Buddha Tidur di Kampung Bogor


di depan patung Buddha tidur

SERASA di Thailand, tapi ini di Bogor, Jawa Barat, saya melihat patung Buddha tidur paling besar di Indonesia. Patung ini dikelilingi patung-patung Buddha kecil, serta terletak di tengah wihara yang indah dan bernuansa oriental. Di depan patung itu, saya mengingat banyak episode kehidupan Buddha, mulai dari kisah empat perjumpaan hingga pencerahan saat duduk di bawah pohon bodi.

Dalam posisi tidur, apakah gerangan yang hendak disampaikan pembuat patung ini kepada umat manusia?

***

ANAK muda bermata sipit itu bernama Christian. Wajahnya mengingat saya pada aktor asal Korea, Lee Min Ho. Dia tersenyum ramah saat saya dan keluarga memasuki kompleks Wihara Buddha Dharma & 8 Po Sat di Kampung Jati, Kelurahan Tajur Halang, Bogor. Ia lalu menyilahkan saya untuk mengisi buku tamu, sebelum berkeliling dan memotret. Di buku tamu itu, saya bisa melihat kalau pengunjung wihara berasal dari berbagai kota.

Magnet utama di wihara itu adalah patung Buddha tidur yang panjangnya 18 meter dan tinggi 5 meter. Selain Bogor, dua patung lainnya ada di Mojokerto, dan Bali. Patung ini dalam posisi tidur, menghadap ke kanan, serta kepala yang ditopang oleh telapak tangan. Patung ini adalah satu dari tiga patung Buddha tidur berukuran besar di Indonesia. Mengapa berada dalam posisi tidur?

“Patung ini tidak dalam posisi tidur. Lebih tepatnya, Buddha sedang melakukan meditasi. Lihat matanya yang terpejam, dan senyum yang terpancar. Itu lambang ketenangan dan kedamaian. Ini posisi saat Buddha menemukan pencerahan” kata Christian. Saya menyimak.

Dia lalu bercerita tentang kompleks wihara yang mulai dibangun sejak tahun 2005. Patung itu membutuhkan batu kali sebanyak 15 truk dan 500 sak semen untuk membuat patung Buddha tidur tersebut. Mulanya, pihak pengelola wihara hendak mencari batu utuh, lalu dipahat membentuk Buddha. Ternyata susah mendapatkan batu yang diinginkan. Akhirnya, mereka lalu membuat rangka besi yang diisi material. Setelah bersemedi, dimulailah pembangunan wihara.




Bentuk wihara ini cukup unik dan mencerminkan perpaduan berbagai macam kultur atau budaya. Di bagian depan, pengunjung akan disambut dengan sebuah gerbang berwarna merah. Warna yang merupakan cerminan budaya etnis Cina. Memasuki bagian dalamnya terdapat dinding yang dipenuhi dengan relif bermotifkan Buddha. Bisa saya lihat kalau relief itu menggambarkan kehidupan Sidharta Gautama, mulai dari lahir, masa remaja, masa pencerahan, hingga periode mangkat. Saya sempat tersenyum saat melihat relief kera sakti Sun Go Kong, bersama gurunya biksu Tong, serta Pat Kay (siluman babi), Wu Jing, dan kuda putih.

Selain relief, terdapat pula sebuah stupa, mirip dengan stupa yang ada di candi Borobudur. Tidak mengherankan ada stupa ini disini mengingat Borobudur adalah candi Budha terbesar. Sebuah prasasti yang ditandatangani oleh pejabat Kementrian Agama pun terletak di halaman depan.

Patung Buddha tidur sendiri berada di balik dinding berrelif tersebut. Letaknya ada di sebuah bangsal tersendiri. Mengingat ukurannya yang sangat besar, maka memang perlu ruang penempatan yang sama besarnya pula. Selain itu patung ini merupakan tokoh utama di vihara ini.

