Terimakasih Ariel Peterpan

SELAMA seminggu saya tidak pernah bersentuhan dengan internet. Juga tak pernah memposting tulisan blog. Dan betapa terkejutnya saya ketika mengetahui begitu tingginya respon warga dunia maya terhadap kasus video mirip Ariel Peterpan dan Luna Maya. Lebih terkejut lagi saat menyaksikan tayangan infotainment yang penuh dengan pembahasan kasus ini. Setiap hari ada banyak selebritis dan orang-orang yang berkomentar. Semuanya menyengat dan selalu membawa-bawa moralitas bangsa. Berita televisi juga menayangkan tentang razia ponsel yang dilakukan di beberapa sekolah di tanah air. Saya tersentak dan bertanya-tanya, sebenarnya ini menggambarkan apa?


Terus terang saya mulai muak dengan pemberitaan itu. Saya merasa sudah terlampau banyak kalimat yang bikin ngantuk, misalnya kalimat yang selalu membawa-bawa moralitas bangsa, namun di saat bersamaan mengabaikan fakta bahwa moralitas itu juga tercermin pada jutaan orang yang ramai-ramai mengunduh dan mengoleksi semua video tersebut. Saya mulai jenuh dengan pribadi-pribadi yang terbelah. Di satu sisi memaki-maki Ariel dan Luna, namun pada kesempatan lain, selalu saja mencari-cari di manakah gerangan video-video yang lain.

Saya mengenal seorang sahabat yang setiap hari berceramah tentang moral yang tercabik-cabik akibat video tersebut. Tapi, saya tahu persis bahwa sahabat itu mengoleksi video mirip Ariel. Saat bertemu sahabat-sahabat yang lain, ia lalu berbisik, “Sudah lihat video Ariel? Saya punya koleksinya lho…” Saya jadi geli melihatnya. Ngapain mengoleksi benda itu? Apakah hendak memberikan contoh tentang kebejatan?

Saya yakin, mereka yang seperti sahabat itu tidaklah satu orang. Saya yakin banyak yang bersorak melihat Ariel bagai pesakitan, selalu menyebut moral bangsa, namun saat bersamaan punya hasrat mengoleksi semua video itu, lalu menyaksikannya secara diam-diam dengan penuh nafsu. Malah, membayangkan video itu saat berada di kamar mandi. Inilah potret bangsa kita yang suka memaki, namun juga menikmati apa yang dimaki tersebut. Saya jadi terkenang ucapan wartawan Muhtar Lubis tentang kepribadian kita yang hipokrit, suka berbohong.

Sepatutnya kita berterimakasih pada sosok mirip Ariel Peterpan. Ia telah membuka topeng yang selama ini kita kenakan. Sosok itu telah mengekspos dengan gamblang wajah manusia Indonesia sesungguhnya, yang setiap saat memaki dengan membawa moral, namun di saat bersamaan menikmati tayangan tersebut. Selama ini kita selalu berbangga dengan retorika ketimuran, jargon bahwa kita bangsa yang santun dan berkepribadian. Kita pongah dengan diri kita yang agamis, menjadikan moral sebagai senyawa yang memberi napas bagi semua tindakan, memiliki kesantunan dan tabu membahas seksualitas. Namun jutaan anak bangsa justru menikmati video tersebut. Kitalah bangsa yang terbelah itu.

Sosok mirip Ariel itu telah menelanjangi kepalsuan yang selama ini menghinggapi rakyat Indonesia, mendefinisikan ulang bahwa sesuatu yang tabu justru makin menarik untuk dilanggar, serta menunjukkan wajah kita sendiri; wajah yang selama ini terbelah. Jutaan manusia Indonesia yang men-download video tersebut menjadi gambaran utuh tentang sosok kita yang sesungguhnya. Ribuan orang yang juga membuat video serupa adalah fakta-fakta yang tak bisa diabaikan begitu saja. Inilah potret bangsa kita. Bukan sekedar potret mereka yang sedang berdoa khusyuk di satu tempat, namun juga potret para penikmat video seks itu, juga potret mereka yang mencari teman tidur di hotel-hotel, maupun di pinggiran rel kereta api, mengumbar nafsu di dekat pemukiman tikus got.

Sepatutnya, kita berterimakasih pada sosok mirip Ariel tersebut. Ia juga telah mengajak kita untuk mendefinsikan ulang tentang batasan seksualitas. Selama ini kita beranggapan bahwa seksualitas itu adalah sesuatu yang tertutup dalam kelambu, sesuatu yang haram untuk dibicarakan. Sesuatu yang terlarang bagi siapapun, khususnya seorang anak untuk membahasnya. Bisa buat kita masuk neraka. Namun sosok mirip Ariel itu telah menjadikan seks sebagai ruang terbuka, bisa diakses siapa saja dan kapan saja. Seks bisa dinikmati semudah membeli kacang goreng di pinggir jalan. Seks menjadi kehilangan unsur ketabuannya. Kita menikmatinya dengan begitu enak, lalu mengabaikan semua petuah dan tabu yang dipaksakan sejak masih kecil serta disosialisasikan dalam retorika tentang kepribadian bangsa yang luhur. Lantas, apakah masih relevan sikap memaki sosok mirip Ariel?

