perahu nelayan di pesisir Papua |
DARI ujung timur hingga ujung barat
Indonesia, terdapat banyak kisah-kisah yang menarik untuk didedah, namun luput
dari pantauan publik. Dari pengalaman seorang nelayan Papua, terdapat timbunan
kisah-kisah tercecer yang luput dari pantauan publik. Ada banyak masalah yang
terabaikan, namun ada pula begitu banyak potensi dan harapan yang terus mekar.
Sayang sekali, semua kenyataan itu laksana
kabut asap yang mudah disibak. Hingga puluhan tahun merdeka, pemerintah
Indonesia masih berpikir dalam gaya lama. Birokrasi tidak diarahkan untuk
menyerap kearifan dan kekuatan semua kisah. Kita butuh Public Relation (PR) hebat
yang bisa mengubah semua hal menjadi hebat.
***
Di tepi pesisir Pulau Waigeo di Raja
Ampat, Papua Barat, saya bertemu dengan seorang nelayan yang duduk di atas
perahu kecil. Ia tengah merokok sambil memandang lautan yang hari itu penuh
dengan ombak. Ia sangat ramah ketika saya singgah dan menyapanya. Ia bercerita
tentang dirinya yang tak bisa melaut selama beberapa hari.
Hari itu, ombak tak henti mengaduk-aduk
lautan. Ia tak bisa melaut. Ia memandang laut sambil memikirkan apa yang akan
dilakukannya jika ombak tak surut hingga beberapa hari ke depan. Ia memikirkan
kebutuhan keluarga yang terus meningkat, sementara dirinya tak selalu bisa
mengarahkan perahunya untuk menjemput sesuap harapan di lautan luas itu.
Ia mengungkapkan satu realitas yang tengah
dihadapinya. Barangkali nelayan ini tidak memahami dampak perubahan iklim yang
tengah dikeluhkan banyak orang. Sejak beberapa tahun terakhir, alam tak lagi
bisa dipahami dalam keteraturan yang selalu berulang-ulang. Jika dahulu hujan
akan hadir pada bulan yang sama setiap tahun, kini tak lagi demikian. Alam
telah banyak berubah disebabkan ulah manusia.
“Tapi biarpun ombak tenang dan nelayan
bisa melaut, pendapatan terus turun,” katanya.
Nelayan ini terus bercerita. Pesisir Papua
adalah wilayah paling kaya dengan hasil laut. Setiap kali melempar kail, pasti
akan mendapatkan ikan besar. Lautan adalah rumah besar yang menyediakan semua
kebutuhan manusia. Mulai dari energi, sumberdaya mineral, hayati, wisata,
hingga menu yang tersaji di meja makan. Lautan juga menjadi lanskap bagi para
nelayan melukis hari-harinya. Laut adalah simbol eksistensi.
selamat datang di Raja Ampat |
seorang anak kecil |
Seiring waktu, Raja Ampat menjadi
destinasi wisata. Para turis dan peneliti berdatangan. Kampanye konservasi
dimulai. Pada wilayah tertentu, para nelayan dilarang menangkap ikan. Jika
dahulu ikan hanya difungsikan sebagai pangan, maka kini ikan menjadi penghias
agar bawah laut tetap cantik. Nelayan itu bercerita bahwa wacana konservasi
justru menjauhkan nelayan dari laut. Area tangkapan menjadi terbatas. Para
nelayan itu harus menangkap ikan di laut dalam. Sementara mereka justru tak
punya banyak akses pada teknologi menangkap ikan di lautan dalam.
Di sisi lain, banyaknya nelayan asing yang
datang dengan membawa teknologi penangkapan ikan yang canggih, kian menjauhkan
para nelayan dari lautan. Mereka hanya mendapatkan remah-remah dan sisa-sisa
yang justru tak banyak mendatangkan hasil bagi mereka. Kisah para nelayan hari
ini adalah kisah getir di tengah wacana konservasi dan semakin populernya Raja
Ampat sebagai destinasi wisata dunia.
Saat itu saya datang sebagai peneliti yang
sedang bermitra dengan salah satu kementerian. Saya mencatat keluhan nelayan
itu. Saya juga mencatat beberapa hal penting bagi warga di pulau-pulau kecil
sebelah barat Papua itu.
Di antaranya adalah bantuan pemerintah berupa desalinator air laut, yang berfungsi untuk menguba alir laut menjadi air tawar, justru tidak bisa bekerja. Alat itu hanya berfungsi setahun, selanjutnya rusak dan teronggok di tengah-tengah pulau. Padahal alat itu sangat penting bagi warga. Mereka tak perlu berangkat ke ibukota hanya untuk mengambil air bersih.
