From Tanjung Pinang With Love


gerbang Klenteng Senggarang di Tanjung Pinang

PADA mulanya, saya datang ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, untuk memberikan kuliah pada rekan-rekan mahasiswa di sana. Tak disangka, malah saya yang belajar banyak pada banyak orang. Saya belajar banyak kosa kata baru, pengetahuan baru, serta menelusuri serpih-serpih dan jejak sejarah di tanah Melayu yang sejarahnya sedemikian gemilang. Di satu klenteng kota ini, ada kesan yang tergurat abadi di hati.

***

HARI itu, udara Tanjung Pinang tampak cerah. Saya tiba di ibukota provinsi Kepulauan Riau itu saat langit berwarna biru. Saat hendak berangkat, saya sempat didera kekhawatiran kalau wilayah itu sedang ada larangan terbang karena kabut asap. Sebentar-sebentar, saya menyaksikan televisi yang selalu menyiarkan berita tentang kabut asap di tanah Riau. Ternyata situasinya sangat jauh berbeda. Beberapa hari sebelumnya, hujan telah mengguyur. Udara sangat bersih.

Di Bandara Raja Haji Fisabilillah, saya bertemu seorang mahasiswa. Ia datang menjemput dan mengajak saya keliling kota. Ia berkisah banyak tentang Tanjung Pinang sebagai salah satu simpul peradaban Melayu. Ia juga bercerita tentang masjid bersejarah Pulau Penyengat yang dibangun dari putih telur, serta lintasan peristiwa sejarah yang terjadi di pulau itu.

Selanjutnya, saya bertemu dua orang sahabat Alfriandi dan Wahyu yang saat ini menjadi staf pengajar di sana. Keduanya punya hasrat meluap-luap untuk belajar. Keduanya punya passion dan idealisme di ranah keilmuan, sesuatu yang mulai langka di kalangan para akademisi di ibukota. Yang saya lihat, banyak akademisi yang lebih suka tampil di televisi, tanpa melakukan kerja-kerja kecil yang bermakna. Tapi dua sahabat ini justru berbeda. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana menanam tradisi ilmu pengetahuan sehingga kelak bisa subur dan memberikan buah-buah manis bagi peradaban.

Kami berdiskusi berbagai topik. Kedua dosen muda ini membuka cakrawala berpikir saya untuk melihat persoalan lebih terang. Keduanya menjelaskan tentang bagaimana karakter orang Melayu saat berhadapan dengan konflik. Orang Melayu bisa memakai strategi dari ajuk hingga amuk. Ajuk adalah asal kata merajuk, yang menunjukkan bagaimana orang Melayu berusaha mengambil hati. Namun amuk menunjukkan level ketika tak ada kompromi dan dialog. Seseorang bisa mengamuk, menghancurkan apapun, hingga dirinya pun menjadi korban. Saya ingat kalau kosa kata “amuk” ini diperkenalkan ke bahasa Inggris menjadi “amok” oleh pengarang asal Skotlandia, Rudyard Kipling.

Kota Tanjung Pinang adalah kota yang sedang bertumbuh. Sebelum pemekaran wilayah ini menjadi provinsi, kota ini tak seberapa berkembang. Sejak pemekaran, kota ini laksana cendawan di musim hujan yang bergelimang dengan kemajuan. Jaraknya yang strategis, berhadapan dengan Singapura dan Malaysia, telah membuat kota ini menjadi penting. Tidak saja sebagai kota dagang, tapi juga sebagai halaman depan republik ini.

Konon, nama Tanjung Pinang disematkan oleh para pedagang yang dahulu banyak menemukan pohon pinang di pesisir pulau. Pinang ini menjadi petunjuk bagi pedagang dan pelayar untuk menemukan kota yang di masa silam menjadi pusat perdagangan di kawasan itu. Hanya saja, selama saya mengitari kota ini, saya tak menemukan pohon pinang di pesisir laut. Entah, di tempat lain.

***

“Bang, kopinya sudah dingin.” Suara seorang perempuan membuyarkan lamunan saya. Di satu warung kopi yang terletak tak jauh dari Wihara Bahtra Sasana, saya singgah untuk sejenak melepas lelah. Rupanya saya sempat melamun seusai memperhatikan suasana warung kopi yang selalu ramai dengan banyak orang.


Di beberapa tempat di Tanjung Pinang, warung kopi berdiri dan memiliki pelanggan tetap. Suasana diwarung kopi ini serupa suasana warung kopi dalam kisah Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata. Saya menyaksikan pemilik dan pelayan dari warga Tionghoa, sementara di berbagai meja, saya menyaksikan berbagai lapisan masyaraat duduk mengelilingi meja sembari tertawa-tawa. Kerap saya bertanya dalam hati, apakah gerangan magnet yang membuat orang-orang suka datang ke warung kopi? Ah, barangkali, warung kopi selalu menyediakan ruang yang egaliter semua orang bebas untuk berkumpul sembari membahas banyak hal yang remeh-temeh. Mungkin saja.

