Kapolri Jenderal Tito Karnavian |
TAK
ada sosok yang sesibuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam sepekan ini. Ia
mengikuti ritme kerja presiden yang terus bergerak, melakukan konsolidasi, dan
brtemu banyak orang. Tito, lelaki bergelar doktor yang kariernya melesat dengan
cemerlang itu, seakan berpacu dengan waktu. Dia bertanggungjawab untuk
memastikan keamanan nasional dari berbagai potensi gangguan keamanan.
Tito
memang pantas panik. Biarpun pemerintah dan kepolisian telah menenangkan publik
melalui berbagai televisi dan media mainstream, tetap saja tak bisa memupus
berbagai hasutan dan ajakan rusuh yang memenuhi atmosfer publik. Padahal,
terhadap dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, jajarannya telah
memberikan label tersangka, meskipun liputan Tempo terbaru
menyebutkan bahwa mayoritas saksi ahli tidak menemukan apa yang disangkakan
sebagai penistaan. (Lihat Tempo, edisi 21-27 November 2016)
Saat
Tito berkunjung ke Masjid Jami al Riyadh, Jakarta, dua hari silam, massa
spontan berteriak-teriak memintanya agar Ahok segera ditangkap. Sebagai
bhayangkara negara, Tito tahu bahwa upaya hukum tidak bisa diintervensi oleh
kekuatan massa. Sebagai pengawal hukum, ia harus menjadi orang pertama yang
menaati hukum, dan tidak begitu saja tunduk pada desakan massa. Hukum harus
tegak karena berpijak di atas landasan nilai dan konstitusi, bukan karena
desakan serta teriakan-teriakan sejumlah massa yang panik.
Sepekan
terakhir, Tito mulai mengindentifikasi mengapa kebencian terus menjadi kerak di
pikiran banyak orang. Ia mulai berbicara tentang “cyber troops”,
media sosial, hingga media-media yang penuh hasutan. Ia mulai bisa
mengidentifikasi dari mana mata air kebencian itu mengalir dan mengisi kepala
banyak orang.
Media
sosial memang fenomena baru bagi rakyat Indonesia. Media sosial juga membuat
kerja-kerja pengawasan dari intelijen dan aparat menjadi lebih sulit. Di awal
Orde Baru, pemerintah bisa mengendalikan persepsi publik melalui kontrol penuh
atas media massa. Beberapa sejarawan mencatat bagaimana Soeharto dan militer
membabat habis semua argumentasi kaum komunis melalui breidel terhadap banyak
media dan hanya memberi ruang pada media tertentu demi meneguhkan satu
kebenaran yakni militer benar dan kaum komunis layak untuk dibantai.
Pada
masa kini, upaya memahami opini publik itu tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Media sosial memiliki banyak labirin yang susah dikenali, memiliki
banyak lorong dan percabangan di mana segala sampah informasi beredar dan
menyengat hidung. Media sosial bisa mendistribusikan satu pesan dengan cepat
lalu menembus kamar-kamar pribadi banyak orang, dibaca saat hendak
beraktivitas, atau barangkali saat hendak mulai terlelap. Informasi itu
langsung memenuhi kesadaran lalu mempengaruhi cara pandang seseorang.
Karakter
media sosial ini bisa positif bisa pula negatif. Positif kala digunakan untuk
mencerahkan publik agar lebih kritis dalam melihat pertautan antara wacana dan
kepentingan, namun bisa negatif ketika informasi palsu sengaja disebar demi
membuat publik gelisah, berkembang ketidakpercayaan, menumbuhkan kebencian pada
satu kelompok, lalu hasutan untuk berbuat rusuh.
Pernah,
di satu grup percakapan, saya membaca pesan berisikan link mengenai
ancaman Perdana Menteri Cina kepada Indonesia jika terdapat gangguan pada warga
keturunan Cina. Banyak orang yang terbakar emosinya lalu mengeluarkan serapah
dan makian pada warga beretnis keturunan. Saat melihatnya, saya tak langsung percaya
bergitu saja informasi itu. Saya lalu men-track informasi itu
melalui berbagai mesin pencari. Ternyata tak ada satupun yang menayangkan
informasi serupa. Demikian pula di media-media luar negeri.
Saya
lalu berkesimpulan bahwa link yang menghebohkan itu adalah hoax,
berita bohong, berisikan hasutan untuk memanasi sesuatu. Saat informasi itu
dibaca oleh kelompok yang sumbu pendek atau tidak kritis, maka diterimalah itu
sebagai kebenaran. Informasi yang disebar melalui media abal-abal ditujukan
untuk memanas sesuatu, dengan harapan agar kebencian terus mengudara.
Dunia
sedang dihebohkan oleh beredarnya informasi bohong yang dikira sebagai
kebenaran. Hitler pernah berteori bahwa kebenaran adalah kebohongan yang
dikalikan seribu. Maka segala bentuk hoax, hasutan, bujuk-rayu,
hingga provokasi bisa dengan mudah disebar dengan harapan agar bisa
mempengaruhi publik untuk bergerak. Hoax dan informasi palsu
perlahan mengisi kesadaran dan membuat kita benci sesuatu. Kita adalah tanah
lempung yang dikendalikan semua berita hoax itu, untuk satu
kepentingan yang barangkali kita sendiri tak seberapa paham.