Di antaranya adalah bantuan pemerintah berupa desalinator air laut, yang berfungsi untuk menguba alir laut menjadi air tawar, justru tidak bisa bekerja. Alat itu hanya berfungsi setahun, selanjutnya rusak dan teronggok di tengah-tengah pulau. Padahal alat itu sangat penting bagi warga. Mereka tak perlu berangkat ke ibukota hanya untuk mengambil air bersih.
“Sejak alat desalinator rusak, kami
terpaksa harus mengambil air minum ke Waisai. Jaraknya bisa sampai empat jam
dari sini, “ kata nelayan itu.
Saya berjanji akan menyampaikan kisah itu
kepada pihak kementerian. Saya tahu persis bahwa pemerintah punya banyak
kebijakan untuk memberdayakan nelayan. Minimal, pemerintah bisa membuat satu
regulasi yang lebih berpihak kepada nelayan. Saya mendengar rencana pemerintah
untuk membuat asuransi nelayan yang diharapkan bisa membantu nelayan di tengah
ketidakpastian iklim. Saya berharap ikhtiar saya untuk menyampaikan keluhan
nelayan ini bisa mendapat respon yang memadai.
Setiba di Jakarta, saya menyampaikannya
kepada seorang rekan yang menjadi pejabat di sana. Saya juga meneruskan
keluhannya kepada kementerian lain yang terkait. Mudah-mudahan ada perubahan.
Saya bahagia mendengar bahwa laporan itu akan segera ditindaklanjuti.
Berbilang bulan berikutnya, saya
berkunjung ke Raja Ampat. Kembali saya bertemu nelayan yang sama. Dia
menyinggung pesannya yang disampaikan beberapa bulan silam. Saya katakan bahwa
pesannya telah disampaikan. Nelayan itu tersentak. Ia mengaku tak pernah
melihat ada perubahan. Desalinator air laut tetap saja rusak. Nelayan masih
kesulitan untuk meningkatkan pendapatan. Harga bahan bakar masih mahal. Tak ada juga rencana realisasi asuransi bagi
nelayan.
Seusai menyampaikan protes, nelayan itu
tersenyum, lalu berkata, “Sudah sa bilang. Cerita nelayan sini hanya
masuk telinga kiri keluar telinga kanan,” katanya.
***
SEPENGGAL kisah yang saya temukan di
pesisir Papua Barat ini menarik untuk ditelaah. Sebagai warga biasa, kita tak
tahu hendak menyampaikan ke siapa semua persoalan yang kita temukan di
lapangan. Kita juga tak menemukan persoalan ini menjadi concern dari pemerintah. Harusnya, semua persoalan harus diinventarisir,
kemudian secara transparan dibuka ke publik bagaimana penyelesaian semua
masalah. Harusnya publik punya akses untuk mengetahui sejauh mana informasi
yang disampaikannya bisa mempengaruhi pengambilan keputusan.
Saya teringat ujaran Manuel Castells
(2009) dalam buku Communication Power.
Menurutnya, pengaturan informasi adalah jantung dari kekuasaan. Rezim yang baik
akan mengelola informasi menjadi konten positif, mengatur lalu lintasnya
sehingga aspirasi dari bawah akan sampai ke atas, lalu direspon dalam bentuk
kebijakan. Tanpa pengaturan aspek dinamis ini, bisa berkembang syak wasangka
kalau ada pihak-pihak yang bermain dan mengambil keuntungan.
Memang, di setiap kantor pemerintah ada
institusi yang menjalankan peran-peran Public Relation (PR), atau kerap disebut
humas. Namun institusi ini lebih banyak berperan sebagai alat kekuasaan di kantor,
yang tujuannya untuk menyampaikan hal-hal baik, sekaligus menutupi hal-hal yang
dianggap mencemarkan.
Saya lalu mengecek sejauh mana isu-isu
yang diangkat nelayan itu menjadi perhatian pemerintah sebagaimana direkam oleh
media massa. Saya justru tidak menemukan informasi yang mencerahkan tentang
bagaimana gerak pemerintah dan lembaga terkait untuk mengatasi keluhan nelayan.
Di berbagai media, kita sering menemukan kisah-kisah positif tentang kerja-kerja pemerintah, serta kehadiran mereka di pelosok negeri.
Padahal, di lapangan realitas, seringkali kita menemui kenyataan yang sebaliknya. Publikasi itu lebih menekankan pada pencitraan seorang pejabat, ketimbang kepingan-kepingan realitas lapangan. Yang kemudian muncul adalah selapis selubung citra yang menutupi begitu banyak realitas.
Di berbagai media, kita sering menemukan kisah-kisah positif tentang kerja-kerja pemerintah, serta kehadiran mereka di pelosok negeri.
