Embun-Embun Spiritualitas

TIDAk banyak saya temukan buku-buku bernuansa spiritualitas yang enak dibaca dan bisa bikin termenung selama berhari-hari. Buku karya seorang biksu Ajahn Brahm yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya adalah pengecualian. Buku ini berkisah pengalaman sehari-hari sang biksu serta pelajaran berharga yang bisa dipetiknya. Saya membaca buku ini dengan amat asyik. Sesekali saya tertawa kala menyadari apa yang ditulis Brahm pernah pula saya alami. Namun sesekali saya berkerut dan terkagum-kagum karena Brahm sanggup memetik hikmah dari setiap pengalaman tersebut.

Saya mencatat beberapa kelebihan buku ini. Pertama, buku ini sangat jauh dari kesan menggurui. Hal yang saya benci dari buku spritualitas adalah sering penulisnya merasa dirinya lebih hebat sehingga kalimatnya seperti titah yang harus dipatuhi. Malah, sering kalimatnya penuh dengan ancaman, misalnya jika tidak melakukan ini, maka Anda akan masuk neraka. Saya menghindari buku yang penuh ancaman. Hidup ini sudah cukup ruwet, untuk apa mempersulitnya lagi? Hidup ini kadang menakutkan, ngapain makin membuat diri ketakutan gara-gara membaca buku?

Kedua, buku ini adalah catatan tentang pengalaman sehari-hari. Dan pengalaman itu bisa saja sama dengan pengalaman orang lain. Brahm berbicara tentang hal-hal yang pernah kita alami. Misalnya rasa takut, rasa sedih, kemalangan, kemarahan, permaafan, hingga tema-tema seperti kebahagiaan dan pencerahan. Ini adalah hal-hal yang sifatnya universal dan bisa melanda siapa saja. Ia menjadikan pengalamannya sebagai contoh dan tidak hendak memaksakan bahwa pengalamannya mesti dialami orang lain. Tidak. Justru ia hendak mencontohkan bagaimana sebuah perspektif lain memandang masalah tersebut, kemudian bagaimana pengalaman itu bisa diperas menjadi butiran hikmah yang bisa memperkaya sisi kemanusiaan kita.

Ketiga, tanpa sadar kita sedang belajar spiritualitas di balik setiap tindakan. Memang, buku ini ditulis seorang biksu. Tapi saya tidak menemukan satupun rujukan pada kitab suci Buddha atau rujukan pada pengalaman yang pernah dialami sang Buddha. Ini berbeda dengan spiritualitas agama lain, yang cara pengajarannya adalah melalui kisah-kisah yang pernah dialami pada masa silam, pada abad pertengahan. Saya sering heran, mengapa banyak agama yang mengajarkan kearifan melalui pengalaman nabi-nabi atau para rahib yang hidup pada masa silam.

Saya sering berpikir, bukankah zamannya berbeda? Memang, problem yang dihadapi manusia bisa sama di setiap zaman. Tapi kan dinamika dan kompleksitas masa kini justru lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Lantas, ngapain harus selalu mengacu ke masa yangamat jauh. Mengapa tidak belajar kearifan dari pengalaman sendiri kemudian menemukan mutiara kehidupan di situ. Mengapa kita tidak menjadikan diri kita sebagai pengais ilmu di timbunan pengalaman yang pernah kita jalani? Mengapa kita tidak menjadikan semua gerak kehidupan sebagai embun bagi jiwa kita?

Buku karya Ajahn Brahm ini telah mengajarkan spiritualitas, tanpa berpretensi menggurui. Saya sangat nikmat membacanya, senikmat menyantap sup ayam bagi jiwa.(*)


2 komentar:

darmawati alimuddin mengatakan...

pinjam bukunya kak yusss....boleh nda????

darmawati alimuddin mengatakan...

kak yuss..pinjam bukunya...boleh nda???

Posting Komentar