Nene Mallomo


Kawan itu menyambut dengan sumringah. Di Pangkajene, Sidrap, dia mengajak saya ke satu resto paling enak. Tak jauh dari situ, ada plang tertulis Selamat Datang di Bumi Nene Mallomo. 

Siapa Nene Mallomo? “Dia orang bijaksana. Dia cendekiawan masa lalu,” kata kawan saya. Di kalangan Bugis, kata nenek berlaku untuk semua gender. Ada istilah nenek laki2, dan ada nenek prempuan. Tak ada kakek.

Saya terdiam dan merenung. Di banyak tempat, sosok masa silam yang jadi ikon di masa kini adalah para petarung, para pahlawan, para jagoan, ataupun mereka yang bertarung di medan laga. Yang dicatat sejarah adalah para raja yang kadang berkuasa dengan buas, lalu mengakuisisi wilayah sekitarnya.

Tapi di Sidrap, sosok masa silam yang dikenang itu adalah seorang cendekiawan, yang melahirkan banyak petuah, nasihat, juga pesan-pesan kehidupan. Dia serupa Lao Tze di China, juga sosok Socrates di kebudayaan Yunani.

Kata kawan, Nene Mallomo adalah sosok legendaris yang pernah hidup di abad ke-17. Dia seorang ahli hukum yang dahulu menjadi penasihat raja dan datu. 

Dahulu, hampir semua kerajaan di tanah Bugis memiliki cendekiawan yang membimbing masyarakat. Ada lima cendekiawan yang terkenal. Mereka adalah Kajao Laliddo (Bone), Nene’ Mallomo (Sidrap), Arung Bila (Soppeng), La Megguk (Luwu), dan Puang ri Maggalatung (Wajo).

“Mereka bertemu dan berdiskusi, serta tukar pengalaman yang menambah wawasan baru. Dari sekian banyak pertemuan, yang dikenang orang adalah pertemuan di Cenrana,” kata kawan.

Di pertemuan itu, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat hukum. 

Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu). Hukum itu berlaku adil untuk semua. 

Siapapun yang bersalah harus diproses di pengadilan. Dia memperkenalkan prinsip kesetaraan, yang lebih awal dari semboyan Revolusi Perancis; liberte, egalite, dan fraternite.

Para cendekiawan melahirkan pedoman dan tata nilai, yang di Bugis disebut sebagai pangadereng, yang menurut budayawan Mattulada adalah keseluruhan norma, meliputi bagaimana bertingkah laku terhadap sesama manusia.

Salah satu ajaran Nene Mallomo, yang kemudian jadi semboyan Pemerintah Sulsel adalah “Resopa Temmangingngi Malomo Naletei Pammase Dewata.” Hanya dengan kerja keras, rahmat Dewa akan turun dari langit.” Inilah prinsip, yang disebut Marx sebagai kerja, di mana semua orang menafsir dan membentuk dunianya.

Mungkin semua semboyan ini perlu dilihat secara kritis. Bisa jadi, di masa silam, semua nilai ini dikonstruksi kelas berkuasa untuk mengendalikan kelas paling bawah. Nampaknya, Nene Mallomo mewakili keresahan cendekia melihat prilaku kelas berkuasa. 

Kata kawan saya, beberapa kalimat dari Nene Mallomo lahir untuk menghardik kelas berkuasa. Dia adalah orang istana, yang mengeluarkan kalimat-kalimat untuk membela orang luar istana. Melalaui prinsip itu, dia mendambakan masyarakat yang teratur, harmonis, dan saing menjaga.

Saya sedang memikirkan kalimat dari Nene Mallomo, saat seorang politisi masuk kafe dan menyapa. Dia bercerita tentang mimpi-mimpinya untuk menang pilkada. Dia sudah menyiapkan sekarung uang untuk serangan fajar. Dia pun siap menyingkirkan semua lawan politiknya. “Kalau mereka macam-macam, saya akan gergaji,”katanya.

Yah, Nene Malomo telah lama berpulang. Ajarannya pun menjadi kisah yang dituturkan saat senja memeluk malam.

.

.

PS: Ini bukan foto Nene Mallomo, tapi foto saat berjumpa dua pemuda Rappang


0 komentar:

Posting Komentar