Diaspora Cina: Saat Naga Membelit Paman Sam


DI akhir tahun 1990-an, saya menyaksikan film berjudul Kungfu Master in America yang diperankan aktor Jet Lee. Kisahnya bermula ketika mahaguru Wong Fei Hung –sosok pemilik jurus tendangan tanpa bayangan-- berkunjung ke San Francisco, Amerika Serikat (AS) demi meresmikan balai pengobatan Po Chi Lam serta menghadiri peresmian China Town di kota itu.

Gerbang China Town di Washington DC (foto: Rashmi Sharma)

Guru Wong (demikian ia biasa disapa) menyaksikan bagaimana migrasi bangsa Cina ke negeri itu, menyaksikan bagaimana diskriminasi atas mereka, namun secara perlahan lalu bangkit menjadi kekuatan besar yang kemudian menyelamatkan kota. Di masa itu, Guru Wong mengalahkan para bandit koboi berkat kemampuan beladirinya. Sebagai jagoan dengan julukan Macan Kuantung, Wong adalah petarung lihai yang ketika menendang dan berkelahi seakan-akan tak menyentuh tanah. Tinju dan tendangannya lebih cepat daripada desingan peluru para koboi di Amerika.

Hari ini, Guru Wong telah menjadi sejarah. Malah, ia hidup dalam fiksi perfilman. Tapi jejak-jejak kehadiran kaumnya di AS menjadi saksi bisu dari rimbunnya kota-kota di AS sebagaimana rimbunnya bunga magnolia di tepi Yellow River di China sana. Laksana bunga-bunga tersebut, mereka tersebar di San Francisco, New York, Washington, San Diego, hingga seluruh kota-kota besar yang dijejaki bangsa pendatang dan bangsa asli Amerika. Hari ini, pemukiman kecil yang dahulu pernah dikunjungi Guru Wong itu telah menjelma sebagai pemukiman besar, modern, dan semakin menegaskan posisi keturunan Guru Wong sebagai kekuatan besar yang tak mungkin disepelekan.

Awal perjumpaan saya dengan komunitas Cina adalah ketika mencari moda transportasi serta akomodasi termurah untuk mengunjungi beberapa kota. Saat winter break, saya ingin mengunjungi beberapa kota dengan budget yang sangat terbatas. Tadinya, saya lebih suka memilih bis Greyhound untuk perjalanan dari Columbus, Ohio, ke Washington dan New York. Biayanya cukup mahal yakni 60 dollar. Namun, saya terkejut ketika melihat bahwa untuk rute yang sama, terdapat bus China Town yang hanya memasang tarif 30 dollar.

Selanjutnya adalah hotel. Kebanyakan hotel di Washington dan New York memasang tariff hingga 100 dollar semalam. Namun di kompleks China Town, anda tak perlu membayar semahal itu. Cukup dengan 40 dollar, anda sudah bisa mendapatkan hotel dengan kualitas yang bagus. Belum lagi kalau membahas soal makanan. Selera kita orang Indonesia tidak jauh beda dengan selera makan warga Cina. Makanya, kerinduan atas makanan Tanah Air senantiasa terobati ketika mencicipi makanan di restoran Cina. Apaagi, harganya sangat murah.

menunggu pembeli (foto: Yuyun Sri Wahyuni)
barang-barang yang dijual (foto: Yuyun Sri Wahyuni)
ini bukan pemandangan di Beijing. Ini New York (foto: Yuyun)

Saya sering geleng-geleng kepala. Pantas saja jika bisnis kaum Cina di Amerika tumbuh pesat. Beberapa perusahaan bis seperti Gyehound justru kian menunjukkan tanda-tanda sekarat karena mulai kalah bersaing dengan perusahaan bis di Cina. Yang ditawarkan Greyhound aalah kenyamanan dan pelayanan. Namun public justru tidak butuh itu. Mereka tak butuh disapa sopir dengan ucapan “How are you” atau ucapan “Have a nice trip,” sebagaimana ditawarkan bus Greyhound. Mereka hanya ingin menghempaskan tubuh di kursi kemudian tidur di sepanjang perjalanan. Perusahaan Cina itu menawarkan fleksibilitas, seuatu yang justru tidak diberikan perusahaan Amerika. Maka, sah-sah saja jika kita mengatakan bisnis orang Cina melejit setinggi Gunung Thay San di daratan Cina sana.

Apa yang saya saksikan hanyalah satu keping kecil dari kian dahsyatnya kekuatan bangsa Cina di Amerika. Mereka bisa ditemukan di semua kota besar hingga kecil, mulai dari New York hingga kota kecil Athens di Ohio, tempat saya tinggal. Para ilmuwan sosial menyebut fenomena ini sebagai diaspora kebudayaan, ketika satu kebudayaan akhirnya berpindah-pindah, mengikuti gerak seorang individu. Sebagai catatan, mereka merambah Amerika bukan sejak beberapa tahun lalu. Kebudayaan bergerak mengikuti individu yang memiliki otonomi untuk mereproduksinya atau malah meninggalkannya begitu saja pada satu saat.

