Jangan Ikut-ikut Hakimi SYAHRUL

Syahrul Yasin Limpo

Di luar negeri, dia sedang menjalankan tugas sebagai wakil negara. Tapi di dalam negeri, rumahnya diobrak-abrik. Tanpa ada konfirmasi, penyidik menyebut adanya senjata dan uang puluhan miliar rupiah.

Syahrul Yasin Limpo adalah potret dari penegakan hukum negeri ini yang semakin abai etika. Penegak hukum lebih suka drama ketimbang fokus pada substansi. Apa salahnya membiarkan dia pulang dulu dari tugas negara, setelah itu kasus hukum diproses?

Hukum tanpa etika ini sudah dikemukakan oleh Profesor Jimly Asshidiqie. Saat Anda didiga bersalah, Anda akan divonis lebih dahulu, dipermalukan dengan aksi-aksi drama penegak hukum, setelah itu diarak di hadapan orang-orang setelah dipakaikan rompi oranye.

Dua hal penting yang perlu disoroti dalam kasus ini. Pertama, mengapa penegak hukum seperti bergerak kesetanan, tanpa menunggu dia pulang? Kedua, mengapa pula soerang wakil menteri yang pernah diisukan ditampar Menhan lalu berdiam diri, tiba-tiba aktif di media tentang atasannya yang menghilang?

Hal lain yang perlu disoroti adalah hukum kita mengikuti arah keputusan politik. Saat pilihan Anda beda dengan rezim penguasa, siap-siaplah untuk menghadapi berbagai kasus. Saat pilihan politik beririsan dengan penguasa, maka Anda akan akan hidup damai sentosa di bawah payung hukum.

Puluhan tahun hidup Syahrul diabdikan untuk bangsa, semuanya sirna hanya karena tuduhan bersalah. Semua marwah, integritas, dan kharisma yang dibangunnya sontak dirontokkan dalam sekejap hanya karena tuduhan korupsi. 

Bukan berarti bahwa dia harus kebal dari hukum. Biarkan dia diproses hukum, dengan tetap memegang marwahnya sebagai orang yang pernah berbuat banyak untuk bangsa. Biarkan dia diproses dengan tetap menggenggam sisi kemanusiaannya. 

Sebagai pejabat, dia memegang kendali atas triliunan rupiah. Setiap saat, dia berhadapan dengan risiko besar. Tapi kita tak membangun sistem untuk menjaga anak bangsa ini terjehat kasus korupsi. Yang kita lakukan adalah memasang jerat, lalu bertepuk tangan saat seseorang terjerat di situ.

Rekam jejak pria berkumis itu dimulai dari pegawai negeri biasa. Dia berkarier di semua level. Mulai lurah, camat, pegawai pemerintah provinsi, stah humas, wakil bupati, kemudian wakil gubernur, lalu gubernur dua periode. Di semua level itu, dia meninggalkan jejak dan prestasi. 

Dia sudah berbuat banyak pada negara, yang justru memperlakukannya seperti kriminal. Aparat negara menuduhnya telah menghilang, tanpa memberinya ruang untuk menjelaskan apa yang sedang dia alami.

Profesor Jimly, dalam cuitannya, menyebut ada tiga hal yang abai pada etika. Dia mengatakan:

Etika baik-buruk dlm brnegara kian turun. Liat 1. mentan yg sdg wakili RI di LN dittapkn trsngka KPK tnpa nunggu pulang dulu; 2. eks jubir KPK jadi pngcara trsngka krupsi; 3. wamentan yg diisukn ditampar Menhan sbg brita hoaks diam sj, tp jd aktif di pers ttg mentan yg mnghilang

Jika penegak hukum lebih mendepankan drama ketimbang substansi, maka ketidakpercayaan publik bisa mencuat. Apalagi jika keberpihakan politik mempengaruhi pengakan hukum. Persoalan hukum kerap bertransformasi menjadi masalah non-hukum sehingga menjauhkan hukum dari tujuan sebenarnya yakni bagaimana menggapai keadilan.

Saya ingat analisis Sebastian Pompe dalam disertasi “The Indonesian Supreme Court: Fifty Year of Judicial Development,” Selama hampir empat dekade, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum kian marak. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh aparat hukum.

Kita sering melihat praktiknya di berbagai proses peradilan, baik pidana maupun perdata yang terkesan direkayasa, serta berdasarkan pertimbangan transaksional. Penggunaan pasal bisa dinegosiasikan, bisa dilakukan tawar-menawar. Tuntutan pun bisa diatur. Betapa kekuasaan memiliki kuasa untuk menentukan hukum, baik kuasa uang maupun kuasa politik.