Perempuan itu duduk tak jauh dari posisi saya. Nampaknya, ia datang sendirian di warung kopi itu. Sangat terlihat kalau ia mudah bergaul dengan siapa saja. Sungguh beruntung karena saya pun disapanya. Kali ini saya bisa memperhatikannya dengan detail. Ia nampak tinggi, putih, mata sipit, serta rambut hitam terurai. Ia tersenyum-senyum melihat saya yang tersadar dari lamunan. Ia mengingatkan saya pada sosok Aling dalam berbagai novel karangan Andrea, penulis asal Belitung. Tiba-tiba, perempuan itu datang dan duduk di meja saya sembari bertanya.

“Abang pasti orang baru di sini. Dari timur yaa?”
“Kok tahu?”
“Ya tahulah,” katanya sembari terkikik.

Dialeknya khas. Ia mengingatkan saya pada dialek khas orang Cina di Singapura. Tak hanya orang Tionghoa, warga Melayu pun berbicara dengan akses serupa orang Singapura. Saat saya tanyakan, ia hanya tersenyum. Tanpa saya minta, ia bercerita tentang kota ini dan Singapura yang sama-sama punya pertalian erat. Keduanya sama-sama pernah menjadi pusat peradaban Melayu. Saat Kerajaan Melaka dikalahkan Portugis, pusat peradaban Melayu pindah ke tanah Riau.

Perempuan itu lalu lanjut bercerita tentang keberadaan Tanjungpinang semakin dikenal pada masa Kerajaan Johor pada masa Sultan Abdul Jalil Syah yang memerintahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk membuka suatu Bandar perdagangan yang terletak di Pulau Bintan, tepatnya di Sungai Carang, Hulu Sungai Riau. Bandar yang baru tersebut menjadi Bandar yang ramai yang kemudian dikenal dengan Bandar Riau. Peranan Tanjungpinang sangat penting sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk Bandar Riau.

Kepiawaian pemerintah pada masa itu menjadikan Bandar Riau merupakan bandar perdagangan yang besar dan bahkan menyaingi bandar Malaka yang masa itu telah di kuasai Portugis dan akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Dalam beberapa riwayat di kisahkan para pedagang yang semulanya ingin berdagang di Malaka kemudian berbelok arah ke Riau, dan bahkan orang-orang Malaka Membeli Beras dan kain di Riau. Hal ini disebabkan bandar Riau merupakan kawasan yang aman dengan harga yang relatif bersaing dengan bandar Malaka. Selain sebagai pusat perdagangan, Bandar Riau dikenal sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Johor - Riau. Beberapa kali pusat pemerintahan berpindah-pindah dari Johor ke Riau maupun sebaliknya.

***

“Bang, saya jalan dulu. Ada urusan mendesak,” perempuan itu lalu bergegas. Ia tak sempat menyelesaikan kisahnya tentang Tanjung Pinang. Ia terburu-buru dan bergegas meninggalkan saya yang tengah terpaku dan menyimak kata demi kata yang meluncur dari bibirnya. Ia lalu keluar dari warung kopi itu tanpa sempat menoleh dan pamit pada pemiliknya.

Seiring kepergiannya, saya merasakan ada sesuatu yang hilang. Ada semacam rasa haus akan sejarah yang belum sempat terpuaskan seiring kedatangannya. Tak hanya itu, saya juga masih ingin berbicara banyak dengannya. Minimal, saya ingin bertanya tentang siapa namanya, agar suatu saat saya bisa kembali menemuinya. Saya juga menyesal karena tak sempat memperkenalkan diri.

Sehari berlalu, saya kembali ke warung kopi ini. Saya berharap bisa menemukan sosoknya. Tapi ia tak nampak di situ. Saya lalu menelusuri jalan-jalan kawasan Pecinan di kota itu. Di kejauhan, saya melihat Pelabuhan Sri Bintan Pura. Saya terus berjalan hingga tiba di satu klenteng. Saya lalu memotret beberapa sudut klenteng. Saya tertarik dengan artsitektur khas Cina dan Eropa yang nampak di sini. Di sudut sebelah sana, seorang gadis tampak sedang bersembahyang. Rambutnya panjang dan lurus.

Saya lalu mendekat dan terus memotret. Gadis itu menoleh. Hey, ternyata dia adalah gadis yang pernah saya temui di warung kopi. Dia adalah “Aling” yang bergegas meninggalkan warung kopi. Hmm, ada sesuatu yang mendadak mekar di hati ini.


Tanjung Pinang, Oktober 2015



0 komentar:

Posting Komentar