Dewi Perssik Vs Mulan Jameela

Fenomena Gosip sebagai Bagian dari Budaya Kita

BETAPA beruntungnya jika menjadi Ahmad Dhani. Terlahir tampan, bertalenta, serta sukses secara financial membuatnya selalu diperebutkan gadis-gadis cantik. Selama beberapa hari ini, layar kaca infotainment banyak menampilkan sosok Ahmad Dhani yang diperebutkan dua penyanyi seksi yakni Mulan Jameela dan Dewi Perssik. Katanya sih, Mulan melabrak Dewi Perssik gara-gara adegan cium antara Perssik dengan Dhani yang ditayangkan stasiun televisi. Enak banget jadi Dhani!!

Menurut kabar yang saya kutip dari beberapa infotainment, Mulan Jameela telah lama dinikahi siri. Saking cintanya Dhani pada Mulan, sampai-sampai ia menceraikan istrinya Maia Ahmad. Mulan adalah kembang kesayangan yang menempati posisi penting di hati Dhani. Mulan lalu menjadi tambang emas bagi Republik Cinta Management (RCM), sebuah perusahaan milik Ahmad Dhani yang –selain Mulan—juga mengorbitkan sejumlah penyanyi seperti The Virgin, Mahadewi, dan The Rock.

Nah, layar kaca infotainment selama beberapa hari ini justru banyak menayangkan berita masuknya Dewi Perssik ke jajaran RCM. Tak tanggung-tanggung, Perssik langsung mendapatkan sebuah lagu khusus berjudul Diam-Diam ciptaan Dhani, yang awalnya lagu itu hendak dibawakan Mulan. Perssik menjadi idola baru bagi Dhani. Citra mantan istri Saiful Jamil dan Aldi Taher sebagai seorang penyanyi dangdut dan pemain film yang kerap beradegan panas justru dilihat Dhani sebagai peluang yang bagus untuk meraup rupiah.

Di luar itu,popularitas Mulan yang kian surut juga menjadi sebab berpalingnya Dhani kepada Perssik. Namun benarkan demikian? Belum tentu. Tayangan infotainment itu selalu mengangkat ekspresi Perssik yang begitu bernafsu saat bersama Dhani. Kalimat-kalimatnya selalu ‘mengundang.’ Seemntara Dhani sendiri tampak malu, namun nampak menikmati permainan kalimat Perssik. Simak satu kalimat Dewi Perssik, “Siapa sih yang gak suka sama Dhani. Orangnya ganteng, cerdas, idola cewek-cewek. Saya aja mau kok,” katanya dengan genit.

Lapis-lapis Makna

Maafkan karena saya tidak berniat untuk terus membahas gossip seputar Dewi Perssik versus mulan Jameela. Sungguh, saya bukan seorang penikmat infotainment. Namun tinggal di pulau kecil yang minim aktivitas seperti ini membuat saya tak punya pilihan selain berpaling pada televisi untuk membunuh waktu luang. Meskipun saya tidak suka dengan gossip maupun fakta --yang batasannya amat tipis di infotainment, namun karena setiap hari dijejali dengan tayangan itu dari banyak stasiun televisi, membuat saya perlahan-lahan mulai menikmatinya. Saya mulai mempertanyakan mengapa sampai demikian banyak infotainment di layar kaca.

Dalam pahaman saya, terdapat hubungan yang sifatnya saling mempengaruhi antara tayangan infotainment dan budaya masyarakat kita. Saya mencatat beberapa fenomena menarik yang merefleksikan masyarakat kita hari ini.