Potret Bangsa yang Terbelah

Bagi saya, video itu telah membukakan lapis-lapis kenyataan sosial. Kita selayaknya berterimakasih pada sosok-sosok dalam video tersebut. Mereka telah menunjukkan sosok kita yang sebenarnya, tanpa topeng. Maka, berhentilah memaki sosok mirip Ariel. Marilah kita melihat video itu sebagai pelajaran berharga bagi kita semua. Marilah kita membuka lapis-lapis hikmah untuk sama-sama kita petik dan persembahkan kepada masyarakat kita sendiri. Bukan saja tentang watak bangsa kita, namun fakta-fakta yang menajwab pertanyaan mengapa masyarakat kita harus sedemikian gandrung dengan video itu. Saya sendiri mencatat beberapa argumentasi.

Pertama, seorang selebriti masih memiliki magnet yang amat besar bagi masyarakat. Seorang selebriti –dan juga politisi-- serupa ‘mahluk luar angkasa’ yang hidup dalam dunia seolah-olah dan mereka wajib menyandang moralitas serta menjadi teladan di masyarakat. Kita terkejut dengan fakta ketika seorang selebriti bisa berbuat salah. Kita penasaran menyaksikannya sehingga apapun berita yang menyangkut selebriti serupa dengan bola salju yang terus membesar.

Kedua, seorang selebiriti seolah hidup dalam dunia sendiri yang berbeda dengan kita. Setiap hari kita menyaksikan sang selebriti dengan segala dandanan cantiknya yang glamour di televisi. Kita seolah melihat mereka hidup dalam dunia yang serba menyenangkan; dianugerahi wajah cantik, tubuh seksi, dan uang berlimpah. Di saat bersamaan, kita juga melihat diri kita yang bagaikan bumi dan langit. Dikarenakan mereka seolah berasal dari planet lain, kita memaksakan mereka untuk menjadi penjaga gawang moralitas. Kita ingin para pesohor itu berperilaku sebagaimana sosok yang diperankan dalam sinetron atau lirik lagu. Padahal, mereka juga manusia biasa yang memosisikan akting dan syair sebagai lading untuk cari makan. Dan ketika mereka berbuat salah –yang sebenarnya justru menunjukkan sifat manusianya—kita bersorak kegirangan. Kita senang karena mereka pada akhirnya meninggalkan kotak kaca itu dan kembali pada kehidupan jelata sebagaimana kita sehari-hari.

Ketiga, tanpa sadar kita kerap iri dan cemburu dengan para selebriti itu. Kitapun menginginkan bisa menggenggam dunia sebagaimana para seleb itu. Dan ketika seorang selebriti berkasus sebagaimana video mirip Ariel ataupun Luna, tanpa sadar, kita seolah bersorak kegirangan. Kita seolah nggak rela melihat karier orang lain yang melejit bak meteor. Kita mengidap penyakit ‘kepiting’ dalam baskom. Kita selalu ingin menjepit siapapun di antara kita yang hendak keluar dari baskom.

Keempat, kasus video ini telah menyingkap watak bangsa kita yang sesungguhnya. Bukan waktunya untuk mengabaikan kenyataan ini. Bukan waktunya untuk mengabaikan kasus-kasus seperti ini dalam retorika budaya bangsa atau kepribadian bangsa. Namun menerima apa yang terjadi sebagai fakta sosial, kemudian sama-sama merumuskan apa langkah terbaik untuk menyelesaikan apa yang dianggap sebagai masalah. Mereka-mereka yang menyebarkan video porno ini adalah anak bangsa juga yang membutuhkan tangan-tangan kita untuk menyelamatkan mereka. Mereka butuh embun sejuk yang bisa menuntun mereka untuk melihat matahari pagi yang cerah. Bukan sekedar memaki dan menyalahkan mereka.

Capek ah. Nanti dilanjutkan lagi pada tulisan lain.


Pulau Buton, 11 Juni 2010
Saat baru bangun tidur


3 komentar:

dwia mengatakan...

ada di fb nda sama kompasiana??tag dwi ya

Adidaster mengatakan...

bener sob kata2 yg lu bikin itu gw setuju bnget, gw sngat mengagumi sesosok nazriel ilham
kalau sob pengen gabung di group peterpan nih link FB nya
http://www.facebook.com/groups/peterpanfansclub/

Tribun Kepton mengatakan...

Takjub dengan postingan dan pemikiran penulis.

Posting Komentar