Fang Yin yang Meretas Penjara Ingatan


Leony yang berperan sebagai Fang Yin

PEREMPUAN itu tiba-tiba saja dicekam ketakutan. Seluruh tubuhnya sontak gemetaran. Ia menyaksikan lima pemuda yang datang hendak menyakitinya. Perempuan itu lalu mengambil pisau. Diacungkannya pisau itu ke para pemuda itu sambil berteriak, “Awas! Akan kubunuh kalian.” Setelah itu, sang perempuan ambruk dan terkulai dalam pelukan ayahnya. Lima pemuda itu hanya ada dalam mimpi buruk yang hampir setiap malam selalu datang dan menyiksa pikirannya.

Perempuan itu sedang dicekam trauma. Batinnya dipenuhi imaji yang melintas-lintas tentang tragedi dan kesedihan yang mencekamnya. Di tahun 2000-an, di tanah Los Angeles, Amerika Serikat (AS), di tanah yang disebut sebagai tanah para malaikat (city of angel), trauma telah terlanjur memiliki akar yang kokoh dan menghujam sebagai parasit dalam dirinya. Hari-harinya diisi oleh kesedihan yang terus hadir dan membawanya pada situasi yang memilukan.

Kisah perempuan bernama Fang Yin itu saya saksikan dalam film Sapu Tangan Fang Yin karya Hanung Bramantyo dan Denny JA. Film ini diilhami oleh puisi Denny JA yang juga memiliki judul yang sama dengan film. Sebelumnya, kisah Fang Yin pernah pula hadir dalam pementasan teater dan monolog di berbagai kota di Indonesia. Film berdurasi sekitar 45 menit ini ibarat sebuah nyanyi sunyi tentang para korban kekerasan yang jarang diketahui publik. Kisah dalam film ini mengalir apik melalui jalinan narasi yang kuat. Narasi dan gambar adalah dua sisi pedang yang menggores-gores sisi kemanusiaan siapapun yang menyaksikannya.

Di tahun 1998, perempuan itu adalah satu dari sekian banyak perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa. Di masa itu, kekerasan dan diskriminasi ibarat udara yang hadir di mana-mana. Masyarakat turun ke jalan-jalan demi menjarah dan membakar rumah-rumah warga yang perekonomiannya mapan. Entah siapa yang memberi komando, masyarakat menjadi demikian beringas dan menebar ketakutan di kalangan warga minoritas.

Di masa itu, Indonesia ibarat bara yang terus-menerus dibakar oleh kemarahan. Indonesia adalah menjadi tanah yang menebar horor dan mimpi buruk bagi banyak orang, termasuk Fang Yin. Tragedi perkosaan yang menimpa Fan Yin menjadi satu titik curam bagi garis kehidupannya yang sebelumnya penuh cita-cita dan obsesi. Ia kehilangan segalanya. Ia kehilangan energi hidup dan secara perlahan-lahan kehilangan semua harapan. Ia lalu mengikuti ayahnya serta ratusan warga lain yang memilih pindah ke Amerika dan negeri-negeri lain demi sekadar menemukan rasa aman.


Trauma ibarat penjara ingatan yang menghujam dalam benak seorang korban. Beberapa tahun silam, saya juga menyaksikan trauma yang sedemikian kuat menyakiti beberapa masyarakat di Pulau Buton yang dahulu mendapatkan stigma sebagai anggota komunis.  Korban-korban komunis yang saya temui itu adalah mereka yang terus-menerus berusaha untuk melawan semua ingatan kelam yang dibawa-bawa sejak puluhan tahun silam. Mereka masih memendam duka, serta kegeraman atas nasib buruk yang ditimpakan negara kepada mereka. Mereka dihantui trauma tentang keluarganya yang tewas, hilangnya segala hak milik, serta hilangnya akses mereka di ruang publik.

Kisah Fang Yin dalam film ini adalah kisah tentang bagaimana mengatasi trauma yang terlanjur menjadi duri dalam daging. Dalam kisah-kisah seperti ini, senantiasa terselip demikian banyak pertanyaan, khususnya gugatan pada sistem sosial dan sistem hukum Indonesia yang sering diskriminatif dan tak berlaku adil.

