SEORANG psikolog pernah berujar, untuk
mengetahui karakter seseorang, lihatlah apa yang ditampilkannya saat mengalami
krisis. Respon yang dipancarkannya, akan menentukan seperti apa konsep diri yang
sesungguhnya. Dalam konteks politik dan penegakan hukum, lihatlah bagaimana
caranya memosisikan diri di tengah krisis yang dihadapi, khususnya saat tengah
berkasus dan ditetapkan sebagai tersangka.
Kemarin, Basuki Tjahaja Purnama, yang
kerap dipanggil Ahok, ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimanakah kita memahami
bahasa tubuh serta bahasa lisan yang dikemukakannya? Marilah kita memahami
bahasa tubuh Ahok, kemudian kita bandingkan dengan respon politisi lain yang
juga ditersangkakan lalu ditahan, yakni politisi muda dan cemerlang Anas
Urbaningrum. Keduanya punya kesamaan, yakni melalui titik kritis dalam karier.
Keduanya pun sama-sama menyindir satu sosok besar di republik ini.
Apa yang bisa kita petik dari bahasa tubuh
dua sosok ini terhadap satu sosok yang sama?
***
SUASANA tegang merasuki gedung Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hari itu, Jumat, 10 Januari 2014, semua orang
menanti-nanti dengan cemas. Jurnalis hilir mudik dengan menenteng kamera.
Banyak orang berdatangan ke gedung itu sembari menanti apa geranga yang akan
terjadi. Pada hari itu, Anas Urbaningrum, salah satu politisi muda dan
cemerlang yang dimiliki negeri ini tengah diperiksa.
Di saat azan magrib berkumandang, Anas
Urbaningrum keluar dari ruang pemeriksaan dengan mengenakan rompi oranye.
Publik mafhum kalau rompi itu adalah simbol dirinya akan langsung ditahan. Ada
pro dan ada juga kontra. Banyak yang bahagia karena lembaga antikorupsi itu
menegakkan hukum. Tapi ada juga yang menilai kasus ini punya muatan politis
yang tinggi. Kesannya, kasus ini seolah-olah pesanan politik dari seseorang yang
tengah berkuasa.
Anas, sebagai tersangka kasus gratifikasi
itu, keluar ruangan diiringi kehebohan semua awak media. Wajahnya nampak lelah,
tapi tak sedikitpun memancarkan rasa gentar dan takut. Kepada para jurnalis, ia
langsung mengeluarkan pernyataan singkat. "Ini adalah hari yang bersejarah buat
saya dan insya Allah hari ini adalah bagian yang penting untuk saya menemukan
keadilan dan kebenaran," ujarnya.
Tak hanya itu, Anas langsung 'memuji' Presiden SBY. Dengan nada sedikit meninggi, dia menyampaikan terima kasih kepada sang Kepala Negara. "Di atas segalanya, saya terima kasih pada Pak SBY. Semoga punya makna dan menjadi hadiah tahun baru 2014. Yang lain-lain nanti saja, yang saya yakin adalah ketika kita berjuang tentang kebenaran, saya yakin betul ujungnya kebenaran akan menang," tegas Anas.
Sebelum ditahan ataupun ditetapkan tersangka, Anas sempat 'disentil' SBY dari Jeddah. Presiden yang saat itu sedang menunaikan umrah mengaku akan memohon petunjuk menyelamatkan Partai Demokrat yang saat itu diprediksi SMRC hanya meraih 8 persen dalam Pemilu 2014. Hal itu tak lepas akibat banyak kadernya yang terlibat kasus korupsi.
"Apa yang dilakukan oleh sejumlah kader Demokrat itu, kalau salah ya kami terima memang salah. Kalau tidak salah maka kami juga ingin tahu kalau itu tidak salah," pinta SBY kepada KPK dari Jeddah, Senin 4 Januari 2013. Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, serta Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu juga meminta Anas untuk lebih berkonsentrasi pada kasus hukumnya. Padahal saat itu Anas belum ditetapkan sebagai tersangka.
***
KEMARIN, publik berdebar-debar menanti
tayangan di televisi. Pihak kepolisian akan mengumukan status Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) terhadap dugaan penistaan agama. Di media sosial sudah beredar banyak
ancaman, sikap sinis, hingga anggapan yang menilai gelar perkara Mabes Polri
itu hanyalah sandiwara. Tak sedikit yang menyebarkan analisis kalau Ahok akan
dibebaskan, mengingat kedekatannya dengan Presiden Jokowi.
Pengumuman itu cukup mengejutkan. Polisi
menyatakan Ahok tersangka. Reaksi publik justru jauh dari gegap gempita.
Dibilang bahagia, ternyata tidak juga. Yang ada malah kemuraman, padahal semua
tuntutan terpenuhi. Sepertinya, yang diharapkan publik adalah Ahok bebas,
sehingga energi besar untuk aksi kembali bangkit, sebagaimana telah dilakukan
pada tanggal 4 November lalu, yang diklaim sebagai demo terbesar setelah
reformasi.
