“Wow..!!! Kecil-kecil Udah Bisa Main”

SUARA gamelan dan instrument Jawa terdengar indah di telinga. Pada panggung kecil, di depan Museum Perjuangan di Yogyakarta, Sabtu (19/6), pada peresmian Friend of Museum bersama Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, saya menyaksikan sebuah orchestra music tradisional yang memukau. Mulanya saya mengira music itu dimainkan para musisi professional yang bertebaran di seantero kota Yogyakarta. Tapi, setelah mendekat ke panggung itu, saya tercengang. Ternyata, orchestra Jawa yang memukau itu dimainkan oleh rombongan anak kecil berusia sekitar tujuh tahun. Seorang kawan dari Makassar langsung nyelutuk, “Wow… luar biasa. Kecil-kecil udah bisa main.”


Tak satupun orang dewasa yang nimbrung dalam orchestra tersebut. Anak-anak itu memainkan music seperti gendang, kentrung, gong hingga alat music lain dengan keterampilan khas seorang maestro. Beberapa anak juga menjadi sinden dengan suara yang melengking dan membuat perasaan saya tersayat-sayat. Usai mendendangkan satu lagu, seorang anak tiba-tiba pipis di atas panggung. Ia lalu menangis memanggil orang tuanya yang membawa popok dan celana ganti. Di tengah pergelaran tersebut, sang anak lalu dipakaikan celana baru, kemudian lanjut bermain music. Semua penonton bersorak lalu bertepuk tangan memberikan semangat. Musik dilanjutkan.


Selama ini saya membayangkan bahwa music tradisional adalah instrument yang nyaris punah ditelan zaman. Saya selalu membayangkan bahwa kesenian tradisional kita kelak akan menjadi sesuatu yang hanya bisa disaksikan di museum saja. Di tengah gegap gempita music modern, music tradisional adalah nyanyi sunyi yang sepi peminat. Kita adalah bangsa yang secara perlahan menghamba pada music asing dan kehilangan identitas. Kita tak punya nasionalisme pada segala hal yang lahir dari bangsa kita, sebagai puncak-puncak perjalanan berpikir dan butir-butir kearifan dari ceceran sejarah peradaban bangsa kita. Dan anak-anak kita tumbuh sebagai generasi yang dipaksa untuk tumbuh cepat dewasa dan melupakan music yang luhur dari bangsanya sendiri.

Saya langsung teringat pada hysteria anak-anak saat menyaksikan tayangan Idola Cilik di RCTI. Saya amat kesal karena dalam acara tersebut, anak-anak bertingkah sebagai orang dewasa dan menyanyikan lagu-lagu band papan atas. Dalam usia yang amat muda mereka bernyanyi tentang cinta-cintaan atau kerinduan pada sosok kekasih. Ini acara yang sangat tidak mendidik sebab mengajarkan anak-anak untuk cepat dewasa. Namun, betapa susuahnya menemukan acara yang menarik di televise sehingga anak-anak kita seakan tidak punya pilihan. Mereka terpaksa menyaksikan acara yang jelek itu, dan tanpa sadar mereka telah direcoki dengan sesuatu yang tidak mendidik.

Seorang teman saya di Jakarta justru menjauhkan anaknya dari televisi. Ia hanya mengajak anaknya nonton film-film bertemakan ilmu pengetahuan yang dibelinya sendiri. Ia tak mau anaknya menjadi penonton televisi karena menyadari dampaknya yang berbahaya. Ia mendewasakan anaknya dengan nyanyian tradisional yang bertemakan kearifan dan petuah-petuah agar kelak menjadi manusia yang berjalan di atas titian yang lurus. “Saya ingin menumbuhkan anak saya dengan kearifan tradisional kita. Bahwa menjadi manusia yang hebat itu bukanlah manusia yang kaya dan cerdas sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah. Saya ingin anak saya kelak tumbuh dewasa dan mencintai semua manusia di sekitarnya. Solidaritasnya tumbuh dan tidak pernah melupakan asal-usulnya,” demikian kata teman saya tersebut.