***
TAK
MENGEJUTKAN jika Tito menyebut adanya cyber troops yang
membobardir media sosial kita. Ia hendak melawan semua bentuk hoax yang
luas dan sukar dikenali di media massa. Yang tak banyak diungkap Tito dan
jajarannya adalah adanya kekuatan ekonomi dan politik di balik hoax yang
disebarkan secara massif. Saya yakin kalau dia paham bahwa berbagai agenda
setting dan informasi palsu itu sengaja disebar untuk kepentingan satu
pihak.
Hoax atau
informasi palsu itu adalah produk dari kebencian yang terus-menerus
direproduksi dalam satu mekanisme serupa industri. Ada pihak yang mendanai dan
diuntungkan, lalu membuat pasukan cyber, selanjutnya bergerak
merekayasa informasi, yang nantinya akan dikonsumsi publik, yang lalu
menyebarkannya secara terus-menerus. Industri kebencian ini memiliki satu mata
rantai yang saling berhubungan demi outcome yang menguntungkan
satu pihak.
Hoax itu
disebarkan melalui media sosial sebab karakternya yang bersifat “self
mass-communication” di mana satu orang bisa menyebar informasi yang
dengan segera menyebar ke banyak orang secara viral.
Mengamati
pola hoax yang disebar di banyak grup, saya bisa memastikan
kalau semua bentuk hoax itu dikerjaan oleh sekelompok ahli yang memahami
bagaimana psikologi massa, lalu mengemas pesan dalam kalimat pendek yang penuh
emosi. Bukan hal mudah membuat satu narasi lengkap beserta banyak nama di situ.
Pembuat hoax tahu bahwa publik selalu penasaran kalau ada
informasi yang disebutkan sebagai inside story atau sumbernya
lingkar dalam atau A1. Sering, kita tak mempertanyakan secara kritis, dari
manakah gerangan sumber informasi itu, siapa yang menyebarkannya, dan apa
tujuannya.
Penting
pula mengenali bagaimana hoax itu disebarkan. Yang saya amati,
rekayasa informasi itu selalu mengandalkan dua pola: (1) menggunakan media
abal-abal yang mudah dibentuk di ranah online, (2) menggunakan serial informasi
di twitter dan facebook. Di dua pola ini, kita akan menemukan informasi yang
dikemas seolah-olah investigasi, seringkali dibumbui kalimat bombastis yang
mudah membuat publik percaya, (3) disebarkan melalui jejaring Line dan Whatsapp
Group. Terhadap yang terakhir ini susah dideteksi dan dihindari. Tak ada tombol unfollow dan
blokir di Whatsapp sebagaimana bisa ditemui di Facebook dan Twitter.
Di
dua kanal ini, para spin doctors dan cyber army bekerja
dengan cara membobardir informasi, menghasut publik agar me-like lalu
men-share informasi, tanpa mengecek mana fakta dan fiksi dalam
informasi tersebut. Di dua kanal ini, posisi publik adalah pasif dan aktif
sekaligus. Mereka menerima informasi yang kebetulan bersesuaian dengan
prasangkanya, lalu menyebarkannya ke mana-mana, tanpa sikap kritis.
***
SEBENARNYA,
fenomena banjir dan rekayasa informasi ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun
2001, mahaguru para jurnalis, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, telah menulis
buku berjudul Blur: How to Know What’s True in the Age of Information
Overload. Buku ini berisikan bagaimana seharusnya bersikap di era
banjir informasi. Kovach tidak sedang menulis panduan untuk para jurnalis.
Kovach menjelaskan bagaimana keriuhan informasi di era digital, yang kemudian
diplintir oleh para spin doctors. Ia menyasar publik, yang
disebutnya tidak lagi menjadi konsumen berita, namun juga sebagai produser yang
juga menyebarkan informasi. Yang perlu diwaspadai adalah pihak-pihak yang
hendak memanipulasi kebenaran demi kepentingan kelompok tertentu.
Kata
Kovach, fenomena banjir informasi ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak
munculnya era komunikasi, manusia terbiasa berhadapan dengan berbagai
informasi. Seiring dengan perubahan lanskap sosial dan politik, berubah pula
cara-cara manusia memahami dan brinteraksi dengan informasi. Perubahan pola
komunikasi itu berjalan seriing dengan perubahan pola kepemimpinan, mulai dari
pemimpin spiritual ke pemimpin suku, pemimpin suku ke raja, munculnya
negara-kota, serta otoritas negara. Informasi juga mengalir mengikuti otoritas,
hingga era sekarang yang memungkinkan informasi bisa mengalir dari berbagai
sisi.
Masih
kata mahaguru jurnalistik dari Harvard University ini, terdapat sejumlah tips
bagi warga untuk “diet informasi” dengan cara menggunakan pola pikir
skeptis (skeptical knowing) langkah demi langkah. Pertama,
kenali setiap jenis konten yang dihadapi. Kedua, kita harus
memeriksa kelengkapan laporan media. Ketiga, kita harus menilai
otoritas dan kualifikasi sumber. Keempat, kita harus menilai fakta
dengan membedakan antara mengamati dan memahami, kesimpulan dan bukti, serta
bagaimana berinteraksi dengan fakta. Kelima, lakukan evaluasi
terus-menerus terhadap setiap informasi.