Yang juga
menarik adalah melihat respon Ahok saat ditetapkan sebagai tersangka. Dia justru
memilih tetap menerima warga yang berdatangan ke Rumah Lembang, rumah yang
disiapkannya untuk menampung aspirasi warga. Di situ, dia terlihat tenang-tenang saja saat dirinya
diumumkan sebagai tersangka.
Bagi yang pertama melihat adegan itu tentu
akan membuat banyak spekulasi. Tapi bagi yang mengikuti berbagai kasus yag
mendera Ahok, mulai dari Sumber Waras hingga reklamasi, pasti akan paham bahwa
respon Ahok menghadapi semua kasus yang dituduhkan adalah menghadapinya dengan
argumentasi. Dia tipe politisi yang berani berkonfrontasi. Dalam kasus Sumber
Waras, ia membuka bukti di hadapan public agar semua pihak bisa menelaah apa
yang terjadi. Kenyataan ini agak berbeda dengan pihak BPK yang memilih untuk merahasiakan
bukti yang dimilikinya. Dalam kasus reklamasi, ia tak menurunkan tensi suaranya
saat berdebat di pengadilan. Semua catatan dibawanya.
Saat dijadikan tersangka, ia malah
menyindir seseorang. Dia meminta agar tuduhan penodaan agama juga dikenakan kepada
pengucap 'lebaran kuda’. Katanya, "Kalau dibilang lebaran kuda, lebaran
juga milik orang Islam. Itu bukannya menghina agama?" Istilah lebaran merujuk pada perayaan hari
raya umat Islam yang mestinya tak boleh dijadikan bahan olok-olokan. “Masa lebaran
dibuat lebaran kuda?” katanya.
Ahok tidak menyebut siapa tokoh yang
mengucapkan 'lebaran kuda'. Dia menjelaskan kalimat itu datang dari Pak
Prihatin. "Saya enggak pernah ngomong lebaran kuda. Saya dapat
dari yang suka ngomong, 'Saya prihatin'," ucapnya. Menurutnya, jika
dirinya yang menyebut lebaran kuda pasti akan langsung didemo lagi oleh
sekelompok umat Islam.
Istilah 'lebaran kuda' sebelumnya dilontarkan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 November 2016. Ketika itu SBY menggelar konferensi pers di kediamannya, Puri Cikeas Indah, Bogor. Ayah dari Agus Harimurti Yudhoyono itu membantah tuduhan berada di balik rencana unjuk rasa 4 November 2016.
Menurut SBY, jika aparat hukum mengabaikan permintaan massa untuk memproses Ahok, maka aksi demonstrasi akan terus ada. "Sampai lebaran kuda bakal ada unjuk rasa. Ini pengalaman saya," ujar SBY.
Setelah konferensi pers SBY, istilah lebaran kuda mendadak viral di media sosial dan menjadi trending topic di Twitter. Sejumlah gambar berisi meme mengenai Lebaran kuda juga bermunculan. Misalnya saja dari unggahan yang tersebar di Instagram tentang foto kader Partai Demokrat yang mengucapkan Selamat Hari Lebaran Kuda, 04 November 2016. Sebagian meme juga menyindir SBY dan keluarganya. Kali ini, Ahok menyindirnya dengan sebutan Pak Prihatin.
***
DUA teks kejadian ini menarik untuk
dianalisis. Politik kita penuh dengan bahasa simbolik yang harus dipahami dan
ditafsir maknanya. Clifford Geertz menyebut metode ini sebagai “thick description” yakni mengamati
sesuatu secara mendalam setiap konteks sesuai dengan latar budaya dan pemikiran
aktornya. Dalam pahaman Geertz, kedipan mata pun bisa menjadi simbol yang
membedakan respon dan sikap seseorang.
Anas Urbaningrum memilih jalan konfrontatif.
Dia menitipkan pesan kuat kalau ada sosok besar berada di balik semua skenario
yang dijalaninya. Ia menyampaikan pesan kalau ada tangan-tangan kekuasaan yang
sedang bekerja dan menyingkirkan dirinya. Mimiknya yang tenang menunjukkan
penguasannya pada situasi, namun terkesan ada keragu-raguan dalam dirinya.
Dengan berbahasa tidak langsung, yang disampaikan dalam mimik tanpa ekspresi,
dia seakan tidak yakin pada kekuatannya dalam menghadapi persoalan ini. Ia
menyadari kalau dirinya tidak mampu meng-handle persoalan ini.
Semua loyalisnya telah hengkang sebab terancam akan dilengserkan begitu saja. Jaringannya di daerah-daetah telah lama
diamputasi. Relasinya ke pemilik modal telah lama diputuskan. Ia juga
kehilangan klik di kepolisian. Bahkan para loyalisnya pun langsung tiarap sebab
tak hendak di-bully sebagai pendukung koruptor. Anas seorang diri dalam
pengertian yang sebenarnya. Ia hanya ditemani segelintir orang.