Sejak bangsa ini merdeka, kita sering menyaksikan dua jenis kekerasan yakni kekerasan yang dilakukan masyarakat atas nama mayoritas, dan kekerasan yang dilakukan negara pada rakyatnya sendiri. Atas nama mayoritas, diskriminasi terus terjadi dan menimpa mereka yang minoritas. Kasus yang dialami jemaah syi’ah di Sampang, pengikut Ahmadiyah, serta jemaat GK Yasmin di Bogor adalah potret buram tentang gagalnya masyarakat kita merawat keragaman dan menganyam solidaritas sosial. Kekerasan negara terjadi ketika negara, yang memiliki instrumen kuasa, justru membiarkan segala kekerasan yang terjadi di depan mata.

Film ini adalah sebuah gugatan pada sistem sosial dan sistem politik Indonesia yang sering tak berlaku adil. Film ini bisa menjadi gerbang untuk mengetahui sejarah sosial dan sejarah politik Indonesia pada masa-masa jelang reformasi, sebuah masa yang kemudian menjadi titik balik sejarah. Film ini juga merupakan sebuah upaya untuk menolak lupa pada banyak praktik kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat kita.

Banyaknya kekerasan dan kepedihan tidak harus diuapkan begitu saja ke udara. Sebagai warga, kita mesti mencatat dan menolak untuk lupa, dengan harapan agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi di masa depan. Dengan cara mengingat, maka peristiwa ini akan terus terekam dalam ingatan publik sehingga menjadi alarm agar masyarakat tidak mengulangi hal yang sama di masa mendatang.

Makna Indonesia

Satu hal yang saya rasakan janggal dari film ini adalah bagian akhir atau penyelesaian yang datar. Fang Yin merenungi tentang makna Indonesia, berdiskusi dengan psikolog, serta mendengar kalimat ayahnya yang berulang-ulang tentang Indonesia. Ia lalu menutuskan untuk kembali ke tanah air. Prosesnya agak simpel dibandingkan dengan kenyataan yang saya lihat di lapangan.

Olyvia Zalianty berperan sebagai Fang Yin dalam pementasan teater

Proses meretas penjara-penjara ingatan itu tidaklah mudah. Korban-korban kekerasan senantiasa membutuhkan sebuah kanal atau saluran untuk melepas semua trauma tersebut. Korban komunis di Pulau Buton melepaskan trauma dalam kisah-kisah tentang nasib nahas penyiksa. Para korban menemukan keadilan dalam kisah, yang mirip dengan ajaran tentang karma; bahwa siapapun yang berbuat kekerasan, pasti akan menuai bala atau bencana.

Demikian pula dengan korban kekerasan di belahan bumi lain. Di Thailand, para korban kekerasan membuat pementasan teater yang skenarionya dibuat para korban, dan merupakan suara mereka atas tragedi tersebut. Di Colombia, korban kekerasan membuat boneka-boneka, dan menjadikannya sebagai medium untuk pementasan cerita.

Di film ini, Fang Yin melepaskan traumanya dengan cara membakar sapu tangan, yang menyimpan air mata serta kesedihannya selama ini. Ketika membakar sapu tangan itu, ia memutuskan untuk berdamai dengan masa silam, sekaligus membuka lembaran baru. Hanya saja, ini tak cukup. Semua kelompok sosial mesti menekan pemerintah agar menyelesaikan berbagai kasus kekerasan sehingga trauma korban benar-benar pulih. Hukum dan keadilan yang tegak adalah kunci utama untuk membangun rekonsiliasi dengan masa silam, sekaligus menyelamatkan masa depan.

Lantas, apa makna keindonesiaan bagi Fang Yin? Pertanyaan itu mencuat di awal film. Hingga akhir, tak ada jawaban tegas tentang makna Indonesia baginya. Akan tetapi, saya menemukan jawabannya dalam satu adegan yang sangat kuat, ketika Fang Yin menyalakan lilin demi mengusir gelap.

sungguh menyenangkan jika semua orang bisa tersenyum sebagaimana anak ini

Saya mendapat isyarat kuat bahwa keindonesiaan adalah proses yang harus dilakukan untuk menyingkirkan semua gelap demi menghadirkan cahaya terang. Indonesia adalah proses atau gerak untuk terus mendekati cahaya. Indonesia adalah negeri yang terang benderang, negeri yang lepas dari gelapnya masa silam yang penuh kekerasan dan diskriminasi. Indonesia adalah negeri yang menjadi rumah nyaman bagi siapa saja, tak peduli apapun agamanya, ras, etnis, serta keyakinan. Indonesia adalah sebuah cahaya lilin, yang meskipun redup, sanggup untuk mengalahkan semua gelap dan menghadirkan rasa aman dan rasa adil bagi siapapun.(*)


Baubau, 18 September 2013


0 komentar:

Posting Komentar