(HARI ini, satu tulisanku naik di Harian Tribun Timur. Bagiku, tulisan ini tak terlalu menarik. Biasa-biasa saja. Namun, saya cukup senang karena bisa dimuat di koran tempat saya pernah bekerja selama lebih dari dua tahun. Inilah tulisanku itu)
DI ajang seperti pemilihan umum, masih bisakah kita bicara tentang rakyat? Hampir setiap hari pamflet-pamflet menyengat kita dengan pesan-pesan bernuansa kerakyatan. Baliho menggempur ruang kesadaran kita bahwa ada janji besar yang akan ditunaikan di situ. Kemudian janji-janji yang mengiang di televisi tentang kesejahteraan serta rakyat yang akan dibela sampai titik darah penghabisan. Barisan pesan kampanye itu seakan menghentak kita pada satu pertanyaan, apakah rakyat bisa dengan begitu mudahnya dibuai dengan pamflet? Apakah baliho itu bisa membuat semua orang percaya begitu saja?
Tulisan ini tidak hendak menegaskan posisi rakyat sebagaimana dibahas secara akademis dalam berbagai literatur politik dan ilmu sosial. Saya kira pembahasan tentang itu terlampau textbook thinking dan sudah banyak dibahas. Tulisan ini adalah refleksi saat menyaksikan beragam kepingan realitas tentang bagaimana rakyat memaknai momentum politik seperti pemilu, berdialog dengan calon penguasa, bernegosiasi secara kultural dengan calon anggota legislatif (caleg), serta memperlakukannya sebagai arena kontestasi dan dialog secara terus-menerus.
Dalam berbagai perhelatan politik negeri ini, rakyat selalu dihitung secara numerik berupa angka-angka yang dikalkulasi. Suara rakyat hanya direfleksikan dalam survei yang diam, tanpa berbicara tentang apa realitas yang sejati bersarang di benak rakyat. Kebanyakan horison pandangan kita lebih banyak mengarah pada struktur politik, kelembagaan, hingga drama di balik panggung kekuasaan. Padahal di balik panggung itu, terdapat jutaan orang yang nasibnya sedang dipertaruhkan. Politik kita memperlakukan rakyat sebagai obyek atau sasaran dari retorika politik sehingga rakyat setiap saat dihujani beragam pesan dan janji kampanye. Jutaan orang itu hanya dilihat sebagai jutaan suara yang harus dimenangkan, tanpa bertanya lebih jauh apa yang harus dilakukan untuk membebaskan jutaan orang itu dari ketidakberdayaan.
Betapa beratnya menjadi rakyat di negeri ini. Hampir setiap saat disuapi dengan janji yang sama hingga berkali-kali. Hampir setiap saat disambangi seorang kandidat penguasa untuk didengarkan aspirasinya, dan entah setelah itu aspirasi mengalir ke mana. Mulai dari tingkat RT, desa, kabupaten/kota, provinsi, hingga pemilihan umum (pemilu), selalu saja ada janji yang dihamparkan. Hampir di semua lini kekuasaan, terselip ribuan janji yang akan ditunaikan kepada rakyat. Laksana makanan yang terus-menerus dijejalkan, janji-janji itu mulai terasa menjemukan sebab senantiasa diulang di segala level kuasa. Parahnya adalah medium pesan untuk memaparkan janji-janji itu memiliki bahasa yang sama. Medium pesannya hanya dalam wujud baliho bergambar wajah seseorang, kemudian nama dengan huruf mencolok, kemudian janji yang ditebar. Sesekali kita menyaksikan seseorang yang menyapa dengan wajah dihiasi senyum lebar, meskipun kita sama tahu bahwa dalam kesehariannya, orang tersebut tidak banyak tersenyum.
Resistensi Kultural
Pertanyaannya, apakah selalu ada kepercayaan yang terhampar di situ? Ternyata tidak juga. Saya menemukan bahwa ada ekspresi kultural yang beragam dari rakyat terhadap janji-janji yang ditebar tersebut. Ekspresi itu terlihat dalam ujar-ujaran, komentar, bahasa tubuh (body language), serta gosip-gosip yang berkembang di masyarakat. Ekspresi itu adalah bentuk resistensi atau perlawanan pada sistem politik yang menempatkan posisi mereka sebagai obyek dalam sebuah sistem politik. Melalui resistensi, rakyat seakan meneriakkan posisinya sebagai subyek yang aktif yang punya kemampuan untuk memaknai ulang proses-proses sosial yang dijalaninya. Rakyat hendak mengkomunikasikan pandangan yang melihat pesta demokrasi ini sebagai bagian dari proses kultural di mana rakyat bisa melakukan negosiasi politik. Dimensi kultural ini menjadi software yang secara diam-diam, tanpa hiruk-pikuk, tapi pasti menentukan corak dan arah suatu bentuk sosial.
Resistensi di sini tak hanya muncul dalam aksi pembangkangan massal. Namun bisa juga nampak dalam sikap sinis sebagian masyarakat, ataupun sikap yang melihat pesta pemilu sebagai pesta besar dimana setiap orang bisa mendapatkan banyak duit dalam waktu singkat. Tampaknya rakyat kita sudah mulai kebal dengan semua janji politik. Ribuan baliho yang disebar hingga pelosok desa tersebut, tidak selalu menuai hasil berupa dukungan. Rakyat malah memberikan respon kultural terhadap pesan-pesan tersebut dengan beragam cara. Dalam banyak pengamatan, saya sering menemukan fakta bagaimana mereka memplesetkan pesan kampanye, berucap sinis pada pemilu, hingga bagaimana mereka mengerjai seorang caleg dan memerasnya.
Banyak yang berpikir bahwa politik adalah satu wilayah menjemukan yang harus disiasati, kalau perlu harus diakali. Dipasangnya baliho di satu pemukiman, tidak selalu bisa dikalkulasi dengan matematis bahwa ada sejumlah suara dukungan di situ. Tak ada sesuatu yang gratis di zaman ini. Baliho itu bisa ditafsirkan kalau rakyat setempat sedang menjalankan negosiasi dengan seorang caleg dan berpretensi seolah-olah akan memberikan dukungan.
Dalam satu kesempatan dialog dengan seorang calon anggota legislatif (caleg), ia sempat mengungkapkan tentang rakyat. Katanya, masyarakat saat ini sudah tiba pada titik di mana mereka mulai memeras para caleg. Masyarakat sekarang sudah mulai memeras caleg dan pandai mengajukan bahasa transaksi. Politik adalah arena untuk memaksimalkan keuntungan pragmatis. “Susah mengetahui dukungan masyarakat. Setiap caleg yang datang, maka pasti akan didukung. Saya sudah habis uang untuk memberi makan jenis caleg sembako macam itu,” kata caleg yang sudah menghabiskan biaya hingga Rp 3 miliar ini.
Saya rasa ini bukan soal politik uang. Ini adalah soal relasi antara politisi dan rakyat. Ketika politisi selalu menyebut rakyat sebagai obyek politik, maka momen jelang pemilihan adalah momen pembalikan hal tersebut. Di momen ini, rakyat bisa pula menjadikan politisi sebagai obyek atau sasaran yang diperas sedemikian rupa. Rakyat bisa memberikan perlakuan yang sama sekaligus memberi pelajaran ketika menerima uang dari seorang caleg, namun belakangan tidak bersedia memilih sang caleg. Momen jelang pemilu adalah momen di mana rakyat kembali menjelma menjadi subyek dan merdeka dalam memandang proses politik dengan cara berbeda.(*)
0 komentar:
Posting Komentar