SESEKALI mata gadis itu mengerling. Jemarinya gemulai ketika berperan sebagai Sinta dalam Sendratari Ramayana di Purawisata, Jalan Katamso, Yogyakarta, semalam. Tariannya penuh gerakan yang lembut, amat berbeda dengan tarian di kawasan timur Nusantara yang menghentak dengan irama yang berdentam. Mulanya gadis itu menari sendirian. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul sosok Rama dengan anak panah tersampir di punggungnya. Mereka sama-sama menari dalam satu alur kisah Ramayana. Sesekali sang Rama menyentuh pinggang Sinta. Busyet..!!! Saya cemburu.
Malam ini saya sedang menyaksikan sebuah pagelaran tari yang luar biasa. Dalam kunjungan ke kota ini selama beberapa hari, teman-teman dari Dinas Pariwisata, Seni, dan Kebudayaan (Disparsenibud) Yogyakarta mengajak saya untuk menyaksikan sebuah pagelaran kolosal yang digali dari khasanah Ramayana. Seumur-umur, inilah pertama kali saya menyaksikan sendratari Jawa klasik dengan tarian yang lembut, namun sarat makna. Terus terang, saya tak paham bahasa Jawa. Tapi entah mengapa, saya paham alur kisah yang hendak disampaikan dalam sendratari ini. Semua gerak tari itu adalah tuturan kisah Ramayana yang disajikan dengan nuansa Jawa yang kental.
Pertunjukan ini sarat dengan emosi yang membuncah dalam setiap adegan. Saya sempat sedih ketika Sinta diculik. Saya juga sedih ketika elang perkasa Jatayu babak belur dihajar raksasa Rahwana. Saya membayangkan pertarungan seru saat keduanya mengangkasa, di tengah mega-mega. Jatayu, sang garuda perkasa menerkam Rahwana dan hendak mencabik tubub raksasa itu. Tapi Rahwana langsung menghantam Jatayu dengan gada. Jatayu terjatuh dan terus-menerus digodam oleh Rahwana.
Saya juga tertikam lara saat membayangkan nasib Sinta di Alengka. Ia sendirian dan hanya ditemani seorang dayang-dayang yang setia membantunya. Bukankah kesedihan terbesar seoran pencinta adalah ketika berpisah dengan sosok yang dicintainya? Sanggupkah seorang burung menahan rindu saat dikurung dalam sangkar emas? Sebagaimana burung itu, Sinta merindukan kebebasan yang sebebas-bebasnya demi berlarian dengan riang dan bersatu dengan Rama.
Untunglah Hanoman hadir dan menerjang pasukan Rahwana. Hanoman, kera putih yang sakti mandraguna dalah pelipur lara yang membawa pesan Rama. Ia meniupkan bahagia, kemudian memporak-porandakan Alengka. Saya tercengang menyaksikan hanoman yang berjumpalitan dan membakar Alengka melalui tubuhnya yang menyala-nyala. Saya juga bahagia ketika akhirnya Sinta diselamatkan oleh Rama bersama ribuan pasukan kera di bawah pimpinan Sugriwa. Saya senang menyaksikan tarian para kera yang dinamis, energik, agak berbeda dengan Sinta yang lembut.
Di antara semua tarian yang mentas, saya paling senang menyaksikan Sinta. Maaf, saya bukan seorang Playboy yang keranjingan melihat gadis-gadis cantik. Entah kenapa, saya merasakan desiran aneh saat pemeran Sinta mengerling. Mungkin ini adalah bagian dari tarian, di mana seorang penari akan menampilkan seluruh pesonanya di atas panggung demi menjerat perhatian para penonton.
bersama para penari |
Mungkin pula ini adalah bagian dari filosofi sebuah tari sebagai arena ekspresi dari seseorang yang menjelmakan dirinya menjadi sosok tertentu. Jika perannya adalah Sinta, maka dirinya menjelma sebagai Sinta yang jelita. Mala mini saya sedang menyaksikan seorang penari yang tengah memancarkan semua pesonanya sebagai Sinta yang aduhai dan ditahbiskan sebagai wanita terayu di kolong jagad. Ia cukup berhasil. Setidaknya, saya jadi terpesona menyaksikan kejelitaan melalui kerling mata tersebut.
Usai pementasan itu, saya lalu menemui si gadis. Namanya Ningsih. Ia tinggal agak jauh dari Purawisata sehingga mesti mengayuh sepeda bersama ayahnya usai pementasan. Diskusinya asyik. Dalam waktu singkat, kami berbincang banyak hal, mulai dari makna Ramayana hingga diskusi dengan tema yang menyerempet pada hal-hal filosofis. Mengapa tarian Jawa demikian lembut? “Saya tak tahu banyak. Saya rasa untuk menjadi penari Jawa yaitu orang harus memiliki pengendalian emosi. Jadi lebih kepada memahami harus seperti apa menjadi orang Jawa itu. Misalnya, mengendalikan emosi agar tidak keluar langsung namun lebih dalam bentuk tersirat, tidak tersurat,” katanya
Saya teringat bacaan yang ditulis para antropolog tentang kebudayaan Jawa. Kalau tak salah, perangai seseorang yang besar dalam kultur Jawa identik dengan nilai-nilai kelembutan. Nilai itu nampak dari unsur simbolik yang tampak dari tarian sebagai ekspresi jiwa. Dalam memahami tarian Jawa, kita tak bisa memaknainya hanya dari apa yang tampak. Tarian itu adalah jejaring tanda yang mesti disingkap demi memahami pesan di dalamnya. Seorang penari senior pernah mengatakan bahwa tari Jawa itu lebih tersirat dari dalam kemudian terungkap ke luar lewat tubuh, lewat ekspresi jiwa. Dalam kebudayaan Jawa, rasa yang lebih dipentingkan. “Ketika saya hendak bicara A, maka tidak lantas diungkapkan begitu saja. Saya mesti mengantar dulu orang lain untuk masuk pada A yang hendak saya kemukakan,” kata Ningsih.