Kata Wikipedia, mereka tiba di Amerika sejak tahun 1820 bersamaan dengan fenomena California Gold Rush atau ditemukannya tambang emas di California. Tapi saya sendiri meragukan data ini. Karena sejarawan Gavin Menzies menyebutkan bahwa pada tahun 1421, Laksamana Cheng Ho telah menginjakkan kaki di Amerika, lebih duluan daripada Christopher Columbus yang tiba tahun 1492. Namun, inilah dinamika sejarah. Jika warga Amerika hari ini lebih memilih kedatangan Columbus sebagai awal kedatangan pendatang ke Amerika, maka itu soal lain. Mungkin kita bisa membahasnya pada tulisan lain.

Identitas Kultural

Yang juga mencengangkan karena mereka sama sekali tidak kehilangan identitas kulturalnya sebagai bangsa Cina. Anda boleh percaya atau tidak. Dengan pertumbuhan demografi yang sangat tinggi serta perluasan wilayah, sang naga perlahan-lahan membelit Paman Sam dan tinggal menunggu waktu untuk menanti kapan si Paman akan remuk akibat dibelit naga tersebut. Maka mulailah sang naga mengendalikan sang paman. Mulailah sang naga menggoreskan kanvas di tubuh sang paman.

Saat berkunjung ke kawasan China Town di New York dan Washington, saya serasa tidak sedang berada di Amerika. Saya serasa berada di satu sudut kota Beijing. Di mana-mana, terdapat aksara Cina, restoran, hotel, hingga pertokoan yang pada desainnya terdapat sentuhan Cina. Berada di tempat-tempat tersebut, saya menyaksikan sebentuk reproduksi kultural ketika orang-orang Cina justru mewarnai setting sosial di mana mereka berada sehingga seolah ‘mencinakan’ satu kawasan.

Jika kita ibaratkan Amerika adalah sebuah kanvas, maka orang-orang Cina telah menggoreskan kanvas itu dengan sentuhan warna khas mereka, menggambar naga di semua sudut kota, menghadirkan pelangi yang kian menguatkan image Amerika sebagai land of freedom yang menjadi tujuan dari berbagai bangsa.

bersama tim ekspedisi New York saat di Washington

Sebenarnya, fenomena ini sudah dijelaskan oleh beberapa antropolog. Salah satu di antaranya adalah antropolog India bernama Arjun Appadurai. Dalam tulisannya yang berjudul Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, Appadurai mengajukan satu tesis yang sangat penting untuk menjelaskan fenomena homogenisasi kebudayaan. 

Ia menjelaskan gejala Cinaisasi Amerika ketika batasan kebudayaan Cina tersebar ke Amerika hingga mengalami reproduksi secara terus-menerus. Appadurai menyebut fenomena ini sebagai ethnoscape di mana batasan etnik menjadi lebur dan tidak lagi terikat dalam batasan tertentu. Dunia tidak lebih dari sesuatu yang diimajinasikan dalam pikiran, kemudian mengaktual dalam satu ruang waktu. Dalam konteks yang sama, kita bisa mengatakan bahwa orang-orang Cina tetap mempertahankan imajinasi kecinaannya, dan mengubah lanskap kota Amerika sebagaimana lanskap kota di daratan Cina sana.

Hari ini, saya sedang memandang China Town di New York. Sebelumnya, saya juga telah melihatnya di Pittsburgh dan Washington. Saya kembali teringat dengan Guru Wong. Jika dahulu Guru Wong mengalahkan koboi dengan jurus tendangan tanpa bayangan, maka hari ini, murid Guru Wong mengalahkan lawannya dengan kekuatan ekonomi, penguasaan atas sektor ril, serta persebaran penduduk di semua kota-kota besar Amerika. Mereka memang belum merambah ke ranah politik. Namun dengan kekuatan mereka yang merata di semua lini, bukan tak mungkin jika kelak akan ada warga keturunan Cina yang kelak menjadi Presiden Amerika Serikat. Toh, apa yang disebut tanah air itu tidak lebih dari imajinasi saja. Iya khan?



Athens, 12 Januari 2012
www.timurangin.blogspot.com
saat senja memerah di ufuk sana





2 komentar:

Anonim mengatakan...

menarik skali mas Yusran... Ani punya sebuah info yg ingin dibaginech: ada sebuah kota di Washington bernama Tacoma, sekitar 32 km dari Seattle. Inilah kota satu-satunya yg tdk terdapat China town_nya.. Dalam sejarah Amerika, di tahun 1870s-1880s tercatat peristiwa yg sangat memilukan bagi etnis china disini.. mereka dibantai secara besar-besaran.. Jadilah Tacoma sebagai killing field oleh bangsa kulit putih thd etnis China...

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas komentarnya mbak ani

Posting Komentar