  bakat hebat yang hanya bisa tampil jika berada pada kondisi yang tepat. 

Freddy bersama Delilah, kucing setianya

Saya teringat kolumnis Malcolm Gladwell. Dalam buku Outliers, dia menjelaskan, kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Gladwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan. Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek menjadi yang tertinggi di hutan bukan semata-mata karena dia paling gigih. 

Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Jika teori ini diterapkan untuk seorang Freddy Mercury, maka kita akan melihat kasus yang unik. Dia tumbuh di tengah keluarga yang terlalu mengekang. Orang tuanya bersikap konservatif yang menginginkan anaknya agar disiplin dan menjadi orang Parsi yang baik.  Dia seorang pemberontak yang bengal dan memilih meninggalkan rumah. Bahkan dia menanggalkan nama Farroukh karena menggantinya dengan Freddy.

Hingga suatu hari, bertemulah dia dengan dua mahasiswa serius yang sedang merintis grup band. Mahasiswa itu adalah Brian May, seorang gitaris yang juga sedang belajar astrofisika hingga tingkat PhD. Satunya lagi adalah Roger Taylor yang tengah belajar kedokteran gigi.

Berbeda dengan Freddy, dua rekannya ini berasal dari keluarga mapan. Brian May tak cuma intelektual, tapi juga lahir dari ayah yang keluaran Teknik Elektro. Demikian juga dengan Roger. 

Berasal dari kelas sosial yang lapis bawah itu tidak membuat Freddy minder. Percaya dirinya tinggi. Dia mendatangi Brian dan meyakinkannya untuk sama-sama membentuk band. Sejarah grup musik Queen bermula di sini.

Freddy menjadi pemimpin dan menentukan arah grup band itu. Dia mencipta lagu, menentukan aransemen yang tepat, hingga rajin mengamati apa yang diinginkan para pencinta musik. Bersama rekannya, dia menemukan chemistry untuk jadi bintang besar, bahkan legenda.

Saya selalu suka melihat penampilannya di kanal Youtube. Ketika bernyanyi, dia selalu larut dengan apa yang dinyanyikannya. Penghayatan dan vokalnya setingkat dewa-dewa.  Gesturnya seperti para sufi yang sedang bermeditasi dan larut dengan aktivitas itu. 

BACA: Iwan Fals: Voice of Rebellion

Selain itu, gerak tubuhnya juga penuh energi. Dia menjadikan panggung sebagai arena ekspresi yang mengeluarkan semua potensi terbaiknya. Pantas saja jika penampilan Queen di panggung selalu ditahbiskan sebagai penampilan terbaik di abad ini.

Dalam beberapa referensi yang saya baca, aslinya Freddy adalah seorang pemalu. Dia pendiam dan tak banyak cakap. Ketika sedang berada di rumah, dia lebih sibuk bersama kucingnya Delilah. Tapi saat berada di panggung, dia menjadi figur berbeda. Dia akan penuh energi, menari, dan bertingkah dengan lepas. Dia menjadi magnet di tengah penampilan rekannya yang biasa saja. 

Saya yakin kawan-kawannya inilah yang menjadi lahan gembur bagi pertumbuhan potensinya. Dalam setiap perdebatan saat latihan, dia menguji setiap argumentasi hingga menemukan adonan rasa musik yang pas dan mudah diterima siapa pun. Dalam setiap latihan, mereka akan berdebat dan bertengkar demi menemukan komposisi yang tepat.

Saya teringat teori Gladwell yang lain yakni “hukum 11.000 jam.” Gladwell menyebut kesuksesan The Beatles adalah berkat latihan spartan selama 11.000 jam. Dia menyebut periode ketika The Beatles manggung di berbagai kafe hingga keliling kampus dan kota. Menurutnya, kesuksesan itu didapatkan dari kerja keras serta disiplin selama bertahun-tahun.

salah satu adegan film

Nah, kisah Queen juga bisa dilihat dari sisi ini. Selama bertahun-tahun, Freddy manggung di berbagai kampus, hingga akhirnya tur ke berbagai kota. Bermula dari rekaman satu album, grup vokal ini kian besar dan diundang ke mana-mana. Sepanjang perjalanan itu, mereka selalu bereksperimen pada berbagai genre musik sehingga menemukan komposisi yang pas.

Freddy juga seorang pebisnis yang visioner. Dijualnya mobil tua yang dipakai band itu agar bisa menyewa studio rekaman. Hingga akhirnya seorang produser datang dan hendak memodali mereka. Saat seorang produser bertanya, apa keunikan Queen, grup yang dibentuknya, Freddy menjawab, “We belong to them.” Maksudnya, Queen akan mengikuti selera pasar. 

Pada masa itu, Freddy sudah memahami marketing. Jika ingin laku, maka kenali pasar dan seleranya. Dalam satu adegan film, dia mengolok Brian May yang seorang doktor di bidang astrofisika, tapi hanya menghasilkan tulisan yang dibaca sangat sedikit orang di bidang itu.

