BANYAK orang yang beragama mengikuti orangtuanya. Banyak pula orang-orang yang mengenali Tuhan, sebagaimana diajarkan oleh lingkungan tempatnya tumbuh besar. Jika terlahir di keluarga Islam, maka jadilah dia seorang Islam. Jika terlahir di keluarga Tionghoa yang beragama Kristen, maka dia akan menjadi pengikut Kristen. Manusia mengikuti keyakinan di sekitarnya, tanpa ada upaya untuk mencari Tuhan, mengenali berbagai religi sebelum akhirnya menetapkan satu keyakinan yang akan menjadi pegangan hidupnya.
Namun ada saja sedikit orang yang melakukan pencarian. Dari sedikit itu, saya mengenali satu nama yakni Eric Weiner
dalam bukunya yang berjudul The Geography
of Faith, yang terbit dalam bahasa Indonesia tahun 2016. Dalam versi bahasa
Inggris, buku ini terbit dengan judul Man
Seeks God: My Flirtation with the Divine pada tahun 2011.
Eric adalah
seorang petualang yang rajin mencatat berbagai hal yang ditemukan di
perjalanan. Sebelum saya membaca The
Geography of Faith, saya pernah membaca bukunya yang sangat menarik yakni The Geography of Bliss yang berisikan
petualangan untuk menemukan konsep bahagia yang berbeda-beda di berbagai
lokasi. Buku lainnya yang saya baca adalah The
Geography of Genius, yang berisikan jawaban pertanyaan mengapa sejumlah
lokasi justru melahirkan banyak orang jenius yang memberi banyak kontribusi
dalam peradaban manusia.
Saya menemukan
benang merah dari tiga buku Eric Weiner. Ketiganya sama-sama bercerita tentang
petualangan untuk menemukan jawaban. Eric percaya bahwa setiap pemikiran lahir dari
konteks geografi tertentu, sehingga mustahil memahami pemiiran itu tanpa
berpetualang dan melakukan observasi. Dia juga percaya bahwa hanya dnegan
menyelami pengalaman manusia di satu wilayah, kita bisa mendapatkan banyak
gambaran tentang apa yang hendak ditemukan.
Sepintas, cara
kerja Eric serupa seorang antropolog yang hendak menemukan jawaban. Petualangan
seorang antropolog harus dibekali dua senjata utama yakni kemampuan melakukan
observasi atau pengamatan mendalam di satu lokasi, serta kemampuan untuk
menyerap pengetahuan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam
kepada warga lokal, setelah sebelumnya membangun hubungan dekat hingga tiba
pada titik saling percaya dan tak ada jarak.
Namun, Eric
bukanlah antropolog. Dia seorang jurnalis yang melakukan perjalanan ke berbagai
tempat. Tapi perjalanan yang dilakukannya berbeda dengan perjalanan para
petualang yang mencatat keindahan dan wisata-wisata eksotis. Sebelum melakukan
perjalanan, dia memenuhi kepalanya dengan banyak pertanyaan, lalu mencari
jawabannya di lokasi-lokasi yang dikunjunginya.
Dalam The Geography of Faith, ia memulai perjalanan dengan kisah saat dirinya dirawat di rumah sakit. Ia membayangkan kematian. Ia mulai memikirkan kehidupan setelah kematian. Ia merasa seperti “manusia kosong” dalam puisi karya T.S. Elliot., jiwa-jiwa malang yang mendengar panggilan, namun mengabaiannya. Ia teringat konsep dari filsuf Perancis bernama Blaise Pascal mengenai “lubang berbentuk Tuhan” untuk menggambarkan lubang kekosongan yang menganga dalam diri setiap orang. Ia mengakui kalau selama bertahun-tahun, ia mengisi “lubang” itu dnegan berbagai kenikmatan, mulai dari seks, makanan, wisata, ibat, buku, dan berbagai hal. Ia tiba-tiba saja terpikir untuk mengisinya dengan konsepsi ketuhanan, gagasan yang lalu menggerakkan tubuhnya untuk bangkit lalu bergerak dan berpetualang.
Ia membaca buku yang sangat
mempengaruhinya, berjudul Varietes of
Religious Experience yang ditulis William James. Saya pernah membaca buku
ini sekilas. William James tidak tertarik membahas ritual dan teologi. Dia
lebih tertarik mengetahui bagaimana agama diserap oleh manusia sesuai dengan
pengalamannya. Ia mencari tahu interaksi manusia dan agama, apa yang dialami
dan dirasakan manusia, bukan apa yang diyakini. Soal keyakinan, ia serahkan
pada ahli agama. Ia menulis tentang bagaimana manusia megalami dan memahami
agamanya, serta sejauh mana pengalaman itu terpolakan dalam tindakan
sehari-hari. Studi William James pada tahun 1902 ini sering disebut sebagai
studi ilmiah yang pertama tentang agama.
