hio yang digunakan untuk upacara di satu wihara, di kota Bogor |
SELAMA ratusan tahun, kaum Tionghoa telah
lama melebur secara kultural dengan warga yang terlebih dahulu mendiami bumi
Nusantara. Sungguh disayangkan, dalam beberapa hari ini, kebencian terhadap
kelompok Tionghoa seakan memenuhi udara. Mereka masih saja dianggap sebagai
kaum pendatang yang tiba-tiba saja menguasai sektor ekonomi.
Padahal, di kalangan warga Tionghoa
sendiri, terdapat begitu banyak lapis-lapis realitas yang tak banyak diketahui
publik. Memang, ada di antara mereka yang menempati lapis terkaya. Tapi banyak
juga yang hidup sebagai petani dan buruh pabrik. Namun prasangka ibarat virus
yang terlanjur mengakar. Sebagian dari
kita terlanjur curiga dan menaruh syak wasangka atas kehadiran mereka. Selama
sekian tahun republik ini berdiri, ada banyak pekerjaan rumah yang harus
dibereskan.
***
AKSARA Cina tergurat di satu wihara di
Belitung. Aksara itu membentuk kalimat bertuliskan “Tong ngin Fan ngin jit jong”, yang bermakna Tionghoa dan Melayu
adalah bersaudara. Bagi orang Belitung, semboyan itu adalah simpul yang
merekatkan hubungan antara orang Melayu dan Tionghoa peranakan. Mereka adalah
saudara yang sebenar-benarnya.
Jika keluarga Tionghoa merayakan imlek,
maka tetangga Melayu akan membawakan rendang. Sebaiknya, jika keluarga Melayu
merayakan Lebaran, maka keluarga Tionghoa akan memberikan makanan dan kue-kue.
Hubungan ini dipertahankan secara kultural, dan menjadi bagian dari ritual yang
sama-sama dipertahankan. Masyarakat Belitung kerap menyebut istilah 13 kali
Lebaran. Maksudnya, peringatan 13 hari besar Islam Islam dan Tionghoa yang
dirayakan bersama. Dua etnik ini saling bekerja sama, saling merindukan.
Saya menemukan fakta-fakta ini dalam buku
berjudul Peranakan Tionghoa di Nusantara, yang ditulis jurnalis Kompas,
Iwan Santosa. Buku ini merupakan rangkuman dari catatan jurnalistik tentang
Tionghoa peranakan di banyak tempat di Nusantara. Kesemua catatan itu pernah
dimuat di harian Kompas. Dikarenakan kumpulan tulisan, saya menemukan beberapa
kelemahan. Di antaranya adalah pengulangan ide, alur narasi yang seakan menggantung,
hingga reportase yang kurang mendalam.
buku karya Iwan Santosa |
Meski demikian, saya larut saat menelusuri
satu demi satu kepingan fakta yang kesemuanya hendak mengatakan bahwa di ranah
kultural, kaum Tionghoa peranakan adalah bagian dari mozaik kekayaan bangsa
Indonesia. Mereka memiliki jejak sejarah panjang, yang tak semuanya adalah
kisah indah, tetapi juga banyak menyimpan kisah-kisah kelam. Kisah itu jelas
dipengaruhi dinamika aspek politik, ekonomi, dan budaya dari masyarakat. Ada
masa di mana rezim mengistimewakan mereka, tapi ada pula saat rezim mendiskriminasi mereka.
Beberapa bagian dari kisah ini tidak
mengejutkan buat saya. Terkait perjumpaan antara Melayu dan Tionghoa di
Belitung, saya menemukan beberapa kenyataan pernah dicatat oleh novelis Andrea
Hirata dalam serial Laskar Pelangi. Dalam
serial itu, Andrea mengisahkan seorang remaja Melayu bernama Ikal yang memendam
suka pada remaja Tionghoa bernama Aling. Di antara Ikal dan Aling terdapat
dinamika budaya yang justru kian mendekatkan mereka.
Buku karya Iwan Santosa ini membahas
bagaimana peranakan Tionghoa dari Sabang sampai Merauke. Tentu saja, tidak
mungkin buku ini membahas semua daerah. Tapi, cukuplah memberi gambaran tentang jejak Cina di berbagai daerah.
Mulai dari bagaimana tradisi Barong landung yang mempersatukan orang Bali dan
Tionghoa, hingga peleburan tradisi antara Tionghoa dan Betawi. Pembahasan
tentang Tionghoa di Batavia atau Jakarta ini cukup panjang diuraikan. Mulai
dari Kapiten Souw Beng Kong yang tersohor di Batavia, sejarah kawasan Glodok
dan Tanah Abang, kedai babah-mpok Betawi yang dahulu jadi pentas dansa-dansi.