Pelajaran berharga adalah dalam politik,
seseorang perlu mengkalkulasi kekuatan sebelum menyatakan “perang” pada pihak
lain yang lebih kuat. Dia perlu menghitung apa amunisi dan senjatanya sebelum
menyatakan perang. Dia juga mesti menghitung kekuatan finansial, jejaring
dengan banyak pihak, yang diharapkan bisa menjadi tameng saat seseorang di tengah
masalah. Politisi hebat harus lincah membangun jejaring, menyebar pengaruh dan
jasa ke banyak orang agar kelak bisa menjadi barisan manusia yang membelanya
dalam berbagai situasi.
Lain Anas, lain Ahok. Sosok ini justru
lebih percaya diri dalam menghadapi persoalannya. Dia tahu kalau banyak orang
yang mendemo dan menganggapnya telah menistakan agama. Tapi dia percaya diri
sebab meyakini adanya kelompok pendukunya yang masih setia dan tetap
mendampinginya. Mungkin saja ia membaca teori the spiral of silence yang menyebutkan bahwa orang-orang cenderung
memilih diam saat pendapatnya berseberangan dengan arus opini kebanyakan. Ia
meyakini endukungnya tetap ada, hanya tiarap dan menunggu momen yang tepat
untuk bangit.
Pertama kalinya dalam sejarah politik di
tanah air, ada status tersangka, yang lantas disambut dengan gelombang dukungan
luas dari publik. Di ranah social media, tagar #KamiAhok menempati trending
topic dunia, mengisi dunia maya dengan percakapan tiada henti, hingga menhadi
konsumsi media-media besar di luar negeri. Ahok mendapatkan momentumnya setelah
sebelumnya terpuruk karena dibombardir berbagai pemberitaan berbagai media.
Bahasa sindiran yang dikemukakannya bisa
ditafir sebagai simbol dari rasa percaya diri yang tetap dimilikinya. Dia paham
bahwa meskipun presiden tidak lagi mendukungnya, namun langkah-langkah kepala
negara yang hendak membentengi kekuasaannya telah menempatkan dirinya dalam
pusaran konflik itu. Ia tahu persis bahwa ini permainan tingkat tinggi yang
melibatkan banyak aktor kawakan dalam politik kita, di antaranya adalah konflik
antara pemilik partai banteng berhadapan dengan bapak yang disebutnya selalu “prihatin.”
Bapak “prihatin” itu masih memiliki
amunisi banyak, serta topangan dari sejumlah konglomerat yang telah dibesarkannya
selama menjabat. Putra bapak “prihatin” itu masih memiliki saldo yang lebih
dari cukup untuk sekadar meramaikan perhelatan politik, lalu menyusun strategi
kemenangan yang penuh dnegan siasat, taktik, dan strategi yang bisa melumpuhkan
lawan. Salah satu strategi yang sudah dimainkan adalah pengondisian pikiran
orang-orang untuk menghujat Ahok, lalu menggerakkan aliran finansial yang tidak
sedikit untuk menggerakkan demo.
Bedanya, kini konflik itu melibatkan sosok
kurus yang kini jadi kepala negara, sosok yang saat ini menguasai semua
infrastruktur politik dan memegang kendali kekuatan militer. Memang, banyak
pihak yang meragukan si kurus itu, akan tetapi langkah-langkahnya selalu
mengejutkan. Si kurus itu bisa melejit dari posisi seorang kepala daerah
setingkat kabupaten menjadi kepala negara hanya dalam waktu tiga tahun, sebuah
lompatan yang tak bisa diulangi oleh siapapun, termasuk mereka yang meniti
karier di jalur militer hingga mencapai posisi perwira tinggi.
Jika “tarian” Anas mudah dikenali asalnya
dan gampang dicegat di mana-mana, maka tarian Ahok akan lebih rumit sebab
melibatkan banyak pihak yang saling menjaga irama kepentingan masing-masing. Di
ujung semuanya, ada pertaruhan posisi kepala negara yang terkesan rapuh dan
terbuka, namun penuh dnegan ranjau yang bisa menjebak siapa saja.
Akhir dari episode ini belum bisa ditebak.
Satu hal yang pasti, kita sedang menyaksikan episode yang tidak mudah. Kita
sedang menyaksikan permainan politik tingkat tinggi. Kita sedang menyaksikan
dinamika, kontestasi, serta aktualitas dari ucapan yang pernah disampaikan si
kurus saat kampanye, yakni “Kita akan bikin rame.”
Bogor, 17 November 2016
1 komentar:
Terima kasih artikelnya bung Yusran. Saya mulai paham peta perpolitikan di tanah air, dalam skala regional pilgub DKI, melalui artikel Anda. Salam....ditunggu artikel berikutnya....
Posting Komentar