Anak-Anak Korban Bom Samarinda



ADA lagi bom meledak. Di Samarinda, saya mendengar kisah tentang empat anak yang menjadi korban pelemparan bom molotov. Kejadiannya di Gereja Oikumene, Minggu (13/11). Anak-anak itu menderita luka bakar di sekujur tubuhnya. Anak-anak itu kelak akan dewasa sembari membawa bekas luka, semacam jejak yang mengingatkan mereka pada satu peristiwa traumatik di masa silam.

Bagi kita, peristiwa itu hanya menjadi sebaris kejadian yang keesokan harinya akan segera berlalu. Tapi bagi anak-anak itu, peristiwa itu akan menjadi trauma, ingatan yang saat dikenang bisa menghadirkan sembilu yang mengiris hati. Mungkin, anak-anak itu akan membawa rasa perih setiap kali melihat bekas luka bakar itu. Mungkin, selama bertahun-tahun, mereka akan bermimpi buruk tentang seorang lelaki yang datang dengan memakai kaos bertuliskan jihad, lalu melempar bom. Duarr!!! Dunia lalu mengabur.

Saya berharap anak-anak itu tidak punya selapis benci pada keyakinan yang menuntun lelaki pelempar bom itu. Lelaki itu ibarat sosok Silas dalam novel Da Vinci Code karya Dan Brown, yang menjalankan perintah untuk menebar teror. Silas melaksanakan pesan itu dengan kesadaran penuh kalau dirinya sedang menjalankan perintah Tuhan, meskipun itu adalah teror.

Lelaki pelempar bom itu merasa sedang sedang menegakkan kebenaran. Ia merasa sedang memurnikan ajaran Tuhan yang mengirimkan rasul sebagai berkah bagi alam semesta. Di situ ada harapan yang dikuatkan dengan bara keyakinan untuk menegakkan kebenaran. Dan bara itu selanjutnya serupa magma yang panas dan memuntahkan amarah. Maka mengamuklah dirinya, lalu menyebut-nyebut nama Tuhan, lalu dengan heroik melempar bom.

Saya terkenang John Lennon yang bersenandung, “Imagine, there’s no heaven. Imagine there’s no country, there’s no religion too.” Jika saja tak ada kehidupan serba indah langit, barangkali manusia tak akan menjalankan misi-misi untuk menggapai kehidupan yang lebih sempurna. Namun, semuanya kembali pada seperti apa kita memandang langit. Jika kita melihatnya penuh amarah, maka kita dalam keadaan serba takut jika melanggar perintah. Jika kita melihatnya serupa ibu yang penuh kasih sayang, kedamaian akan selalu hadir dalam diri.

Di tanah air Indonesia, agama belum dimanifestasikan untuk merawat kehidupan yang lebih baik. Belum menjadi pedoman atau kompas ke mana kehidupan ini bergerak. Agama dijelmakan sebagai sebuah kategori sosial. Semacam penanda atau identitas sebuah kelompok. Mungkin saja, dia yang melempar bom itu hendak berkata, aku benar dan kamu bukan. Ketika kamu kafir dan sesat, kamu tidak berhak atas cinta kasihku. Kamu tak berhak atas keadilanku. Kamu tak berhak menerima rahmat atas seru sekalian alam, serta kedamaian yang terpancar dari hati.

Mungkin lelaki pelempar bom hendak berkata kamu layak menerima amarahku. Mungkin dia hendak berteriak ketika kamu berbeda, maka kamu telah mengancam diriku. Maka sesatlah kamu dan bakal menerima nasib para umat yang pernah diperangi dan ditimpakan azab. Mungkin saja lelaki itu membaca kitab dan menemukan catatan tentang para umat yang ditenggelamkan ke dasar bumi, diberi azab berupa banjir besar atau api yang turun dari langit. Dia ingin mengambil peran Tuhan, menebar azab ke mereka yang berbeda.

***

SAYA sedih membayangkan wajah kanak-kanak tak berdosa itu. Rasa-rasanya air mata ini tumpah untuk kesedihan yang dengan segera menggantikan bahagia mereka saat bermain. Di hari Minggu, kanak-kanak datang ke rumah ibadah bersama orangtuanya. Saat orangtuanya beribadah, mereka akan bermain dengan riang. Tawa ria dan senyum mereka adalah unsur penting yang menandakan kehadiran Tuhan. Di rumah ibadah itu, mereka bermain dengan penuh bahagia. Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi.

Sebuah bom berisikan pesan yang hendak digemakan ke mana-mana. Pesan itu lahir dari kristalisasi pengalaman dan pembelajaran yang diterima di banyak ranah kehidupan. Si pembom itu merasa sedang menegakkan nilai dan ajaran. Ia menyasar mereka yang berbeda sebab dianggapnya kafir dan sesat. Si pembom tak sempat melakukan refleksi dan kontemplas mendalam, kalau-kalau justru dirinya yang jauh dari titian nilai kebenaran.