Di kedua dinding bangsal tempat patung ini berada, terdapat lemari kaca berisi ratusan patung-patung kecil. Tadinya, saya mengira patung-patung ini adalah persembahan dari keluarga-keluarga untuk anggota mereka yang sudah tiada. Terlihat terdapat label nama orang pada setiap patung tersebut. Ternyata, nama-nama itu adalah para penyumbang. Semua yang mengyumbang uang satu juta rupiah, namanya akan diabadikan di patung kecl itu, serta selalu didoakan.




Yang cukup mengherankan adalah tak banyak warga Bogor yang tahu keberadaan wihara ini. Saat menuju ke sini, saya bertanya kepada tiga orang di perjalanan, namun tak satupun yang mengetahui lokasinya. Saya lalu mengandalkan Google Map yang menunjukkan lokasi wihara ini. Dari rumah saya di Kota Bogor, saya butuh waktu sejam untuk tiba di tempat ini.

Saat tiba di situ pun, saya melihat ada spanduk merah bertuliskan tuntutan warga yang menolak wihara itu dilebarkan, tanpa persetujuan mereka. Padahal, jika wihara itu besar, warga yang akan kecipratan untung, mulai dari retribusi, lahan parkir, diperbaikinya sarana transportasi jalan, hingga jasa penginapan.

Di sisi lain, pemerintah juga tak berbuat apa-apa atas protes warga. Harusnya negara hadir untuk melindungi umat Buddha yang hendak beribadah. Ah, saya tak ingin ngomong banyak tentang ini. Setahu saya, Bogor dikenal sebagai wilayah yang dianggap tidak toleran.

***

MELIHAT patung ini, ingatan saya langsung kuil-kuil Buddha di Thailand. Dua tahun silam, saya berkunjung ke kuil Wat Chalong di Phuket, dan menyaksikan candi Buddha yang cukup tinggi. Di situ, ada pula patung Buddha tidur yang sedang dikelilingi murid-muridnya. Bedanya, patung Buddha yang di Bogor ini bernuansa mandarin. Apapun itu, pesannya sama, yakni kedamaian.

Dalam beberapa bacaan tentang kehidupan Sidharta Gautama, saya selalu menemukan kisah tentang empat perjumpaan. Mulanya, Sidharta menyaksikan orang tua yang jalannya tertatih-tatih. Selanjutnya, ia melihat perempuan yang dilanda sakit parah, setelah itu ia melihat tulang belulang. Terakhir ia bertemu pertapa. Empat perjumpaan itu membuat Sidharta merenungi tentang hakikat hidup. Bahwa manusia adalah mahluk yang amat rapuh, bisa terserang penyakit, pasti mengalami ketuaan, hingga akhirnya menjadi tulang-belulang. Lantas, jika kehidupan sedemikian fana, mengapa pula manusia harus meletakkan kehidupan sebagai segala-galanya?

Sidharta lalu memilih hidup sebagai pertapa yang melepaskan segala nikmat dunia. Ia menghadirkan cahaya terang yang menyelusup ke hati banyak orang, bahkan di zaman yang jauh ketika dirinya telah wafat. Ia mewariskan sesuatu yang tidak kecil, sebab menjadi suluh terang bagi banyak orang yang hendak menemukan kedamaian. Sidharta adalah seorang yang meninggalkan kemewahan dunia. Ia menyebut kemewahan serta rasa kemelekatan atas dunia sebagai penjara-penjara yang menghalang manusia untuk menemukan kedamaian.


Dari Kavilawasthu, India, ajarannya menyebar ke seluruh dunia. Ajaran yang memasrahkan diri untuk mengalir dan mengikuti ke mana sungai semesta bergerak itu menjadi mata air bagi banyak orang yang hendak menemukan kedamaian. Yang khas dari ajaran ini adalah pelepasan segala bentuk ego, serta melihat dunia hanya sebagai beban bagi perjalanan seseorang yang menempuh jalan spiritual. Dengan melepaskan dunia, seseorang berjalan menuju nirwana.

Jauh di Bogor, saya menemukan jejak ajaran Buddha itu.



Bogor, 8 Februari 2016 
Selamat merayakan Imlek


BACA JUGA:







1 komentar:

clara inge mengatakan...

memang warga Bogor pribumi gak banyak yg tahu, tapi kalo warga keturunan sudah tahu tempat ini :D

Posting Komentar