Eat, Love, and Pray

poster film Eat, Love, and Pray

ADAKAH catatan harian yang dibukukan lalu difilmkan? Di tahun 1980-an kita sempat mengenal serial Little House in the Prairie, kisah yang dituturkan bocah Laura Inggals Wilder tentang hari-harinya di tepi padang pertanian di Amerika Serikat (AS) pada awal negeri itu tumbuh. Kita pernah pula mengenal kisah The Diary of Anne Frank, catatan yang terselip dari seorang bocah di tengah-tengah pembantaian bangsa Yahudi di Jerman, sebuah catatan yang amat menggetarkan.

Di Indonesia sendiri kita mengenal Soe Hok Gie, yang catatan hariannya dibukukan dengan judul Catatan Harian Seorang Demonstran. Buku ini lalu difilmkan oleh Miles Production, namun sayangnya tidak seberapa berhasil memvisualkan situasi masa-masa bergolak di tahun 1965, masa ketika rezim hendak berganti dan di situ hadir sososk pemuda gelisah yang memotret semua keadaan dalam catatan harian. 

Kebanyakan catatan harian yang difilmkan adalah catatan tentang pemikiran atau pengalaman. Namun, bagaimana jika catatan tersebut adalah sebuah catatan perjalanan mengarungi beberapa negeri untuk menemukan makna? Bagaimakah jika catatan tersebut adalah catatan mengunjungi banyak negeri dengan laku serupa turis namun menemukan butiran-butiran makna?

Kemarin, Rabu (14/10), usai kelas bahasa Inggris di Salemba, saya nonton film Eat Love and Pray di Metropole XXI di Jakarta Pusat. Film yang dibintangi Julia Roberts ini berisikan kisah perjalanan seorang perempuan bernama Elizabeth yang mengunjungi tiga negara untuk menemukan ceceran makna, memerasnya menjadi hikmah, lalu menaburi luka-luka hatinya. Film ini diilhami dari catatan pengarang AS Elizabeth Gilbert. Pada sampul buku ini di Toko Gramedia, saya melihat judul Eat, Pray, and Love. Dan di bawahnya adalah tulisan one womens search for everything across Italy, India, and Indonesia. Ini adalah salah satu buku terlaris dan bertengger di peringkat atas bestseller selama 187 minggu.

Julia Roberts, peraih Oscar 2001 memerankan Elizabeth Gilbert (Liz) seorang jurnalis perempuan yang resah mencari makna kehidupan. Pada usia 30, Liz telah mendapatkan semua yang diinginkan oleh seorang wanita Amerika modern. Selain seorang suami dan sebuah rumah, Liz yang ambisius dan terpelajar juga punya karier yang cemerlang.Namun, bukannya bahagia, dia justru menjadi panik, sedih, dan bimbang menghadapi kehidupan. Ia merasakan pedihnya perceraian, depresi, kegagalan cinta dan kehilangan pegangan dalam hidupnya.

Untuk memulihkan dirinya, ia pun mengambil langkah yang cukup ekstrem. Dia memilih untuk meninggalkan  pekerjaan dan orang-orang yang dikasihinya untuk melakukan petualangan seorang diri berkeliling dunia. Bagi seorang perempuan yang berpenampilan menarik, perjalanan solo ini jelas petualangan seru. Eat, Pray, and Love adalah catatan kejadian di bulan-bulan pencarian jati dirinya itu.

saat berada di Italia
Dalam petualangannya itu, ia menetapkan tujuan ke tiga tempat berbeda. Pada setiap tempat tersebut, ia belajar banyak hal dari setiap pengalaman yang dialaminya. Italia menjadi tempat tujuan pertamanya. Di Italia, Liz mempelajari seni menikmati hidup dan bahasa Italia. Saya suka kutipan kalimat seorang pria di Italia ketika menyindir Liz. “Kalian warga Amerika hanya tahu bagaimana memperkaya diri. Hari-hari kalian adalah bekerja keras hingga kelelahan. Kalian tidak tahu bagaimana caranya menikmati hidup seperti orang Italia. Tidak tahu cara mentertawakan hidup,” katanya.

Liz juga mengumbar nafsu makannya dengan menyantap aneka masakan Italia yang enak-enak. Wajar saja jika kemudian bobot tubuhnya pun bertambah 12 kilogram. Lewat makanan itu, ia menemukan filosofi bahwa selagi anda memiliki kesempatan, nikmatilah apapun yang ada di hadapanmu, tanpa banyak terbebani. Ia seakan menyindir orang-orang yang takut gemuk atau takut kehilangan penampilan menarik.

Dari Italia, ia bertolak menuju India. Di negeri ini dia mempelajari seni penyerahan diri di sebuah Ashram atau padepokan Hindu. Ia menghabiskan waktu empat bulan untuk mengeksplorasi sisi spiritualnya. Di India, ia belajar menemukan keheningan, melepaskan semua beban hidup, dan menjalani hidup dengan penuh spiritualitas, sebagaimana seorang pertapa. Ia melepaskan dunia, namun tidak benar-benar lepas. Ia merengkuhnya, namun tidak berada di bawah kendali dunia. Ia yang mengendalikan semesta.