Tapi Freddy memang manusia unik. Dia tak ingin sekadar mengikuti apa keinginan pasar. Dia punya obsesi lebih dari itu. Dia ingin membentuk selera pasar. Dia punya idealisme musik yang ingin menggabung banyak genre, melakukan eksplorasi dan eksperimen, hingga membuat jenis musik yang belum pernah dibuat band rock mana pun. Dia punya cita rasa musik yang perlu diaktualkan demi membuat sejarah.

Lagu Bohemian Rhapsody mewakili semua ambisi Freddy untuk membuat sesuatu yang beda. Dia berani menggabung unsur pop, rock, hingga opera dalam satu aransemen. Dia juga berani membuat lagu yang berdurasi enam menit, padahal di masa itu, rata-rata lagu sepanjang tiga menit.

Lagu itu mendapat penolakan para produser sebab diyakini akan ditolak oleh radio yang mensyaratkan durasi tiga menit. Lagu itu juga dianggap tidak punya genre yang jelas. Ada unsur pop, musik opera, hingga rock yang kental. Saya ketawa geli saat produser memprotes banyak istilah-istilah yang tidak dimengertinya di lagu itu, misalnya “scaramous” dan “bismillah.” 

Freddy tak bergeming. Baginya, musik adalah soal citra rasa dan selera tinggi yang menunjukkan kelas pendengarnya. Baginya, musik yang ditawarkan Queen adalah musik berkelas yang bisa dinikmati sebagaimana opera yang megah. 

Ketika satu radio berani memutar lagu itu, sejarah pun berubah. Dalam waktu singkat, lagu itu dikenal dan menyebar ke mana-mana. Queen semakin sukses dan dikenal. Personelnya mulai kaya-raya. Mereka merajai panggung hingga membuat Freddy lupa diri.

Setelah menjadi kaya, persoalan tak lantas selesai. Freddy mulai egois dan meninggalkan temannya. Orientasi seksualnya mulai berubah. Pasangannya pergi dan membiarkan Freddy tenggelam dalam hidup yang serba urakan. Penyakit HIV perlahan menggerogoti tubuhnya.

Klimaks dari film ini adalah ketika Freddy kembali bersama rekan-rekannya dan ingin tampil dalam konser Live Aid pada tahun 1985 yang hendak memberikan bantuan bagi warga miskin di Afrika. Bagi para pengamat musik, inilah konser terbesar dalam sejarah yang disebut menjadi panggung terbaik Queen. Di konser yang dihadiri semua penyanyi rock dan pop papan atas, Queen menjadi grup band paling atraktif yang paling disukai semua orang.

Dalam versi film, Freddy memberitahu rekannya kalau dirinya telah diserang AIDS sebelum konser. Padahal dalam versi sesungguhnya, dia diketahui menderita AIDS dua tahun setelah konser legendaris yang seolah menjadi milik Queen itu.

Kisah Freddy Mercury ini bisa dilihat sebagai tragedi seorang manusia. Bermula dari warga kelas bawah yang mencari ruang bermain, hingga menjadi legenda di dunia musik. Bermula dari figur yang pemalu, lalu menjadi penyanyi dengan aksi panggung memukau.

Tapi kisahnya juga memiliki sisi gelap. Beberapa orang yang berlatar kelas bawah kemudian sukses sering mengalami dilema saat di puncak karier. Di dunia sepakbola, Maradona adalah sosok yang punya banyak kontroversi saat berada di puncak karier. 

Saya menduga itu adalah bawaan dari sikap yang selalu menolak kemapanan. Berilah karakter seperti Freddy satu tantangan, maka semangatnya akan meluap-luap untuk membatasinya. Tapi berilah dia kemapanan, saat itu dia akan kehilangan dirinya, larut dalam gaya hidup, serta kehilangan banyak teman.

salah satu aksi panggung Freddy yang ikonik

Hal-hal seperti ini yang membuat kisah satu tokoh menjadi sangat manusiawi. Freddy bukan seorang Superman yang selalu kuat menghadapi apa pun. Dalam banyak sisi, dia seorang rapuh yang harus berjuang untuk keluar dari belitan masalah yang muncul dari sikap percaya diri terlampau berlebihan sehingga menjadi egoisme akut.

Pada akhirnya, dia seperti anak kecil yang merengek mencari mainan baru, dan ketika mendapatkannya dia lupa sekelilingnya. Hingga suatu saat, dia menyadari bahwa bukan mainan itu yang paling penting, melainkan orang-orang terkasih yang selama ini menjadi embun yang membasahi jiwanya. 

Ketika ditinggalkan banyak orang, di situlah dia menjadi dirinya sendiri. Dia merenung dan memikirkan betapa banyaknya hal penting yang selama ini dia abaikan. 

Saya menyukai adegan ketika dia sendirian di satu ruangan dan memikirkan banyak hal yang meninggalkannya sendiri. Sayup-sayup terdengar petikan lembut gitar Brian May, serta suara Freddy yang mengalun pelan:

Love of my life, 
you’ve hurt me 
You’ve broken my heart 
and now you leave me 
Love of my life can’t you see 
Bring it back, bring it back 
Don’t take it away from me  
because you don’t know 
what it means to me



1 komentar:

Bang Dzul mengatakan...

Jadi pengen nonton... Band sepanjang masa yang lagunya abadi.

Posting Komentar