Tiba-tiba saja anak muda itu menghubungi saya. Namanya Luki. Dia salah satu graphic designer terbaik di kota Makassar yang selama beberapa tahun ini tinggal di Belfast, Skotlandia.
Namun lidah anak muda ini tetap Makassar. Bukan cuma logat, yang bagi orang luar, bisa bisa bikin lidah terlipat-lipat, tetapi juga ujung lidahnya yang masih menganggap kuliner Makassar sebagai kuliner terbaik di dunia.
Orang-orang Bugis Makassar menerapkan ajaran John L Naisbitt yakni Think Global and Act Local. Mereka “think global” dan bertualang saat berpikir, namun dalam hal kuliner, mereka selalu “act local”. Mereka memilih kuliner rumahan. Rasa kuliner local terlanjur terpatri di lidah mereka.
Pantas saja jika coto bisa ditemukan di berbagai kota yang memiliki diaspora orang Bugis Makassar. Bukan hanya di tanah air, namun juga di kota-kota semenanjung Malaysia hingga Sarawak. Bahkan coto Makassar ada di jantung Singapura.
Luki mengajak saya untuk mencicipi coto yang berlokasi di Jalan Gagak. Ini warung coto yang legendaris. Hampir semua penggemar coto pasti pernah ke sini.
Semasa jadi jurnalis yang berkantor di Jalan Cenderawasih (kini diganti namanya jadi Jalan Opu Daeng Risaju), saya sering ke warung ini.
Dulu, masih berupa warung kaki lima. Kini sudah bersalin rupa jadi restoran berdinding beton. Manajemennya lebih modern. Bahkan kedai ini punya cabang di beberapa lokasi. Salah satu lokasi yang sering saya singgahi adalah Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.
Dulu, pengunjung bisa mencicipi coto sembari melihat penjualnya memasak coto di wadah tanah liat, yang berdiri di atas tungku dan dibawahnya api menyambar-nyambar. Kini, ruang makan dan ruang dapur terpisah.
Kita tak bisa lagi melihat sosok Jamaluddin Daeng Gassang, pemilik coto, dengan peluh bercucuran di dapur. Semua pegawainya memakai seragam khusus.
Namun jejak masa lalu masih dipertahankan. Di dinding resto ini, ada banyak foto selebritis dan artis yang singgah makan. Istilah akan muda sekarang, itu adalah endorse.
“Makan ki,”kata seorang pelayan berwajah manis. Saya langsung mencicipinya. Pikiran saya menjelajah ke berbagai kota di mana saya pernah mencicipi coto ini.
Di semangkuk coto ini, terdapat 40 jenis rempah-rempah, yang tidak cuma memperkuat cita rasa, tetapi juga meminimalisir dampak dari coto.
Banyaknya rempah menunjukkan jejak-jejak masa silam di mana Massar adalah sentrum dari perdagangan rempah. Pernah ada masa di mana Pelabuhan Somba Opu penuh dengan hilir mudik bangsa asing yang hendak berdagang rempah.
Konon, coto Makassar sudah ada sejak tahun 1530, yang awalnya adalah makanan untuk rakyat jelata, yang kemudian ‘naik kelas’sebab digemari para bangsawan.
Dalam soal rasa, tak ada kasta. Sebab lidah semua manusia sama. Ada kode-kode kebudayaan yang melekat dan menjadi penetu enak dan tidak enaknya sesuatu.
“Gimana kak? Enak ki?”tanya Luki.
Dia melihat saya makan dengan lahap. Saya tak lantas menjawab pertanyaannya. Dari tas kecil, saya keluarkan tembakau khas Bugis, sering disebut Ico Ugi.
Saya menaikkan satu kaki di atas kursi sembari mengisap Ico. Saya hembuskan kuat-kuat, sembari menggumam: “masipa!”
0 komentar:
Posting Komentar