Akhirnya, Bali menjadi tujuan terakhirnya. Di Pulau Dewata inilah wanita yang kian matang ini menemukan tujuan hidupnya yakni keseimbangan antara kegembiraan duniawi dan ketenangan batin. Ia menjadi murid seorang dukun tua bernama Ketut Liyer yang juga seorang pelukis dan peramal lewat garis tangan. Yang mebgejutkan, Ketut Liyer justru tidak mengajarkan Liz meditasi selama beberapa waktu sebagaimana yang dipelajarinya di India. Ketut justru memintanya untuk menikmati hidup sebagaimana orang Bali. Ia harus tersenyum dalam menghadapi apapun. “Senyum bukan hanya di wajah, tapi juga di pikiran dan hatimu,” kata Ketut.

Gilbert juga bersahabat dengan Wayan, penjual jamu tradisional Bali (diperankan Christine Hakim). Pada penggalan pengalaman tentang Bali, kita bisa menemukan spiritualitas yang amat kental di sana, serta filosofi mengapa Bali menjadi sentral kosmos sebagai penjaga keseimbangan. Di Bali pula, Liz menemukan patahan cintanya yang sempat porak-poranda. Ia jatuh cinta pada Felipe, pria asal Brasil yang lebih tua darinya.

Makna Perjalanan

nikmat buku serupa nikmat capuccino
Sebenarnya apa makna yang hendak disampaikan dalam film ini? Saya mencatat beberapa hal penting. Pertama, Elizabeth bukanlah sekadar turis yang melakukan perjalanan bukan untuk mengagumi keindahan alam di satu tempat. Tidak juga untuk melepaskan refreshing atas segala beban yang dialaminya di New York. Ia mengunjungi tiga negara dengan membawa satu tujuan yakni menemukan tetesan-tetesan makna demi menguatkan dirinya dalam menghadapi derasnya samudera kehidupan. Inilah perjalanan menemukan makna, perjalanan yang membenturkannya pada kesadaran bahwa hidup bukanlah perkara yang dihadapi dengan penuh depresi, dengan stress yang menggumpal-gumpal, atau emosi yang menggelegak.

Kedua, hidup adalah sesuatu yang semestinya dinikmati dengan penuh keriangan. Hidup serupa sungai yang mengalir dan kita kemudian berenang mengikuti semua arus, tanpa sedikitpun kehilangan senyum. Seberat apapun beban yang kita hadapi, seberat apapun masalah yang mendera, kita tidak boleh kehilangan keriangan dalam menghadapinya. Tapi bukan berarti kita harus menyerah pada apapun yang terjadi atau sikap kepasrahan buta, tanpa melakukan apapun. Saya kira tidak demikian. Mungkin, yang dibutuhkan adalah semangat yang menyala-nyala, ketenangan menjalani hari-hari sebagaimana ketenangan seorang biksu yang bermeditasi, serta sikap untuk selalu tersenyum saat menyaksikan apapun yang ada di hadapan kita. Keseimbangan atas motivasi yang menyala-nyala serta ketenangan yang serupa air tenang ini adalah titian utama yang bisa mengantarkan seseorang pada telaga kesejukan dalam menikmati hidup. Itulah yang ditemukan Elizabeth Gilbert dalam perjalanannya.

Ketiga, amat jarang seseorang melakukan perjalanan untuk menemukan makna. Di Indonesia, mungkin hanya haji dan umroh yang merupakan perjalanan menemukan makna. Di luar itu, kita jarang menemukannya. Kebanyakan orang yang melakukan perjalanan berpikir seperti seorang turis yang suka dengan hal-hal eksotis, lalu berfoto di belakang obyek menarik, kemudian dipajang di facebook biar banyak orang yang iri hati. Atau banyak orang yang melakukan perjalanan untuk menghabiskan uang di hotel-hotel berbintang, minum bir sampai teler, setelah itu berenang sampai bosan. Amat jarang orang yang melakukan perjalanan, namun berusaha menyelami filosofi berpikir warga setempat, menyelami kebudayaan yang berdenyut, lalu memperkaya khasanah pengalaman batinnya. Dan Elizabeth adalah satu dari sejumlah mahluk langka tersebut.

Keempat, sebuah catatan harian adalah harta karun yang sangat berharga. Membaca sebuah catatan harian serupa menelusuri labirin pengalaman seseorang yang berliku-liku, menemukan sisi-sisi lain seorang manusia. Mungkin kita menemukan kerapuhan, sikap yang nyaris putus asa, atau keluh kesah dalam menghadapi hidup. Bagi saya, semuanya adalah sisi-sisi manusiawi seseorang, sisi-sisi yang membuat seseorang tersadar bahwa dirinya adalah manusia biasa. Namun, kita juga bisa menemukan sisi-sisi yang mendewasakan, sisi-sisi yang menguatkan. Sisi yang membuat kita sadar bahwa manusia bisa rapuh, bisa patah menghadapi terjangan gelombang kehidupan. Namun manusia juga bisa menemukan keperkasaan, kekuatan yang menumbuhkan dirinya serupa beringin sehingga menjelma laksana karang kokoh kehidupan.

Itulah yang saya temukan dalam film yang diangkat dari catatan perjalanan Elizabeth Gilbert.(*)


Jakarta, 14 Oktober 2010

0 komentar:

Posting Komentar