Ia
mengatakan bahwa sebagai konsumen, kita harus berpikir kritis. Saat membaca
informasi, kita harus mencari apa yang lebih, serta bisa membuat kita percaya
bahwa informasi itu akurat. Terhadap banyak informasi, kita harus meninggalkan
cara berpikir lama yang seolah-olah media hendak mengatakan “percayalah apa
yang saya katakan.” Kita harus menggantinya dengan cara berpikir yang melihat
semua liputan dengan pertanyaan, “Apa yang harus membuat saya percaya?
Tunjukkanlah bukti-bukti kuat biar saya yakin.”
Setiap
orang harus menjadi editor yang mempertanyakan semua informasi. Di sini
terletak daya kritis dan kemampuan analitik. Jika seseorang punya daya kritis
itu, ia tidak akan mudah diseret-seret oleh berbagai informasi yang menyebar di
berbagai kanal media sosial. Namun jika orang tersebut tidak kritis, semua
informasi yang masuk akan langsung dipercayainya.
Parahnya,
ada banyak orang yang mudah saja menerima semua informasi yang berseliweran di
sekitarnya, tanpa mengeceknya lebih jauh. Di media sosial, banyak orang yang
dengan mudahnya diprovokasi dengan berita-berita dari berbagai situs abal-abal,
lalu kehilangan daya kritis untuk mempertanyakan semua informasi itu. Publik
mudah tersihir dengan berita seolah-olah inside story, setelah itu
ikut menjadi clicking monkey, para penyebar informasi fitnah
melalui berbagai kanal media sosial.
***
DI
ERA INI, kita memang harus jauh lebih kritis. Saya teringat kalimat seorang
ilmuwan sosial yang mengatakan bahwa orang hanya ingin melihat apa yang ingin
dilihatnya. Maksudnya, saat seseorang terlanjur punya prasangka, maka dia hanya
akan melihat hal-hal sesuai dengan prasangka sebelumnya. Biarpun banyak sumber
kredibel menyatakan fakta itu keliru, ia tidak akan memercayainya. Tapi ketika
satu fakta dari sumber abal-abal menyatakan dirinya benar, ia akan langsung
menyebarkannya, tanpa mengeceknya lagi.
Kiat
sederhana untuk mengatasi ini adalah pertebalsegala daya kritis dan kejernihan
melihat sesuatu. Saat mendapatkan satu informasi, janglan langsung panik dan
terbawa emosi. Tetap bersikap tenang, sembari perlahan-lahan melakukan
komparasi atau cek dan ricek dengan sumber-sumber lain. Kembangkan cara
berpikir skeptis saat membaca media.
Seperti
kata Kovach, pertanyakan setiap informasi. Buat pertanyaan dalam diri, apa
nilai lebih yang membuat anda percaya liputan itu, apakah kekuatan informasi
itu, serta siapa yang diuntungkan dan akan dirugikan dari penyebaran informasi
itu. Jika anda hendak menyebarkannya, yakinkan diri anda bahwa informasi itu
benar dan berguna bagi publik.
Sebab
jika informasi itu sesat, maka anda akan jadi penyebar fitnah. Jika informasi
itu tidak benar, anda akan jadi penyebar info sesat yang mau-mau saja dibodohi
demi agenda-agenda terkait rekayasa informasi. Jauhkan segala prasangka
terhadap seseorang atak kelompok tertentu yang kerap menjadi sasaran dari media
abal-abal itu. Yakinkan dalam diri anda bahwa setiap informasi tak selalu punya
tujuan baik untuk menjernihkan keadaan. Boleh jadi informasi itu memang sengaja
disebar agar dirimu membenci pihak lain lalu ikut merusak kedamaian.
Jalan
terbaik untuk mengatasinya adalah tetap bersikap tenang, lalu melihatnya
kembali dengan jernih. Jika informasi itu bermanfaat, bagikanlah ke orang lain.
Jika tidak, hentikanlah sampai di situ. Jauh lebih baik menjadi sosok yang
menyebar aura positif bagi dunia, ketimbang menjadi jagoan berpedang yang tidak
pernah tahu kalau semua perang adalah hasil rekayasa yang akan memenangkan dia
yang susah dikenali.
Buat
Tito dan jajarannya, langkah yang paling bisa melawan hoax adalah
memutus sumber alirannya. Temukan dan kenali siapa yang diuntungkan. Langkah
paling penting yang sifatnya jangka panjang adalah berikan dukungan pada
berbagai institusi termasuk pendidikan agar pendidikan kritis diajarkan di
sekolah-sekolah. Sedari dini, anak-anak harus tahu mana yang benar dan mana
yang palsu, mana fakta dan mana yang sensasi, mana yang tulus dan mana yang
berkepentingan.
Dengan
cara itu, Indonesia bisa lebih damai di masa mendatang. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar