Surat buat Soe Hok Gie

DI SINI, di makam ini, aku sedang menyusun kepingan-kepingan ingatan tentang sosokmu, Soe Hok Gie. Di Museum Taman Prasasti ini, aku melihat pusaramu yang di atasnya terdapat malaikat kecil bersayap tengah khusyuk berdoa. Mungkin malaikat itu adalah personifikasi sosokmu yang sedang di alam sana. Di situ ada harapan dan pengharapan yang dipersembahkan bagai ribuan mantra yang dirapal untuk menembus langit sana. Dirimu serupa malaikat yang berdiam di sana dan sesekali ke bumi menyaksikan sesuatu lalu terbang ke sana untuk memberi kabar buat penguasa alam raya.

pusara Soe Hok Gie
Di sini, di pemakaman Keerkhoof Laan, atau yang kerap disebut Kebun Jahe Kober, aku menyaksikan pusaramu. Kata banyak sahabat, di dalam tanah itu, tulang-belulangmu sudah lama raib. Teman dan keluargamu telah menumbuknya hingga jadi abu, kemudian menyebarkan debu belulang itu ke Puncak Semeru, di tengah-tengah hamparan edelweiss, di tengah-tengah kabut putih Lembah Mandalawangi. Orang Jawa percaya dengan magis Semeru sebagai puncak tertinggi tempat bersemayam para dewa. Dirimu –setidaknya debu tulangmu– telah menjadi udara di negeri para dewa itu, dirimu bukan lagi sebuah sosok, namun sesuatu yang memberi napas, membawa kehidupan, dan mengaliri denyut nadi hingga menembus jantung.

Aku tak peduli jika dirimu sudah tidak di Kober ini. Setidaknya kamu pernah berbaring di sini pada suatu waktu, dan pusara ini pernah menjadi jejak penanda atas dirimu. Setidaknya aku bisa menyaksikan atmosfer sesuatu yang menjadi penanda atas dirimu. Dan di pusara itu aku melihat namamu terukir. Tertulis: Soe Hok Gie, 17 Desember 1942 - 16 Desember 1969. No body knows the troubles, I see no body knows my sorrow.

pusara Soe Hok Gie

Aku tersentak membaca sepenggal kalimat terakhir. Kesedihan adalah buah dari penghayatan. Dirimu menghayati negeri ini, membangkitkan cinta yang lalu berujung sedih. Di saat semua orang bergembira merayakan kemerdekaan, dirimu tetap sedih karena melihat ketertindasan. Sebagaimana kau katakana, “Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…” Dirimu sedang berduka atas bangsa ini.

Pernah kubaca kalimat sedih itu dalam catatanmu. Dirimu adalah seorang martir yang bergerak sendirian dan tidak ingin terseret dalam arus besar. Dirimu pernah mengatakan, “Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.” Kalimat ini begitu tajam menohok anak muda seperti diriku yang bermalas-malasan.

Di kota ini, diriku menjalani kehidupan seperti seorang mapan yang hanya bisa berleha-leha. Pantas pula jika dirimu menulis, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

Yup benar. Kita tak pantas mati di tempat tidur. Kita adalah anak muda yang digarami samudera petualangan dan dibakar oleh api semangat yang menyala-nyala. Kita adalah anak muda yang menghabiskan malam dengan membaca buku filsafat dan di siang hari berpanas-panas demi sebuah tuntutan. Namun, seberapa jauhkah kita mempertahankan nyala api semangat itu? Apakah kelak kitapun akan menjelma menjadi borjuis baru yang hanya berkarib dengan bir di malam hari dan di siang hari berdansa dengan gadis-gadis cantik lalu terlelap sambil berpelukan?

di tepi pohon rindang ini.....

Di pusara ini, aku kembali merenung. Mungkin kesendirian adalah harga yang pantas untuk menegakkan sebuah kalimat kebenaran. Di sini aku tidak berusaha menemukan sosokmu. Aku sedang menemukan diriku yang lama memudar entah ke mana.

