JIKA
saja tak ada postingan facebook yang menghebohkan itu, barangkali orang-orang
tak akan mengenal Buni Yani. Namanya memenuhi media. Ia dibahas hampir semua
netizen dan para pengamat politik dan media sosial. Ia sepopuler Ahok, sosok
yang kini tengah disorot publik.
Saya
mengenal Buni Yani itu sejak beberapa tahun silam. Saya dan dia dipertalikan
ikatan sesama alumni Ohio University di kota kecil Athens, Amerika Serikat.
Saat masih di Athens, saya pun sering mendengar nama Buni dari seorang senior
yang saya anggap sebagai guru yakni sejarawan Sonny Karsono. Saat Sonny tahu
saya adalah mantan jurnalis, ia menyebut nama Buni sebagai seorang alumni Ohio
yang juga mantan jurnalis. Dalam hati, saya menanam tekad untuk suatu saat
bertemu dengannya.
Pulang
ke tanah air, saya semakin mengenal Buni. Saya tahu kalau dirinya bekerja
sebagai pengajar di satu kampus bergengsi di Jakarta, yang dikenal sebagai
tempat kuliahnya para artis-artis cantik. Di media sosial, saya berteman
dengannya. Kadang kami saling menanggapi. Setiap kali ia memosting sesuatu,
saya sering me-like ataupun mengomentarinya.
Dalam
satu pertemuan alumni, saya dan Buni berbincang hal yang ringan-ringan. Saat
itu kami memperhatikan beberapa alumni yang selalu wara-wiri di
televisi. Mereka seperti magnet yang menarik perhatian para alumni lain. Para
alumni terkenal ini ibarat cahaya terang yang lalu dikelilingi orang-orang. Di
tepian kerumunan itu, dari sudut yang tidak diperhatikan, saya dan Buni
menyaksikan semuanya.
Di
mata saya, dirinya adalah sosok yang hangat dan murah senyum. Saya selalu
menyukai momen-momen saat bertemu dengannya. Dia pribadi yang hangat dan mau
berbagi pengetahuan. Kami membahas nostalgia tentang kampung kecil Athens. Kami
juga sama membahas seorang dosen berkebangsaan Amerika yang serupa ibu bagi
kami para perantau Indonesia. Saya cukup menyenangi pertemuan dengannya.
Hingga
akhirnya pemilihan presiden (pilpres) digelar. Saya mulai tak menyenangi
postingannya. Dia kerap menulis dengan sinis dan melihat sisi negatif seorang
capres. Pilpres harusnya menjadi pesta yang menggembirakan semua orang,
meskipun pilihannya berbeda. Saya selalu menghargai semua pilihan orang lain.
Tapi saya sering tak nyaman dengan mereka yang meramaikan media sosial dengan
hinaan, olok-olok, sinisme, ataupun hal-hal yang beraura negatif. Bahkan
terhadap teman yang sama pilihan dengan sayapun, pasti akan saya tegur saat
mengeluarkan kalimat yang kasar.
Saat
pilpres usai, dia tetap menyampaikan sikap di media sosial. Dia menjadi
polisi, jaksa, dan hakim di media sosial atas banyak realitas di
sekitarnya. Saat dilihatnya tak bersesuaian, ia akan meradang lalu melampiaskan
kritik melalui akun media sosialnya. Pada dirinya saya menyaksikan figur yang
mudah melihat sisi negatif dari apapun yang dilakukan pemerintah. Idealnya,
seorang akademisi selalu memihak pada nilai-nilai yang dianggapnya benar
lalu secara adil melakukan penilaian. Bukankah kata Pramoedya, "Seorang
pelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan?
Hingga
akhirnya, pilkada DKI Jakarta menjadi momen yang melejitkan nama Buni Yani.
Postingannya tentang video gubernur yang disebutnya menistakan agama telah
dibagikan ribuan orang dalam sekejap. Dia menjadi seleb medsos baru, yang
setiap postingannya selalu ditunggu. Dirinya tampil di banyak televisi.
Kalimat-kalimatnya ditunggu lalu dibagikan oleh banyak orang.
Di
satu WhatsApp Group (WAG) alumni Ohio, saya menyaksikan diskusi antara para
sahabat dan Buni. Mereka ingin tahu mengapa dan bagaimana postingan itu bisa
muncul, serta bagaimana responnya saat banyak pihak terbakar oleh apa yang
disebarnya. Sayangnya, debat itu tak berlangsung positif. Kalimat pembelaan
Buni disampaikan dalam emosi. Dia reaktif saat postingannya dikomentari. Dia
pun tak mau menjawab detail. Ia hanya menunjuk beberapa link media yang memuat
pertanyaannya.
Dalam
diskusi itu, saya merasakan Buni yang berbeda dengan figurnya yang dahulu
selalu tersenyum. Mungkin dirinya dalam kondisi tertekan sehingga mudah curiga
dan marah. Tak semua orang bisa tenang dalam jika berada dalam posisinya. Di
sisi lain, dirinya merasa yakin pada pilihan-pilihannya. Dia merasa sedang
meneriakkan kebenaran agar melancarkan protes terhadap keyakinan yang telah
dinodai seorang pejabat. Kalaupun berjuta massa datang berdemonstrasi, dirinya
menganggap itu sebagai perjuangan untuk menegakkan kebenaran.