Saya juga menemukan kisah gemerlapnya budaya kaum Tionghoa di jakarta pada tahun
1920-an. Saya baru tahu kalau di masa itu musik jazz sudah menjadi musik kelas
atas.
Bagian yang saya sukai adalah kisah kaum Tionghoa
miskin di Tangerang, Banten. Penulisnya mencatat bahwa imlek sejati adalah
milik mereka sebab mereka merayakannya dengan bersahaja, penuh kesederhanaan,
serta lebih mengedepankan pada makna. Suasananya sangat kontras jika
dibandingkan dengan kaum Tionghoa di China Town, Jakarta. Baru saya tahu kalau
banyak di antara mereka dirawat di panti asuhan yang dikelola beberapa Yayasan
Budhis.
Beberapa tradisi dan budaya juga dibahas di
sini. Saya menemukan kisah tentang wayang Potehi sebagai seni pertunjukan,
sastra Melayu-Tinghoa, pemakaman Melayu Islam di Ancol, bagaimana keberadaan
Masjid Laotze, kisah Pecinan di Semarang, tradisi Peunayong di kalangan Cina di
Aceh, hingga perkawinan antara orang Tionghoa dan Papua, yang sering disebut
Perancis atau Peranakan Cina-Serui.
Yang tidak saya temukan di sini adalah
bagaimana pengaruh kaum Tionghoa di Makassar. Padahal, jejaknya cukup banyak.
Saya menemukan beberapa lagu berbahasa Makassar justru diciptakan oleh orang
Tionghoa Makassar. Tak hanya itu, sejarawan Edward Poelinggomang mencatat
bagaimana tradisi ruko, warung kopi, hingga pertokoan yang diawali oleh orang
keturunan Cina.
***
SEPUCUK pesan elektronik datang pada
tanggal 4 November, malam. Pengirimnya adalah Shuyi Chen, seorang mahasiswa
program doktor bidang sejarah di Amerika Serikat. Shuyi tengah berada di
Indonesia. Ia menyaksikan berita-berita rusuh di televisi. Ia lalu mengepak
koper dan bersiap-siap ke bandara. Ia ingin langsung ke Bali. Ia tiba-tiba saja
khawatir atas apa yang disaksikannya di layar televisi. Ia masih dihantui
trauma atas peristiwa Mei 1998 saat pertokoan warga Tionghoa dibakar dan
dijarah. Kepadanya, saya meyakinkan agar tak perlu khawatir. Saya katakan bahwa demonstrasi itu memiliki
tujuan damai, yang hendak mendesak pemerintah agar segera memproses dugaan
penistaan agama yang dilakukan Ahok, Gubernur DKI Jakarta (nonaktif).
“Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja. Tapi saya wajar merasa khawatir,” katanya.
Shuyi memang pantas khawatir. Sebagai warga
keturunan Tionghoa, ia telah melalui banyak diskriminasi. Ia sering dianggap
tidak nasionalis, tidak cinta Indonesia, serta membangun jarak dengan dunia
sosial. Padahal, dia lahir dan besar di Indonesia. Dia membaca sejarah, mulai
dari periode kebangkitan nasional yang melejitkan sosok Tirto Adhisoerjo, Mas
Marco, hingga Semaoen, serta juga membaca kisah-kisah zaman pergerakan hingga
sosok Soe Hok Gie yang catatannya selalu menggetarkan. Bahasa yang dikuasainya
hanya satu yakni bahasa Indonesia. Belakangan, ia belajar bahasa Inggris.
Tak semua orang memahami latar belakangnya. Kalaupun
dijelaskan orang tidak selalu mau tahu. Ia langsung divonis sebagai Tionghoa
angkuh yang eksklusif dan tak peduli sekitar. Di hari-hari terakhir, eskalasi
kecaman terhadap Ahok semakin meningkat seiring dengan prasangka etnik yang
terus-menerus direroduksi. Tema-tema yang dibahas di ajang pemilihan kepala
daerah (pilkada) adalah tema-tema berupa identitas etnik dan agama, tanpa masuk
pada substansi perdebatan tentang apa yang harus dilakukan untuk satu kota.
Tema-tema identitas itu hanyalah aspek permukaan dari tugas kepala daerah
selaku administratur kota.
Saya tahu persis bahwa Shuyi bukanlah penggemar
Ahok. Ia mengkritik beberapa kebijakan Ahok yang memarginalkan masyarakat lapis
bawah. Seharusnya, semua kebijakan dan kiprah Ahok harus ditantang dalam
forum-forum dialog dan debat antar kandidat. Ia harus dicecar dengan pertanyaan
mengapa harus memihak satu kelompok lalu meminggirkan kelompok lain. Ia harus
ditantang untuk debat soal ekonomi, pemerataan, serta jurang kaya miskin yang
semakin lebar di bawah pemerintahannya. Apa boleh buat. Dalam hal politik kita, orang-orang lebih suka membahas bungkus, ketimbang isi. Substansi politik terabaikan, tenggelam di balik isu-isu seperti etnik dan agama.