Padahal, di lapangan realitas, seringkali kita menemui kenyataan yang sebaliknya. Publikasi itu lebih menekankan pada pencitraan seorang pejabat, ketimbang kepingan-kepingan realitas lapangan. Yang kemudian muncul adalah selapis selubung citra yang menutupi begitu banyak realitas.
Hanya saja, kerja-kerja humas pemerintah
lebih bersifat top-down.
Kerja-kerjanya lebih pada menyusun propaganda kebaikan pemerintah, tanpa
merekam bagaimana dinamika di lapis bawah, lalu memberikan respon dengan cara
yang tepat agar pemerintah bisa segera menyelesaikannya. Seorang humas bukan
saja menjadi juru bicara pemerintah, melainkan sebagai juru bicara masyarakat
yang menjadi penyampai pesan dan mengatur dinamika informasi sehingga menjadi
kekuatan bagi setiap masyarakat.
peran seorang humas dalam sistem top-down |
Belajar dari pengalaman di Papua, harusnya
ada semacam dekonstruksi peran seorang humas. Tidak lagi fokus pada pemerintah,
melainkan menjadi satu organ yang berdiri di tengah-tengah antara pemerintah
dan masyarakat sipil.
Posisinya adalah menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dengan kerja-kerja pemerintah, sehingga keduanya bisa bersinergi dan menjadi iklim positif yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan orang banyak. Terhadap pemerintah, humas bertanggungjawab untuk menyampaikan realitas lapangan, tanpa harus didistorsi menjadi informasi yang baik-baik saja, melainkan apa adanya. Terhadap publik, humas menyampaikan respon pemerintah serta langkah-langkah yang sedang dan akan dilakukan ke depannya.
Posisinya adalah menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dengan kerja-kerja pemerintah, sehingga keduanya bisa bersinergi dan menjadi iklim positif yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan orang banyak. Terhadap pemerintah, humas bertanggungjawab untuk menyampaikan realitas lapangan, tanpa harus didistorsi menjadi informasi yang baik-baik saja, melainkan apa adanya. Terhadap publik, humas menyampaikan respon pemerintah serta langkah-langkah yang sedang dan akan dilakukan ke depannya.
Memang, humas pemerintah bertugas untuk
mendiseminasikan informasi mengenai pemerintah. Namun jika kita sama paham
bahwa pemerintah bertanggungjawab ke publik, maka posisi seorang humas adalah
merangkum khasanah suara publik lalu menyampaikannya ke banyak pihak, termasuk
media dan publik.
Sebagaimana pemerintah, humas juga bertanggungjawab kepada publik. Tugasnya adalah memastikan kerja-kerja pemerintah terkait pelayanan publik bisa berjalan dengan maksimal, lalu di saat bersamaan, ia akan menyerap sejauh mana respon publik atas kerja-kerja pemerintah tersebut.
Sebagaimana pemerintah, humas juga bertanggungjawab kepada publik. Tugasnya adalah memastikan kerja-kerja pemerintah terkait pelayanan publik bisa berjalan dengan maksimal, lalu di saat bersamaan, ia akan menyerap sejauh mana respon publik atas kerja-kerja pemerintah tersebut.
Posisi Humas yang lebih proaktif |
Di era informasi ini, tantangan bagi
seorang humas menjadi lebih besar. Era ini memungkinkan semua pihak untuk
saling terhubung, tanpa ada jarak dan manipulasi. Era ini memosisikan seorang
humas untuk meninjau ulang beberapa model pendekatan yang sudah usang, lalu
menggantinya dengan pendekaan yang lebih adaptif dengan konteks kekinian. Beberapa
pendekatan baru yang bisa ditempuh seorang humas adalah:
Pertama, proaktif. Seorang humas harus
lebih proaktif dalam menyerap dan mendiseminasi informasi. Ia tidak perlu duduk
diam di kantor sambil menanti-nanti apa saja laporan dari media massa.
Sebagai wakil pemerintah, dia harus turun ke lapangan, melalukan blusukan, lalu mencatat semua informasi demi membagikannya kepada banyak orang. Informasi yang dibagikannya tidak hanya hal-hal positif, tetapi juga kendala-kendala lapangan yang diharapkan bisa menjangkau para pengambil kebijakan.
Sebagai wakil pemerintah, dia harus turun ke lapangan, melalukan blusukan, lalu mencatat semua informasi demi membagikannya kepada banyak orang. Informasi yang dibagikannya tidak hanya hal-hal positif, tetapi juga kendala-kendala lapangan yang diharapkan bisa menjangkau para pengambil kebijakan.
