MUSLIMIN BANDO


Di Jakarta, saya jumpa pria yang kini berusia 70 tahun itu. Dia, Muslimin Bando, adalah Bupati Enrekang dua periode. Kami berbincang akrab seolah telah lama mengenal. Sebagai politisi senior, dia tak pelit berbagi informasi.

Menurutnya, politik bukan sesuatu yang tiba-tiba saja jatuh dari langit. Butuh proses panjang, integritas, serta rekam jejak. Jika Anda ingin berpolitik hari ini, mulailah dengan membangun relasi dengan siapa saja. Mulailah dengan menanam kebaikan.

Pria yang lama berprofesi sebagai guru itu bercerita pengalamannya lebih dari 30 tahun silam. Saat itu, anaknya, Mitra (kini berusia 36 tahun) masih berusia 3 tahun. Anak itu ditabrak seseorang kemudian terseret hingga beberapa meter. 

“Saya sudah berpikir yang terburuk. Ternyata anak saya masih hidup dan dibawa di rumah sakit. Dia sempat koma,”katanya.

Mendengar sopir yang menabrak anaknya ditahan, Muslimin mendatangi kantor polisi. Dia minta agak sopir itu segera dibebaskan. Polisi terheran-heran. “Pak, dia tabrak anakta sampai parah. Kenapa dibebaskan?”

Bukan cuma polisi. Sopir itu pun ikut terheran-heran. “Biasanya, sopir yang menabrak akan ditahan. Atau minimal bayar denda. Kok saya malah disuruh pulang, tanpa ada tuntutan?”

Saat itu, Muslimin berpikir bahwa itu hanyalah kecelakaan. Tak mungkin sopir itu sengaja menabrak. Semua orang berpotensi untuk berbuat salah. Dia berpikir, daripada memperpanjang masalah, lebih baik dia memutus permasalahan. Disuruhnya sopir itu pulang. Baginya, kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit?

Untunglah, anaknya sembuh dan kembali beraktivitas. Malah, setelah dewasa, dia menjadi politisi sukses.

Sekian puluh tahun berikutnya, Muslimin berniat maju menjadi Bupati Enrekang. Dia mengunjungi banyak desa untuk memperkenalkan diri. Saat hendak mencapai satu desa, dia terkejut dengan penerimaan masyarakat. Belum sampai di desa itu, orang-orang mendatanginya dengan senyum dan akrab. Ada apa gerangan?

Seorang warga bercerita, “Di kampung sana, ada orang yang tiap hari mengampanyekan Bapak. Dia cerita ke banyak orang kalau Bapak orangnya baik. Makanya, Bapak belum tiba di sana, tapi nama Bapak sudah harum dibicarakan.”

Usut punya usut, pria yang mengampanyekan dirinya itu adalah sopir yang dulu menabrak anaknya. Selama lebih 30 tahun berlalu, dia tak pernah lupa kebaikan yang diterimanya. Dia menanti saat yang tepat untuk memberi balas atas kebaikan yang diterimanya dari Muslimin.

“Makanya Dik, kalau mau jadi politisi, mulailah dengan berkawan dengan siapa saja,”kata Muslimin. 

Saya terdiam. Kebaikan memang serupa benih yang bisa disebar dan ditanam di mana-mana. Kebaikan tak selalu langsung mendatangkan manfaat, namun sering kali membutuhkan waktu yang tepat untuk menjadi buah segar dan mengatasi haus dan lapar.

Politik memang bisa dikarbit, sebagaimana bisa kita lihat pada bayak orang yang sibuk saat menjelang pemilihan. Politik bisa ditopang biaya mahal. Namun sejarah akan membentangkan rekam jejak seseorang, sehingga menentukan sejauh mana dia akan dipilih di bilik suara.

Namun politik yang genuine tak membutuhkan banyak biaya. Cukup ketulusan dan karakter kuat, lalu menyebar ke mana-mana. Sebab tak pernah ada hasil yang mengkhianati proses. Tak pernah ada capaian yang mengkhianati ikhtiar.

Iya kan?


0 komentar:

Posting Komentar