Mengingat argumentasinya, saya memikirkan
banyak hal. Etnisitas adalah perkara yang tak pernah bisa kita tolak. Kita tak
pernah bisa memilih lahir dan besar di keluarga mana. Kita terlahir sebagai
manusia yang langsung menerima sematan identitas etnik, tanpa kuasa untuk
menolaknya. Seiring usia, kita akan melihat bahwa seringkali prasangka etnik
justru muncul dari kerancuan berpikir, yakni melakukan generalisasi. Lagian, apa
yang kita sebut sebagai etnik tidak lebih dari konsep-konsep dalam alam pikir
kita yang dijadikan pembeda antara satu kelompok dengan kelompok lain. Sebagaimana
dicatat Benedict Anderson, konsep tersebut tak lebih dari fiksi atau imajinasi
yang seringkali dilihat sebagai sesuatu yang politis hingga terbangun jarak
dengan kelompok lain.
Tak semua etnik Tionghoa memiliki kekayaan
seperti Liem Sio Liong. Tak semuanya punya kekayaan seperti keluarga Putra
Sampoerna. Tak semuanya adalah koruptor BLBI yang merampok kekayaan negara.
Kita lebih sering menuding mereka, tanpa
melihat diri dan kelompok kita. Tengok saja berapa orang yang divonis koruptor,
berapa banyak yang menghuni penjara, hingga berapa orang yang jadi pencuri,
kriminal, hingga pencoleng. Pernahkah kita mengajukan protes pada para koruptor yang memiki kesamaan agama dan
suku bangsa dengan kita? Mengapa pula kita hanya menuding
mereka tanpa menuding diri kita sendiri?
Atau barangkali ada aspek ekonomi politik
yang lalu melahirkan endapan ketidaksukaan terhadap Shuyi dan komunitasnya. Dalam
pandangan saya, pemaknaan kita terhadap
identitas Tionghoa selalu dipengaruhi oleh tarikan-tarikan kepentingan dalam
sejarah. Semua rezim punya kebijakan sendiri yang seringkali mendiskriminasikan
mereka, tanpa membuka sekat-sekat atau kanal sosial yang memungkinkan semua
identitas bisa berbaur dan mengusung identitas Indonesia yang sama.
Warga Tionghoa itu mengalami banyak
peristiwa sejarah. Di zaman Belanda, mereka diistimewakan pemerintah kolonial
agar bisa dipajaki dan dikeruk. Di zaman Orde Baru, mereka dipersempit
ruangnya, sehingga tak punya kesempatan di ranah politik dan pelayanan publik.
Pemerintah Orde Baru, yang dipimpin Presiden Soeharto, menistakan semua
ekspresi kultural orang Tionghoa disebabkan dendam atas keterlibatan sebagian
dari mereka pada Partai Komunis Indonesia.
Mereka dianggap berbahaya lalu dijauhkan di
bidang politik, akan tetapi di lapangan ekonomi, pemerintah justru menawarkan
kemudahan bagi mereka, sesuatu yang kemudian melahirkan ketidakadilan. Beberapa
dari mereka menjadi orang kaya baru, menjadi segelintir orang-orang kaya di
tengah lautan manusia Indonesia yang hendak keluar dari garis kemiskinan. Birokrasi
Orde Baru lebih mengistimewakan mereka, sehingga menumbuhkan perasaan
anti-Tionghoa yang setiap saat bisa dikipasi menjadi kerusuhan sosial.
***
DI tengah-tengah berita televisi yang
berseliweran, saya membaca buku karya Iwan Santosa tentang Tionghoa Peranakan.
Saya tahu bahwa ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh republik
ini. Di antaranya adalah makin suburnya prasangka rasial yang justru berangkat dari ketidakpahaman atas sejarah dan budaya kita. Kita tak bisa membumikan mozaik dan
keragaman sebagai kekuatan yang harusnya menjadikan bangsa ini terdepan dari
bangsa-bangsa yang damai dan mencintai pengetahuan serta kebijaksanaan.
Saat merenung, satu pesan singkat masuk ke ponsel saya. Pesan itu dikirimkan Shuyi.
Saat merenung, satu pesan singkat masuk ke ponsel saya. Pesan itu dikirimkan Shuyi.
“Yos, semoga Indonesia selalu damai. Semoga garuda tetap menjadi garuda yang sayapnya melindungi semua warga, tanpa memandang siapa.”
Bogor,
4 November 2016
BACA JUGA:
4 komentar:
Ikut mengaminkan harapan Shuyi. Semoga...
amin. semoga demikian adanya.
salam.
ulasannya seperti biasa supeeŕrr
Makasih mb Olive. Semoga selalu berbahagia.
Salam.
Posting Komentar