Pendekatannya tidak sama dengan pemadam
kebakaran yang bergerak setelah ada laporan kebakaran. Dia harus turun ke
lapangan demi memahami bagaimana realitas sesungguhnya, lalu mendiseminasikan
informasi kepada banyak kalangan. Untuk itu, ia membutuhkan kemampuan seorang
periset, yang merangkum informasi dengan detail, juga kemampuan praktisi media
massa yang bisa melakukan advokasi atas isu menjadi kebijakan.
Kedua, networking. Seorang humas harus
membangun network (jejaring) dengan semua kalangan. Dia tidak hanya bertanggungjawab
pada atasannya, tetapi juga publik melalui aktivitas kehumasan. Dia mesti
menjalin relasi dengan berbagai stakeholder, mulai dari warga akar rumput
(grassroot), politisi, hingga kelompok-kelompok penekan (pressure group) yakni
kelompok swadaya masyarakat dan mahasiswa. Dengan memperluas networking, dia
bisa mendapatkan gambaran holistik atas kondisi lapangan demi menemukan solusi
paling tepat untuk mengatasinya.
Networking itu bisa dimaksimalkan melalui
media sosial, yang bisa menjadi wadah untuk membangun komunikasi langsung ke
publik. Media sosial juga menjadi kanal penyampai apa saja yang dilakukan
pemerintah, juga menyerap apa saja respon serta harapan-harapan masyarakat.
Kanal media sosial itu penting untuk berdialog secara positif, sehingga setiap
informasi bisa didiseminasikan dengan cepat.
Pendekatan yang ditempuh Presiden Jokowi
dan Walikota Ridwan Kamil yang memaksimalkan media sosialnya bisa ditempuh. Dua
sosok ini selalu memosting berbagai aktivitas yang dilakukannya. Jika semua
daerah memublikasikan potensi daerahnya secara berkelanjutan di media sosial,
maka langkah ini akan menjadi langkah positif untuk meningkatkan promosi, serta
menebalkan semangat kecintaan kepada tanah air.
suatu hari di Raja Ampat |
Ketiga, keberpihakan kepada publik.
Seorang humas harus memihak kepentingan publik dan mengadvokasinya di level
kebijakan. Sebagaimana dicatat Jan Servaes (2008) dalam buku Communication for Development and Social
Change, kerja-kerja seorang humas dan praktisi komunikasi harusnya ke arah
“receiver-centric” yang dilakukan dengan memberikan panggung dan mendengarkan
suara warga biasa, kemudian memperlakukannya sebagai aspek paling penting dalam
penyusunan kebijakan. Dengan demikian, posisi humas adalah merangkum suara
orang banyak agar didengarkan banyak orang.
Keberpihakan pada publik ini bisa
dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari mendengar suara nelayan, menyebarkan
informasi itu di beberapa kanal media, kemudian menyusun program-program yang
memungkinkan nelayan berdialog dengan stakeholder yang lain. Hanya dengan
dialog-dialog yang membebaskan, semua pihak bisa tercerahkan dan sama-sama
bergerak untuk melakukan hal-hal baik, mengembalikan birokrasi pada esensinya
yakni melayani masyarakat.
***
DI Papua Barat, saya kembali bertemu
nelayan itu. Kami sama paham bahwa ada banyak kenyataan yang seharusnya
dikabarkan kepada pihak luar tentang kondisi para nelayan Raja Ampat. Kami
ingin sekali menyajikan keping-keping pengalaman para nelayan agar semua pihak
memahami dengan baik kondisi mata rantai penting di negeri ini. Sejauh ini,
media-media besar hanya fokus pada apa yang terjadi di Jakarta sana, tanpa
merekam dinamika dari merekayang tinggal jauh dari pusat kekuasaan ini.
Mesti ada cara untuk menyerap banyak
pengalaman demi menyarikannya ke pihak-pihak berwenang. Untuk itu, posisi seorang
humas menjadi strategis sebagai penyampai informasi ke banyak pihak, mengatasi
kesenjangan informasi, sekaligus sebagai agen komunikasi yang memahami posisi
semua aktor demi menciptakan iklim positif untuk pembangunan.
Yup, tentu saja, pembangunan adalah
kerja-kerja semua pihak. Bukan hanya kerja pemerintah, tapi juga kerja bapak
tua yang berprofesi sebagai nelayan di pesisir Papua yang saya temui. Tugas
seorang humas dan public relation yang baik adalah menjaga keseimbangan
informasi demi iklim pembangunan yang positif. Semoga saja pembangunan menjadi
proses yang selalu memanusiakan. Amin.
10 November 2016
BACA JUGA:
1 komentar:
Setuju Humas harus lebih Proaktif..
Keren tulisannya menambah wawasan dan sangat bermanfaat.
*Semoga dapat Juara bang (y)
Posting Komentar