Mengorek Jantung Paman Sam


APAKAH yang Anda bayangkan tentang Amerika Serikat (AS)? Apakah patung liberty ataukah sosok pria berbaju bendera Amerika yang kerap disebut Paman Sam? Kemarin, saya bersama teman-teman Cohort 9 berkunjung ke kantor Aminef, lembaga yang memberikan layanan konsultasi pendidikan di AS. Kami sama-sama dipenuhi hasrat untuk mengetahui banyak hal tentang belajar di negeri adidaya tersebut. Kami ingin mengorek jantung Paman Sam demi mengetahui apakah kami bisa memenuhi syarat belajar ataukah tidak. Keinginan kami meluap-luap sehingga mengabaikan fakta bahwa sesungguhnya terdapat tugas berat yang mesti segera tuntas yakni meningkatkan skor Toefl.

Sayang sekali karena saya agak terlambat datang. Saat saya tiba, dialog telah usai. Saya hanya sempat berdiskusi sesaat dengan beberapa sahabat mengenai pertemuan tersebut. Berbeda dengan saat berkunjung ke Neso, kali ini jumlah pesertanya lebih banyak.

Malah, sebagaimana kata Hendro, para peserta bisa dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama adalah teman-teman yang memiliki skor toefl tinggi. Kedua adalah para teman dengan skor di bawahnya. Masing-masing memiliki tipologi pertanyaan yang berbeda. Jika kelompok pertama bertanya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi belajar di sana serta tempat terbaik yang bisa direngkuh atau pertanyaan tentang isu-isu terorisme, maka kelompok kedua justru mencari celah-celah untuk bisa menyelip ke negeri itu. Kelompok kedua mencari siasat atau strategi demi menelusuri kampus-kampus dengan standar penerimaan rendah agar bisa menyelipkan diri di situ. Hahahaha… (ini cuma candaan saja. Jangan diambil hati)

Sebagaimana Hendro, posisi saya adalah di barisan kedua. Saat ini kami masih menanam impian dan didera kekhawatiran kalau-kalau kami hanya bisa berjalan di tempat. Kami sama-sama masih berjibaku dengan hal yang mungkin sebagian kita menganggapnya remeh-temeh yakni bagaimana bisa lolos syarat penerimaan. Masih begitu terjal tebing yang mesti dilewati demi menggapai puncak yang bisa kami daki. Makanya, dalam kunjungan kemarin, saya lebih banyak membaca atau melihat-lihat brosur kalau-kalau ada bagian yang menarik hati. Saya lebih suka melihat gambar-gambar tentang kedigdayaan AS di pentas dunia.

Saya pernah membaca beberapa buku tentang pembangunan, khususnya dari para ekonom aliran klasik yang menjadi pengikut setia Adam Smith dan David Ricardo. Bagi masyarakat dunia ketiga, AS serupa mimpi yang hanya bisa diangankan. Kemajuan AS menjadi utopia yang begitu memikat untuk ditiru. Kemajuan AS serupa kisah-kisah di negeri dongeng. Meskipun saya tidak menampik bahwa di negeri itu juga terjangkit beberapa penyakit sosial yang berpotensi menjadi pemantik ledakan sosial.

Walau bukan sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan tertinggi, AS tetap menjadi jantung peradaban dunia, negeri dengan symbol-simbol kemakmuran. AS mengklaim dirinya sebagai symbol utama kemajuan sehingga negara-negara dunia ketiga. Pembangunan hadir sebagai istilah untuk menciptakan ketergantungan bangsa-bangsa. AS lalu menciptakan skema agar negara berkembang itu mengikuti jejak yang mereka torehkan. Seroang ekonom yakni WW Rostow lalu menuliskan skema pembangunan lima tahap (five stages of economic growth) yang lalu dijelmakan sebagai satu-satunya patokan demi menata pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Dulunya, pemerintah Orde Baru sering sekali mengutip istilah tinggal landas. Ini istilah ciptaan Rostow sebagai satu tahap di mana bangsa-bangsa berkembang akhirnya lepas dari dilemma kemiskinan.

Pada hari ini, AS tetaplah menjadi impian. Meskipun pembangunan di sejumlah negara sudah lama porak-poranda karena dihantam krisis, AS tetap saja menjadi role model. Pantas saja jika dalam brosur yang saya baca kemarin terdapat pernyataan bahwa belajar di AS adalah belajar di jantung peradaban dunia, belajar langsung dari mereka yang sudah melewati tahap-tahap pertumbuhan ekonomi. Belajar langsung dari mereka yang sudah menggapai tahapan kesejahteraan.

