Relawan Digital


Pemilu sudah dekat. Semua politisi sedang berebut pengaruh. Semua ingin melalui tahapan marketing politik, yakni diketahui, dikenal, disukai, didukung, dan dipilih. 

Di Sidrap, seorang caleg meminta saya untuk membawa materi tentang relawan digital di hadapan tim suksesnya. Tadinya pengen nolak, tetapi rasanya tidak enak hati. Sebab sebelumnya saya ditraktir kuliner nasu palekko, bebek olahan yang nikmatnya luar biasa.

Caleg dan relawannya itu hendak merambah ke ranah digital. Namun, tak semuanya paham kalau di dunia itu tak ada sesuatu yang instan. Di ranah digital, Anda mesti setia dengan proses. Tidak mungkin langsung populer dalam seketika.

Anda harus mulai dari memetakan siapa audiens, setelah itu memberi asupan konten, hingga akhirnya follower kian membesar. Di titik itu, Anda bisa membangun satu Digital Tribe, kata Seth Godin, di mana Anda menjadi gravitasi dari satu komunitas.

Saya lihat problem bagi mereka yang baru merambah di dunia digital adalah seringkali mengira dunia itu sama dengan dunia yang dijalaninya. Jika dia populer di dunia nyata, maka dikiranya hal yang sama berlaku di dunia digital.

Sering pula ada gap atau jarak antar generasi. Seorang senior yang masih boomer sering marah-marah saat berinteraksi di WA haya karena dipanggil Om. Padahal panggilan itu biasa saja. Di Kaskus hingga forum jual beli, panggilan Om sering digunakan.

Yang sering saya lihat ada anggapan kalau relawan digital adalah gratisan. Soal ini sering dikeluhkan para pelaku industri kreatif di berbagai daerah. 

Seorang kawan fotografer pernah bercerita betapa dirinya sering dipandang remeh oleh klien Profesinya dianggap hanya hobi, sehingga dirinya sering tidak dibayar. “Kan ko Cuma klik-klik saja. Masak harus dibayar?” kata seseorang kepadanya.

Tak semua caleg paham kalau bermain-main di medsos tidak selalu gratisan. Anda mesti punya strategi menjangkau jutaan audiens dengan mengoptimalkan berbagai strategi. Perlu pula membentuk satu tim yang profesional.

Tak sekadar menghimpun barisan anak muda. Namun ada beberapa profesi yang akan saling terhubung dan membentuk satu ekosistem. Mulai dari konten kreator, graphic designer, video editor, hingga digital marketeer.

“Apa ada di antara kalian yang punya pengalaman kelola akun di medsos?” tanyaku. Semua menggeleng.

Saya bayangkan betapa banyaknya pekerjaan rumah yang harus dikejar. Sebab semua butuh proses. Butuh kerja-kerja jangka panjang, tidak sekadar memanaskan mesin politik menjelang proses pemilihan.


0 komentar:

Posting Komentar