Bagi anak-anak itu, keyakinan keberagamaan hanyalah satu konsep yang sukar dipahami pikiran kecil mereka. Mereka tak paham bahwa dunia yang dijalaninya adalah dunia yang serba terkotak-kotak. Orang-orang saling membangun tembok-tembok yang fundasinya dikukuhkan oleh iman dan keyakinan. Saat iman tak sama, dialog dan kesepahaman tak selalu terjadi. Perbedaan itu merambah ke dimensi politik, ekonomi, dan budaya.

Anak-anak itu tidak tahu menahu tentang bahwa perbedaan keyakinan kerap kali menjadi tembok pemisah. Anak-anak itu tidak tahu bahwa jika kelak mereka dewasa lalu ingin menjadi pemimpin di satu wilayah, keberagamaan dan keyakinan mereka akan dipertanyakan banyak orang, yang justru tak peduli pada apa rencana dan kerja-kerja ril mereka. Anak-anak itu tidak tahu bahwa di negara yang katanya menjunjung tinggi nilai dan etika ini, terdapat banyak orang yang ingin menegakkan nilainya sendiri, tanpa memberikan kewenangan kepada negara.

Jika saja anak-anak itu membaca media, mereka akan menyaksikan gelombang aksi yang mengutuk aksi lempar bom itu. Bangsa ini memang hanya bisa mengutuk. Seolah-olah ketika mengutuk, selesailah semua persoalan. Padahal, mengutuk hanyalah satu reaksi sesaat, yang lalu dilanjutkan dengan kerja-kerja cerdas untuk menata ulang formasi sosial masyarakat yag terpecah-belah oleh doktrin dan keyakinan. Sayang, kita tak siap dengan kerja-kerja hebat itu.

Betapa sulitnya menanamkan kesadaran spiritual bahwa manusia itu sama, tanpa harus memandang perbedaan. Betapa sulitnya merawat bumi dan manusia lain sebagai bagian dari diri kita. Agama masih dilihat sebatas kosmetik politik dan kebanggaan semu. Di arena politik, orang-orang tiba-tiba saja menjadi religius saat hendak bersaing menjadi pejabat publik. Banyak orang yang dibohongi (pakai) ayat-ayat. Banyak orang yang mau saja dibohongi (pakai) label keyakinan.

Kita bangga menyebut diri sebagai negeri religius, tapi kita tak pernah bertanya, apakah ajaran agama yang indah itu sanggup kita jelmakan dalam tatanan hukum. Kita alpa memandang, apakah keadilan bisa menjadi payung buat semua anak bangsa, apapaun keyakinannya. Kita mempunyai kementerian agama, namun kementerian ini tidak pernah melakukan transformasi sosial, menanam benih kesadaran bahwa agama hadir hanya sebagai jalan untuk menemukan diri-Nya yang penuh kuasa dan mengatur bumi dengan hukum-hukum-Nya.

***

SAYA masih terkenang kanak-kanak itu. Saya berharap peristiwa ini justru bukan menjadi akhir, melainkan awal bagi kehidupan mereka. Saya berharap mereka serupa burung phoenix yang selalu terlahir setiap kali ada maut menikam diri. Mudah-mudahan saja, peristiwa bom ini adalah awal bagi mereka untuk memahami berbagai dinamika dan karakter manusia.

Kalaupun mereka harus trauma, tak mengapa. Semoga saja trauma itu tak terus-terus menghantui mereka. Bangsa ini membutuhkan pribadi tangguh yang menjadikan masa silam sebagai titik tumpu untuk melesat. Negeri ini membutuhkan banyak anak muda yang berpikiran jernih, selalu memandang ke depan demi tanah air yang semakin kuat dan tidak menjadi sarang dari generasi frustasi yang suka melempar bom.

Di masa depan, saya akan amat bahagia mendengar kisah tentang para kanak-kanak yang terlahir kembali seusai tragedi bom, lalu tumbuh menjadi figur hebat yang berbuat banyak untuk sekitarnya. Semoga saja semua trauma itu bisa ditransformasi menjadi kekuatan dahsyat yang sukar dipahami. Semoga saja mereka bisa belajar pada Muhammad putra Abdullah yang tetap menunjukkan kasih sayangnya di tengah berbagai ketidakadilan yang diterimanya, atau pada Isa yang rela disalib demi umat manusia. Di abad kekinian, Mandela dan Gandhi yang menjalani masa remaja penuh nestapa dan trauma, akan tetapi saat dewasa mereka menjadi figur hebat yang tak mau mengutuk kegelapan lalu berbuat nekat, melainkan menyalakan sebatang lilin demi mengatasi gelap.

Ah, saya sungguh berharap pada anak-anak itu di masa depan.


Bogor, 13 November 2016




0 komentar:

Posting Komentar