AHOK dalam Pusaran Dilema



IBARAT akan buah simalakama, di makan ayah mati, tidak dimakan, ibu mati. Demikianlah kondisi yang tengah dihadapi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Posisinya sebagai calon gubernur seakan berada di ujung tanduk. Proses hukum bisa menjeratnya kapan saja, sementara mengundurkan diri juga bukan jalan yang tepat di saat semua tahapan pilkada sudah dimulai.

Iklim politik kita dengan cepat berubah, sebagaimana membalikkan telapak tangan. Enam bulan silam, tak ada yang menyangka Ahok akan mengalami situasi seperti ini. Semua lembaga survei dan partai politik menempatkan dirinya pada posisi tertinggi semua survei serta kandidat yang paling diinginkan. Kini, banyak partai pengusung yang siap-siap balik badan. Mereka siap meninggalkan Ahok kapan saja.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sudah memberikan warning. “Jika Ahok tersangka, maka kami mempertimbangkan untuk menarik rekomendasi,” katanya. Pernyataan Surya wajar dikemukakan. Semua partai politik berpikir oportunis. Yang dipikirkan adalah kemenangan, sehingga semua jalan ke arah itu akan diambil. Jika terlihat tanda-tanda kekalahan, partai dengan segara bisa berbalik.

Lain halnya dengan partai pengusung yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sehari setelah demo besar 4 November, Ketua Umumnya Megawati Sukarnoputri telah mengirimkan surat kepada semua pengurus partai agar terus konsolidasi dan bersiap-siap menghadapi semua kenyataan.

Bagi Ahok sendiri, situasi ini jelas tak nyaman. Kepada banyak media, ia mengakui telah diminta satu pengurus partai politik untuk mengundurkan diri dari kancah pilkada. Pengurus partai itu khawatir kalau-kalau Ahok menang, terus akan terjadi demonstrasi massal terus-menerus, terkait dugaan penistaan agama yang dilakukannya. Namun persoalannya tidaklah sesederhana itu.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Sumarno menjelaskan pasangan calon gubernur-wakil gubernur tidak dapat mengundurkan diri pada kontestasi pilkada. Menurut Sumarno, hal itu diatur dalam Pasal 191 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. "Pasangan calon yang sudah ditetapkan, tidak boleh mengundurkan diri," kata Sumarno, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (12/11), sebagai aman dikutip Kompas.com.

Di dalam aturan tersebut, calon gubernur dan wakil gubernur yang mengundurkan diri dengan sengaja, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka terancam pidana.  Sanksinya dapat berupa kurungan paling sebentar 24 bulan dan paling lama 60 bulan atau denda paling rendah Rp 25 miliar dan paling tinggi sebesar Rp 50 miliar.

Dalam dilema seperti ini, Ahok harus terus berjalan. Di saat bersamaan, ia pun menyadari kalau dirinya hanyalah sasaran antara. Banyak pihak mensinyalir kalau sasaran demonstrasi paling utama adalah Presiden Joko Widodo. Boleh jadi, demonstrasi itu akan menjadi ancaman bagi Jokowi jika tidak segera diantisipasi.

Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, sejak awal, Ahok harus memahami kalau banyak pihak yang tengah mencari-cari kesalahannya. Sejak menjadi gubernur, banyak orang yang menanti kapan dirinya melakukan blunder. Berbagai kasus korupsi diarahkan padanya, namun selalu saja bisa lolos. Saat isu SARA muncul, banyak pihak bersorak dan menanti dirinya jatuh. Kedua, politik kita memang belum mengarah pada substansi yakni bagaimana menggapai kehidupan yang lebih baik. Retorika politisi tak selalu cerminan dari kedaan susungguhnya. Di televisi, mereka tampil santun, tapi di belakang layar, belum tentu demikian. Ketiga, politik tak selalu berisikan pertarungan gagasan mengenai kehidupan banyak orang. Politik bisa pula menjadi arena yang penuh adu strategi dan taktik, lalu mengabaikan segala bentuk moralitas.

Demi kekuasaan, orang-orang bisa saling berkelahi dan menghalalkan segala cara. Setiap celah bagi lawan adalah amunisi baru yang harus dimaksimalkan. Jika tidak, maka orang-orang bisa kehilangan momen penting. Demikian pelajaran dari Ahok.



0 komentar:

Posting Komentar