Pertama, tayangan infotainment telah membentuk selera kebudayaan masyarakat kita. Masyarakat kita jadi gandrung dengan hal-hal yang menyangkut desas-desus dan tingkah-polah para artis itu. Mereka mulai melakukan mimesis (peniruan) atas apa yang ada di layar kaca. Pantas saja jika di daerah, saya mulai banyak menemukan wacana yang dulunya amat asing, seperti perselingkuhan, atau hamil di luar nikah. Dulunya, hal itu adalah sesuatu yang tabu. Gara-gara tayangan televisi –termasuk sinetron dan infotainment—semua tindakan tersebut mulai dianggap sebagai hal yang wajar saja. Saya tidak sedang bercanda. Di lorong tempat tinggal saya di pulau ini, sudah banyak kasus hamil di luar nikah. Anehnya, masyarakat justru mulai melihatnya sebagai hal yang normal-normal saja. Ini bukan Jakarta lho. Beberapa tahun lalu, hal seperti itu adalah hal yang tabu dan mendatangkan aib bagi keluarga sebab masyarakat melihat kejadian tersebut berdasarkan norma dan nilai yang dianut bersama. Kini, norma itu mulai menipis akibat tayangan televisi.

Dalam hal Ahmad Dhani, masyarakat kita lalu menganggap perselingkuhan Dhani dengan Maia Ahmad adalah hal yang wajar-wajar saja. Tatkala Dhani kembali dekat dengan Dewi Perssik, kembali masyarakat melihatnya sebagai hal yang normal-normal saja. Jangan heran pula jika wacana perselingkuhan menjadi lagu yang kerap kita dengar di masyarakat kita. Mereka belajar dari tayangan televise yang kemudian membentuk diri mereka.

Kedua, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan tayangan televisi seperti infotainment. Saya sendiri justru bertanya-tanya, mengapa tayangan seperti gossip justru menjadi tayangan yang terpopuler. Logikanya, jika tayangan itu dianggap negative dan merusak sebagaimana kata para ulama atau akademisi, lantas mengapa sedemikian disukai oleh masyarakat? Saya menduga, masyarakat kita justru lebih menyenangi hal-hal yang menyangkut gossip atau desas-desus. Masyarakat kita senang dengan hal-hal yang menyangkut isu rumah tangga, apalagi jika yang diisukan adalah seorang pesohor atau selebritis. Artinya, di sekujur tubuh masyarakat kita terdapat budaya suka membahas privasi orang lain. Kitalah masyarakat penggosip, masyarakat yang suka menyoroti orang lain. Lebih suka membahas semua kelemahan orang atau menertawakan orang lain. Kita pengidap budaya gossip.


Apa boleh buat. Mungkin ini adalah kenyataan yang hendak kita tampik. Dalam konteks kebudayaan, kita selalu menolak semua yang negatif-negatif tentang masyarakat kita. Kita hanya mau menerima hal-hal yang nampak bagus atau indah. Kita lebih suka dengan hal-hal yang sifatnya kamuflase bahwa masyarakat negeri ini adalah masyarakat yang cerdas, menjunjung tinggi profesionalitas dan etos kerja. Kita tak siap dengan cermin refleksi yang menyadarkan kita bahwa ada sesuatu yang selama ini keliru pada diri kita sendiri. Maka marilah kita menerima kenyataan; kesukaan kita pada tayangan gossip serta infotainment adalah cerminan budaya kita yang suka dengan hal-hal berupa desas-desus. Kita senang dengan privasi orang lain, dan sering meniru-niru gaya para pesohor itu sehingga mengobrak-abrik tatanan nilai bersama.

Ketiga, gossip adalah sesuatu yang direkayasa oleh para pelaku industri hiburan demi mendongkrak popularitas. Ahmad Dhani adalah seorang pelaku industry hiburan yang jeli melihat pasar masyarakat kita. Mungkin saja, ia melihat gossip panas yang ditayangkan infotainment adalah promosi gratis atas semua karya-karyanya. Saya menduga, ia merancang sebuah gossip yang kemudian meminimilasir biaya promosi yang mestinya ia keluarkan untuk mempromosikan album baru Perssik. Dengan cara merancang gossip perselingkuhan atau konflik antara Mulan Jameela dengan Dewi Perssik, ia berhasil menanamkan kembali image Perssik sebagai salah seorang personel manajemen yang dikelolanya. Ia melakukan rebranding sekaligus promosi gratis yang efeknya bisa jauh lebih dahsyat ketimbang promosi jor-joran sebagaimana band atau penyanyi lain yang hendak menembus blantika musik negeri ini. Pada titik ini, gossip menjadi rekayasa kuasa modal demi meraup keuntungan besar bagi seorang pelaku bisnis.