Saya termangu mendengar tuturannya. Ia tak hanya menari dengan gerakan yang aduhai. Pemikirannya juga cemerlang. Ia mengetahui makna tarian, juga memahami makna kebudayaan dengan baik. Saya makin semangat ngobrol dengan Ningsih.
Ia bercerita kalau dirinya belum lama menjadi penari. “Ibu saya dulunya penari di Purawisata ini. Saya belajar tentang tari dari ibu. Kata ibu, ia sudah menarikan Sinta sejak puluhan tahun lalu,” katanya lembut. Ah, masak sih? Jika ibunya menari di sini sejak puluhan tahun lalu, artinya tarian Ramayana di sini telah lama pula dipentaskan. Benarkah?
Saya tak sempat bertanya lebih jauh. Ayahnya yang juga anggota tim kesenian tersebut mengajaknya pulang. Kami berpisah. Ia hanya menitipkan nomor telepon dan meminta agar saya menghubunginya ketika ada waktu luang. Dengan senang hati, saya menyanggupinya.
Makna Sebuah Dedikasi
Keesokan harinya, saya bertanya pada mas Wawan, pegawai Dinas Pariwisata Yogyakarta. Ternyata, apa yang disampaikan sang penari benar adanya. Lakon Ramayana telah dipentaskan di Purawisata sejak 32 tahun lalu. “Mereka mementaskan tarian itu setiap malam. Tanpa satu haripun berhenti. Lamanya adalah 32 tahun,” kata Mas Wawan. Pertamakali lakon itu dipentaskan pada tahun 1976 dan hingga kini belum pernah berhenti, meskipun cuma sehari.
“Bahkan saat hujan sekalipun, mereka tetap mentas. Jika hujannya deras, mereka akan pindah di gedung besar di belakang panggung itu,” lanjut Wawan. Atas dedikasi tersebut, tak salah jika Museum Rekor Indonesia (MURI) telah memberikan penghargaan sebagai kelompok seni yang mementaskan Ramayana selama 32 tahun, tanpa pernah berhenti.
Kepastian untuk tampil setiap malam itu menjadi modal besar sehingga kelompok ini tetap hidup dan disaksikan para turis. Ketekunan untuk tampil, apa pun yang terjadi, membuat para penari dipercaya oleh sejumlah agen perjalanan. Kepercayaan itu terbentuk dalam kerja sama dengan 74 agen perjalanan yang secara rutin memasok penonton ke pentas mereka. Pertunjukan itu terpaket dalam Dinner Performance. Dari tiket seharga Rp 220.000 per turis, Sendratari Purawisata mendapat Rp 60.000, sisanya untuk agen perjalanan.
"Kelompok ini dijalankan berdasar filosofi ketekunan Jawa, saupa dawa, sakepel cunthel. Harta sedikit itu cukup, harta banyak itu malah habis dalam sesaat," kata pemimpin kelompok ini sebagaimana dikutip Kompas.
Membaca catatan tentang pementasan ini saya benar-benar kagum. Saya belajar banyak tentang makna dedikasi dan kecintaan pada profesi. Ternyata mereka menari bukan semata demi uang, sebab ada kecintaan serta dedikasi yang mengalir dalam setiap pembuluh darah mereka. Mereka menjadi pengawal seni tradisi di tengah gegap gempita seni modern yang menjadi idola baru bagi masyarakat urban. Mereka tetap bertahan di tengah kepungan globalisasi yang telah memunahkan sejumlah tradisi yang dianggap kian terbelakang. Merekalah para pahawan yang menjaga warisan tradisi masa silam demi menyerap intisasri dan butiran-butian makna yang agung tersebut agar dipraksiskan pada masa kini.
Saya langsung teringat pada Ningsih. Ia menjadi penari sebagai amanah dan tanggungjawab yang diwariskan orangtuanya. Ia mencintai profesinya dan bertekad untuk tetap menari hingga tubuhnya renta dan tak sanggup lagi berdiri.
Saat membayangkan gadis jelita itu, tiba-tiba saja HP-ku bordering. Ada suara gadis yang sepertinya kukenal. “Mas Yusran, ini Ningsih. Apa mas bisa hadir saat saya nari di keraton? Ningsih ingin ngomong sesuatu. Tapi malu. Mas bisa datang khan?,” bisiknya lembut.(*)
Yogyakarta, 19 Juni 2010
1 komentar:
waah...bisa ki jadi pemeran rama nya kak yus
Posting Komentar