Kita merasa prihatin ketika tujuan utama menangani perkara saat ini tidak lagi guna menegakkan hukum serta keadilan, melainkan guna memenangkan perkara. Apalagi jika putusan pengadilan tidak lebih sebagai hasil konklusi dari deduksi teks Undang-Undang terhadap peristiwa konkrit dalam suatu kasus.

Pertimbangan adil dan tidak adil menjadi sangat relatif, karena argumentasi hukum para hakim berakhir dalam konklusi logika deduksi yang lebih menekankan kepastian hukum, mengabaikan nilai-nilai moral keadilan. 

Padahal, peradilan seharusnya menjalankan fungsi kemasyarakatan, menyelesaikan masalah masyarakat, tidak sebatas menerapkan peraturan perundangan yang menekankan kepastian hukum.

Mantan Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, menyebut ada empat faktor yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia dikuasai para mafia hukum.

Pertama, moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik.  

Kedua, budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat. 

Ketiga, tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut.

Keempat, kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional.  

Kelima, rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur

Situasi kita serupa lingkaran setan (the devil circle) di mana berbagai pihak saling menutupi dan saling ancam agar tidak membuka apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.  Jika tidak ada political will yang kuat, maka mafia hukum akan selamanya menguasai bangsa ini, dan mengendalikan banyak hal. 

Situasinya makin parah jika pimpinan lembaga negara sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya. Dia sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu kotor”.

Untuk itu, kekuatan-kekuatan masyarakat sipil mesti tampil ke depan untuk membereskan situasi. Semua pihak mesti berkolaborasi untuk mengatasi situasi, agar peradilan Indonesia tetap berwibawa dan menjadi payung yang melindungi segenap warga negara.

*** 

TERLEPAS dari benar salahnya Syahrul, seyogyanya dia tetap diizinkan menggenggam sisi kemanusiaannya. Biarkan dia melewati semua proses hukum, tanpa harus dipermalukan. Tanya dia, apa betul dia bersalah, setelah itu kita perlahan menata ulang apa yang terjadi di tata kelola kenegaraan kita.

Sebagai pembelajar hukum, Syahrul paham apa yang sedang dihadapinya. Sebagai pejabat, dia siap menghadapi risiko apapun. Biarkanlah dia bersaksi di pengadilan. Sebagai publik, kita akan melihat ulang semua catatan dan kesaksikan.

Kata seorang bijak: “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.


6 komentar:

Anonim mengatakan...

Ada siang ada malam ,ada saat populer ada saat terpuruk Allah sebaik baik pembuat skenario hidup yg kuasaNyya besar

Nur Terbit mengatakan...

Banyak kejanggalan dalam penanganan kasus Syahrul. Selain yang disebutkan di atas oleh bung Yusran, juga ada Menko Polhukam yg tiba2 jadi jubir KPK. Sedang KPK tiba2 "loyo" ketika Syahrul sudah pulang. Tidak segarang ketika melalukan penggeledahan...hehe...

Anonim mengatakan...

Pretttt penjahat ya tetep penjahat

Anonim mengatakan...

Keadilan akan ditegakkan semoga saja

Anonim mengatakan...

Sependapat dengan tulisan ini. Semuanya masih sumur. Tuduhannya belum terang, tapi akrobat KPK sukses membuat seorang pejabat terhormat jadi hina.
Di mana azas praduga tak bersalah? Jika tidak terbukti bersalah, nama baik yang kadung rusak siapa bertanggungjawab memulihkannya?

M Ghazaly Renhoran mengatakan...

Terlepas dari masalah yang sedang dihadapinya, beta sedari dulu begitu menhormati SYL, karena satu hal: level up! SYL adalah seorang petarung sejati jika kita melihat perjalanan karirnya dari bawah. Menjadi PNS pada tahun 1980 dan bertahap menjadi kepala seksi, kasubag, kabag, sekda, hingga Bupati semuanya dilalui dirinya. Setelahnya menjadi wakil Gubernur, Gubernur dan terakhir menjadi Menteri.

SYL adalah politisi yang punya kesadaran naik kelas, level up. Di semua level itu dia Dari birokrasi menjadi politisi lokal dan kemudian bercokol di panggung nasional. Tidak banyak politisi yang membangun karir politiknya seperti ini.

Posting Komentar