Kita sudah terlalu sering berhadapan dengan konflik yang dibuat-buat seperti ini. Pernah, artis Kiki Fatmala terlibat konflik dengan Saiful Jamil. Kiki tersinggung gara-gara saiful menyentuh bagian tertentu tubuhnya saat suting sebuah film. Kebetulan pula, konflik itu berkecamuk saat film tersebut mulai tayang di bioskop-bioskop. Seiring waktu, konflik itu langsung mereda dengan sendirinya. Ternyata, ujung-ujungnya adalah promosi sebuah film. Jangkrik!

Refleksi atas Gosip

Tayangan televisi adalah cerminan dari peta sosial kita yang sesungguhnya dan luput dari amatan kita sehari-hari. Dengan cara mengamati tayangan tersebut secara intens, kita bisa memetakan budaya masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa waktu lalu, masyarakat beramai-ramai antri untuk menyaksikan film Ayat-Ayat Cinta. Jika diamati dengan seksama, masyarakat kita sedang gandrung dengan keberislaman ala Fahri, sosok dalam film itu. Masyarakat menginginkan sosok pemuda Islam yang tampan, kaya, berwajah bayi, tidak berjenggot, sering mengenakan pakaian keren, serta diidolakan gadis-gadis. Masyarakat menginginkan keberislaman yang trendy dan menganut budaya pop. Bukannya sosok berjenggot, tradisional, dan menebar terror bom.

Lantas, apa hikmah yang bisa dipetik dari gossip di stasiun televisi? Saya mencatat beberapa lapis hikmah yang bisa dibentangkan. Pertama, gossip bisa menjadi jendela untuk melihat peta dunia social kita. Dalam sebuah gossip terdapat tema-tema, isu, serta substansi menarik yang kesemuanya menunjukkan bagaimana sebuah kebudayaan sedang bekerja pada satu masyarakat. Sebuah gossip yang amat popular di negeri ini, belum tentu bisa popular bagi khalayak negeri lain. Boleh jadi, khalayak negerinlain akan terheran-heran dengan budaya bangsa kita yang suka membahas sesamanya. Tapi inilah cerminan peta social masyarakat kita yang tengah mencari bentuk.

Kedua, gossip akan tumbuh subur pada sebuah sistem yang tertutup. Ketika tak ada katup informasi yang jelas, maka gossip akan mencuat sebagai bentuk kanalisasi keingintahuan yang tak mungkin dibendung. Sudah banyak peneliti yang mebgemukakan ini. Di antaranya adalah James Scot yang menulis Weapon of the Weakness tentang bagaimana gossip bisa efektif untuk menggalang perlawanan para buruh harian di Malaysia. Dalam kasus Mulan vs Dewi, kita bisa mencium aroma banyaknya hal yang disembunyikan dari pantauan public. Ada kejadian atau motif yang saat ini masih tersembunyi dan tidak dikemukakan secara tegas sehingga memancing keingintahuan para pengelola media massa. Ini adalah cerminan dari masyarakat kita yang kurang tegas dan suka menutup rapat-rapat hal-hal tertentu. Ini juga menjadi cerminan dari kesukaan kita pada hal-hal yang menyangkut konspirasi dan teka-teki di balik itu.

Ketiga, gossip bisa pula menjadi strategi untuk memuluskan suatu rencana. Dalam politik, gossip bisa menjadi alat untuk menyerang lawan politik tertentu sehingga popularitasnya terjun bebas. Sementara dalam bidang industry, khususnya industry hiburan, gossip adalah alat yang canggih untuk mempopulerkan seorang penyanyi, kemudian menangguk pundi-pundi keuntungan.

Dan sebagai anggota masyarakat, kitalah yang dijejali kebodohan demi keuntungan sejumlah pihak. Duh…!!!


Pulau Buton, 3 Juni 2010
Pukul 00.00 Saat susah tidur


0 komentar:

Posting Komentar