Terinspirasi William James, Eric Weiner
pun ingin mengetahui pengalaman kebaragamaan itu. Bedanya, ia tidak mau
melakukan observasi atau pengamatan mendalam. Ia ingin merasakan. Ia ingin
mengalami bagaimana satu agama atau keyakinan sebagaimana dirasakan oleh
penganutnya. Untuk itu, ia mesti menyediakan dirinya sebagai gelas kosong yang
lalu diisi dengan berbagai ritual dan tradisi, membiarkan terjadi debat atau
dialektika dalam dirinya, lalu menemukan beberapa kesimpulan yang akan menjadi
pelajaran berharga.
Petualangan itu dimulai dari sufisme. Ia
belajar sufisme pada beberapa kelompok yang mempraksiskan ajaran sufisme di
Amerika. Selanjutnya ia terbang ke Turki untuk mendalami sufisme. Ia belajar
memahami pemikiran Jalaluddin Rumi dalam beberapa puisi dan syair-syairnya. Tak
hanya itu, ia juga belajar tarian Rumi yang berputar-putar di stau poros
sembari menghayati bagaimana perputaran bumi, perputaran semua planet-planet
dan seluruh benda di jagad raya. Saat itu, ia melebur dan meresapi banyak
makna, yang sebelumnya susah dipahaminya. Dari sufisme, ia belajar makna cinta
yang dalam hingga sampai tahapan mabuk. Melalui cinta, seseorang merasakan
kedekatan dan kehadiran. Jika cinta itu diarahkan pada Tuhan, maka seseorang
akan mengalami kehadiran Tuhan dalam setiap tutur kata dan tindakannya.
Selanjutnya ia berpetualang ke Tibet demi
belajar meditasi bersama beberapa orang biksu. Dia mempelajari Budha dari para
penganut Budha, yang tak lelah mengajarinya. Ia mendiskusikan beberapa konsep,
di antaranya adalah penderitaan, perjalanan, hingga kasih sayang pada semesta.
Budhisme membawanya pada aspek penyatuan mistis dengan semesta.
Selanjutnya, ia berpetualang ke China demi
melatih chi-nya bersama para rahib tao. Tak mau ketinggalan, ia juga ke Las
Vegas demi memahami mengapa orang-orang menghabiskan waktu bersama para
penyihir Wicca. Terakhir, ia tiba di Yerusalem, tempat nenek moyangnya, lalu
menemukan refleksi tentang Yahudi, sebagai agama leluhurnya. Di sinilah ia
membuat refleksi mendalam dan catatan atas semua pengalamannya.
Saya belum menuntaskan keseluruhan buku
ini. Saya baru membaca dua bab yang membahas tentang sufisme dan budhisme. Saya
menyenangi gaya tulisnya yang serupa catatan perjalanan. Ia mengisahkan sesuatu
dengan sederhana, melakui dialog-dialog dengan banyak orang di setiap lokasi,
hingga pengalamannya mengikuti satu ritual. Di semua ritual itu, ia merasakan
sesuatu yang berbeda, yang kemduian kian mengasah pengalamannya.
tiga buku Eric Weiner yang saya koleksi |
Di banyak bagian, saya menemukan sisi ke-Amerika-an Eric Weiner yang skeptis dan tidak percaya sesuatu sebelum mencobanya. Bagi orang awam, mungkin skeptis ala Weiner ini bisa membuat kuping merah lalu tersinggung berat. Bagaimanapun, agama selalu identik dengan keyakinan, yang seringkali tidak boleh dihadapi dengan nalar dan sikap kritis. Mempertanyakan agama secara kritis masih dianggao tabu sebab dianggap sebagai gejala lemahnya iman. Padahal dengan bertanya, seseorang justru bisa semakin menebalkan keimanannya.
Namun, saya justru menyukai sikap kritis ini.
Tidak semua orang terlahir dalam satu tradisi sehingga menerimanya sebagai
kemutlakan. Untuk seorang pemula yang tumbuh dari nilai-nilai sekular seperti
Weiner, pertanyaan-pertanyaan kritis memang patut ditanyakan demi memahami satu
ritual agama tertentu. Dengan skeptisisme itu ia cepat belajar dan membuat
beberapa kesimpulan-kesimpulan sendiri, yang di mata saya, serupa
butiran-butiran hikmah yang semakin memperkaya pengalamannya.
Di akhir perjalanan, ia seorang resah yang
gelisah mencari jawaban. Di akhir perjalanan, ia serupa seorang rahib atau
santo yang membawa banyak kisah untuk dibagikan kepada banyak orang. Kisah itu
adalah kisah tentang pencarian dan penemuan diri, kisah tentang cinta, dan
kisah tentang bahagia yang selalu membuatnya tersenyum.
Bogor, 13 November 2016
BACA JUGA:
5 komentar:
Terimakasih pemaparannya bang. Ketika abang menjelaskan buku apapun, saya selalu tertarik dengan buku tersebut. Membuat saya harus berhemat lagi dalam beberapa hari kedepan ni sebelum ke gramed.
Jadi tertarik pngen mmbaca bukunya nih mas Yusran :)
sama2 bro. rasanya amat membahagiakan bisa berbagi pengetahuan.
Thx for the enlighment
di tunggu laporannya atas bacaan bab bab berikutnya, makasih..
Posting Komentar