Saya sendiri sering merasa geli kalau membaca brosur seperti ini. Bagi saya, urusan belajar itu adalah interaksi secara terus-menerus dengan realitas di sekeliling kita. Belajar bukanlah menjiplak sesuatu, kemudian diterapkan secara persis. Negeri ini sudah lama kacau karena terlalu banyak manusia yang mau menerapkan sesuatu secara persis sebagaimana disaksikannya di suatu bangsa. Boleh jadi kita memang tidak mengenali kenyataan di sekitar kita sehingga abai pada upaya menumbuhkan inisiatif lokal untuk proses pembangunan.

Pandangan yang hendak menerapkan sesuatu secara membabibuta sudah lama rontok sebab melihat gejala-gejala sosial sebagai sesuatu yang tunggal. Belajar itu adalah proses dialog terus-menerus antara diri kita dengan satu realitas sosial. Dialog itu melahirkan tafsiran baru atas fenomena sekitar sehingga kita tertantang untuk menciptakan satu model yang paling tepat, sesuai dengan kebutuhan lokal, serta menjadi jawaban atas segala permasalahan yang ada di satu tempat. Dalam konteks ini, masih relevankah pernyataan belajar di jantung peradaban dunia?

Berandai-Andai

Saya jadi malas membaca brosur. Kadang-kadang sebuah brosur tidak menjawab apa yang sebenarnya kita cari buat bangsa ini ke depan. Saya memutuskan untuk melihat-lihat foto. Saya terkesima saat melihat foto-foto tentang Washington DC. Saya belum pernah sekalipun ke luar negeri. Andaikan kesempatan itu datang, saya ingin juga mengunjungi Washington. Meskipun saya masih jauh dari berbagai persyaratan tersebut, saya ingin berandai-andai untuk melangkahkan kaki di tempat-tempat monumental di negeri itu.

Saya membayangkan sedang menghirup udara sejuk di depan Capitol Hill, simbol politik AS yang kubahnya berbentuk bulat dan ada patung perempuan sebagai lambang kebebasan. Pematung Thomas Crawford, seorang pencinta wanita yang rela dibakar oleh rasa kecintaannya, meletakkan patung itu sebagai wakil dari kebebasan yang meluap-luap. Apakah wanita identik dengan kebebasan?

Saya juga ingin menyusuri padang rumput di depan Lincoln Memorial dan menyaksikan langung patung Abraham Lincoln. Di sorot mata pria ini terhampar kasih sayang pada bangsa kulit hitam hingga menjadikan dirinya sebagai martir pada tahun 1865. Ingin rasanya kutembus sorot mata itu dan mengurai sejarah perbudakan bangsa AS, sejak kedatangan imigran Inggris hingga datangnya kapal May Flower yang membawa kaum berkulit hitam dari Afrika. Betapa besar hasratku untuk menelusuri jejak perbudakan yang kemudian dihapus dengan berdarah-darah oleh Lincoln, Presiden AS terbesar sepanjang masa yang tumbuh dalam balutan kemiskinan di Kentucky dan Indiana di tahun 1818.

Mungkin, AS bukan sekadar tempat belajar. AS adalah tempat menimba inspirasi. Sebagai pencinta sejarah, saya sering membayangkan bentuk Washington Monuments yang berdiri tegak dan kokoh seperti sebuah batu runcing yang tertancap di dasar bumi. Batu itu menjadi prasasti atas kiprah George Washington, seorang komandan militer yang menyulut revolusi Amerika sebagai awal lahirnya AS. Dalam genggaman pria berkuncir ini, AS meletakkan visinya sebagai bangsa baru yang kelak menjadi superpower dan melihat dunia secara tunggal untuk ditekukkan dalam satu kriteria.

Jika kelak ke negeri itu, saya ingin menyaksikan langsung National World War II Memorial, yang menjadi saksi atas kejamnya Perang Dunia II. Saya pernah menangis tertahan di saat membayangkan jenazah mereka yang terbaring demi membela negerinya. Apakah itu benar-benar dilatari tindakan heroik ataukah itu hanya reaksi atas proses pembodohan yang dilakukan secara sistematis atas nama negara?

Mungkin pula saya akan semakin pedih saat berjalan sedikit ke dapan dan menyaksikan Vietnam Veterans Memorial yang berbentuk tembok hitam berbentuk huruf V. Di situ ada tergurat nama mereka yang tewas di Perang Vietnam. Seperti halnya warga AS yang tak pernah mengerti apa tujuan perang itu, hati ini hendak bertanya, apakah itu demi sebuah kehormatan ataukah buah kebodohan yang sukses ditanamkan negara.

Maafkan karena saya mulai ngelantur. Nampaknya saya mulai ngantuk. Pantas saja tulisan ini sudah nyebrang ke mana-mana.


Jakarta, 1 Oktober 2010
Pukul 01.00 dini hari

0 komentar:

Posting Komentar