Beberapa tahun silam, aku membaca catatanmu dengan gairah meluap-luap sebagaimana anak muda yang baru saja belajar di kampus dan sedang gandrung dengan bacaan kritis. Aku membaca kalimat-kalimatmu yang setajam pedang, kalimat yang hingga kini tersimpan abadi bagi anak-anak muda yang gelisah melihat zaman yang liar berlari dan tidak memberikan ruang memadai bagi mereka yang tertindas.

Di negeri ini, ketertindasan adalah sesuatu yang abadi. Penguasa silih-berganti. Para presiden baru terus bermunculan. Tapi entah kenapa, tak ada juga yang peduli dengan ketertindasan. Hukum digunakan hanya untuk membodohi yang lemah. Pengadilan hanya alat untuk melanggengkan kuasa. Dan mereka yang di parlemen masih sibuk memikirkan tur ke negeri-negeri yang jauh. Ah, aku jadi teringat bait yang kau tuliskan dengan berapi-api. Aku teringat aksi yang kau lakukan ketika mengirimi mereka gincu dan bedak agar mereka terus berdandan biar tetap cantik penampilannya di sana. Mereka pantas dikirimi bedak.

Mereka memang mesti cantik. Kata mereka, ini demi pencitraan. Bangsa ini sudah serupa sinetron. Para politisinya berdandan cantik demi simpati. Mereka bermewah-mewah, namun dalam hitungan detik segera memasang tampang memelas agar rakyat simpati. Tetapi, apakah pantas jika kemewahan itu dipertontonkan di saat banyak anak bangsa yang mati meregang nyawa hanya karena tak punya daya untuk membeli sesuap nasi? Pantaskah ketika mereka -baik parlemen maupun presiden itu-ke mana-mana mengendarai mobil mewah, sementara di tepi jembatan sana ada orang yang mengais sampah demi melanjutkan hidup esok hari?

Ah,….. Akhirnya aku sadar bahwa dirimu memang tak pernah modar. Kalimat yang kau tuliskan terus abadi sebab negeri ini tidak bisa beranjak dari masalah yang sama. Kita adalah anak negeri yang hanya bisa berjalan di tempat. Zaman boleh berganti, penguasa silih berganti.

menyentuh pusara
Dan kalimatmu telah membangkitkan sesuatu dalam diri untuk terus bergejolak, kalimat yang tidak sekedar tangis sedih mereka yang cengeng melihat zaman, namun catatan yang menyimpan api semangat untuk membakar sesuatu hingga berkobar-kobar. Kalimat yang kau goreskan dalam Catatan Seorang Demonstran adalah buku wajib buat mereka yang gelisah melihat kemapanan. Dirimu memang terlahir sebagai anak kandung zaman yang mencintai negeri ini pada takaran yang melebihi nasionalisme sebagaimana dikhutbahkan para penguasa, yang menterjemahkan nasionalisme sebagai pembodohan atas nama negeri.

Sebuah ide memang tak pernah mati. Sebuah ide akan selalu mengalir dan menemukan kaki-kaki untuk bergerak.Kau telah menuliskan semua kegelisahan itu dalam baris-baris kalimat. Tugasmu telah selesai. Namun, pernahkah kau berpikir bahwa gagasan yang pernah kau torehkan telah mengalir laksana air bah dan menjebol segala rintangan dan beban yang menggunung dalam pikiran. Pernahkah kau berpikir bahwa hasrat muda yang menggelegak dalam dirimu ibarat gelombang topan yang menderu dan menderas jutaan anak-anak muda untuk bangkit gergerak dan tidak pasrah melihat kesewenangan?

Tuan Soe Hok Gie. Di sini aku sedang merenungi dirimu. Aku membayangkan kalimatmu yang serupa pedang dari alam sana. Dirimu bukan Tan Malaka yang bernah berujar, “Dari dalam kubur, suaraku lebih nyaring terdengar.” Tapi dalam diammu, kau telah mewariskan kata-kata yang abadi dan menggema. Dan diriku adalah satu darinjutaan anak muda yang masih menyimpan rapi semua kalimatmu. Sayang sekali karena diriku tidak sekuat dirimu yang tahan dengan kesendirian…


Jakarta, 23 Oktober 2010
Usai mengunjungi pusara Soe Hok Gie




1 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Sampaikan salam kagum ku untuknya bila anda berkesempatan kesana lagi... :)

Posting Komentar