Hingga
akhirnya, dia memutuskan keluar dari grup itu. Ini bukanlah yang pertama. Dia
memang beberapa kali keluar saat dirasanya berbeda pendapat dengan banyak orang
di grup itu. Sesekali masih ada pembahasan tentang Buni. Pada umumnya, warga
grup mempertanyakan sikap dan pilihan-pilihannya. Mungkin pula dia tak
menemukan ruang dialog yang memadai di situ. Entah.
***
JIKA
saja saya bertemu kembali dengannya, saya sangat ingin mendiskusikan tentang
betapa banyaknya konflik yang dipicu oleh kalimat permusuhan. Saya ingin
membahas bagaimana diskursus, kita bisa menyebutnya sebagai wacana, kebencian
disebarkan melalui media sosial sehingga viral lalu ke mana-mana. Mungkin kami
bisa bercerita perlunya membangun gerakan media literacy, semacam
upaya memahami tabiat media sehingga bisa menggunakannya untuk ha-hal yang
baik.
Mungkin
saya ingin berbagi kenangan tentang kerusuhan di kota Makassar pada tahun 1997
saat seorang pemuda warga keturunan yang mengidap schizophrenia membunuh
seorang anak kecil yang baru saja pulang mengaji. Media lokal menulis peristiwa
itu dengan judul yang penuh kemarahan. Para provokator memanaskan situasi.
Publik murka dan membunuh pemuda itu. Tak cukup sampai di situ, massa lalu
membakar toko-toko di beberapa jantung pertokoan kota Makassar.
Penyelesaian
hukum diabaikan. Yang ada hanya rasa amarah. Ada yang pengenang peristiwa itu
dengan heroik sebab merasa telah menegakkan satu hukum, tapi saya justru getir
mengenangnya.
Tak
hanya Makassar, dalam banyak peristiwa, ada saja pihak yang suka melihat
permusuhan, lalu menganjurkan keonaran yang dibalut dengan istilah heorik
sebagai perjuangan. Dalam satu publikasi yang diedit Jan Servaes (2008), saya
menemukan tulisan tentang 250 konflik bersenjata yang menewskan 110 juta orang
di abad ini. Beberapa peneliti mencatat keberadaan 233 grup di 93 negara yang
menyandang senjata dan bergerilya. Diperkirakan, 20 juta orang telah menjadi
pengungsi yang melintasi batas negara.
Konflik-konflik
itu dipicu oleh industri kebencian yang disebarkan melalui media massa dan
media sosial. Bahasan tentang industri kebencian itu hadir di sela-sela uraian
tentang problem strukrural, ekonomi politik, dan budaya. Kebencian itu
disuarakan melalui media-media, memicu kemarahan, hingga berujung pada konflik
dan jiwa-jiwa yang melayang. Di beberapa tempat, berlangsung konflik yang terus
terwariskan ke generasi berikutnya.
Jika
bertemu dengannya, mungkin saya akan berbagi optimisme tentang mereka yang
meretas jalan perdamaian di tengah konflik itu, lalu memandang banyak aspek struktural
yang selama ini terabaikan. Banyak yang ingin membangun jembatan berupa
perdamaian dan ikhtiar untuk hidup bersama, lalu menyerahkan semua persoalan
kepada jalur hukum dan konstitusi. Lebih sepuluh tahun sejak peristiwa itu,
kebencian dan permusuhan itu masih ada.
Ah,
jika ada pertemuan alumni lagi, mungkin saja saya tak lagi duduk bersamanya.
Pastilah dirinya menjadi magnet baru yang dikelilingi dan diajak ngobrol oleh
banyak orang. Mungkin saja dia akan dikelilingi banyak orang sebagaimana para
alumni pesohor yang sering tampil di media massa kita. Entah, apakah
orang-orang akan memandang kagum padanya, ataukah melihatnya dengan cara lain.
Ah,
saya berharap bisa kembali bertemu dengannya.
Bogor,
23 November 2016
BACA
JUGA:
8 komentar:
awal mula adalah omongan ahok tentang almaidah 51. kenapa anda tidak bahas dari awal sebagai sebab? sungguh tidak fair ulasan anda.
Apa you diam saja terhadap ketidak adilan? Siapa saja akan melawan jika diperlakukan tidak adil¡¡¡
apa yg you lakukan jika diperlakukan tidak adil? why saat orang islam minta keadilan mengenai ahok you nyinyir.
kalau tak fair bagi anda, coba tulislah. biar ada keseimbangan wacana. dengan demikian kita bisa saling belajar.
Yup. Setuju. Kalau ada ketidakadilan, siapapun akan melawan.
untuk soal ini, sy setuju dengan Buya Syafii Maarif yang tidak melihat ada penistaan di omongan tersebut. Soal ini kan politis.
Kalau berbicara soal awal mula, secara objektif dapat dikatakan ada kesalahan umat Islam juga dalam kasus ini...
Umat Islam dalam menilai kasus ahok terpecah, ada yg mengatakan itu tdk menistakan dan ada yg sebaliknya... baiknya kita tunggu aja proses pengadilan yg sdg bergulir, nanti akan ditayangkan live dan terbuka kok, jadi kita semua bisa menilai...
Posting Komentar