Saya salut dengan teman tersebut. Tapi, berapa banyakkah manusia Indonesia yang mencintai khasanah tradisionalnya sebagaimana teman saya tersebut? Hampir setiap hari kita dijejali dengan hal-hal yang identik dengan kemajuan dan modernitas. Bung Karno pernah bilang bahwa salah satu musuh terbesar bangsa kita adalah virus kemajuan. Kita gagap memaknai apa yang disebut kemajuan dan dengan mudahnya mencap seseorang dengan kata-kata tradisional atau tertinggal. Kita sedang berhadapan dengan realitas akan punahnya hal-hal yang berbau tradisional.

Saat mendengar seseorang menyanyikan lagu Tombo Ati, dengan mudahnya kita menuduh tradisional. Namun pernahkah kita menyelam ke lautan makna lagu tersebut? Bukankah lagu itu adalah pesan-pesan masa silam bagi seseorang untuk menjadi manusia sempurna yang gemanya masih terasa kontekstual di masa kini? Lantas, mengapa kita harus malu dan ragu untuk menyerap kearifan dari bangsa kita sendiri?

Ini adalah sebuah kegelisahan. Setahun yang lalu, saya berkeliling di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk melihat sejauh mana pengetahuan anak-anak tentang hal-hal yang bernuansa tradisional. Hasilnya tidak terlalu mengejutkan. Anak-anak kecil di daerah jauh lebih mengenal lagu-lagu yang dimainkan Ariel Peterpan ketimbang music tradisional daerahnya sendiri. Anak-anak Sulsel tidak mengenal lagi karya sastra La Galigo yang dicatat para ilmuwan asing sebagai kanon sastra dunia atau karya sastra terpanjang di dunia. Karya sastra tersebut malah teronggok rapi di Leiden, Belanda, tanpa sempat diketahui oleh generasi baru pewaris kebudayaan tersebut di Sulsel.


Saya juga menemukan fakta yang menggiriskan tentang ancaman punahnya generasi pemusik tradisional. Para maestro music tradisional sudah berusia lanjut sehingga dikhawatirkan akan terjadi kondisi di mana music itu hanya menjadi kisah-kisah yang dituturkan sebagai pengantar tidur. Anak-anak kita akan dewasa dengan music band seperti peterpan dan J-Rock. Mereka akan mencaci hal-hal yang berbau tradisional dan melupakan sejarah bangsanya sendiri.

Tapi di Yogyakarta, saya melihat ada harapan yang berhembus kuat. Anak-anak yang sedang bermain music itu adalah angin segar bagi kekhawatiran akan masa depan bangsa kita. Bulan lalu saya ke Bali dan juga menyaksikan anak-anak kecil yang sedang belajar tarian tradisional. Anak-anak itu adalah pewaris tradisi sekaligus tamparan keras buat kita semua yang mulai melupakan tradisi. Mereka adalah generasi baru yang kelak merawat tradisi, menumbuhkan karakter bangsa kita, serta melestarikan khasanah kebudayaan yang merupakan jejak emas pencapaian bangsa kita.

Anak-anak itu seolah meletakkan imaji dalam ruang-ruang berpikir saya. Merekalah yang kelak akan menjaga napas dan denyut nadi bangsa ini. Tiba-tiba saja saya menemukan jawaban atas pertanyaan Bung Karno puluhan tahun silam, “Apakah kelak Indonesia masih akan berdiri sebagai bangsa yang api kepribadiannya berkobar-kobar??” Saya masih bisa menjawab lantang. “Masih Bung. Semangat itu tetap berkobar di sini. Pada jiwa anak-anak yang masih melestarikan kekayaan bangsa kita. Pada anak-anak di Yogyakarta.”


Yogyakarta, 19 Juni 2010


0 komentar:

Posting Komentar