Menafsir Jusuf Kalla, Presisi, dan Matematika Pemilu


(Hari ini saya senang. Tulisan yang kubuat hanya dalam tempo sejam, tiba-tiba langsung naik di Koran Seputar Indonesia (Sindo). Ketika dimuat, saya menerima banyak sms yang memberikan ucapan Selamat Berkarya. Barangkali inilah saatnya untuk kembali meramaikan media massa dengan tulisan-tulisanku. Silakan membaca)

AKHIR tahun 2003 lalu, saya sempat menghadiri diskusi informal di sebuah media. Dalam diskusi itu, Jusuf Kalla (JK) menjadi pembicara utama dan menjelaskan dengan detail prediksinya tentang hasil pemilu yang akan digelar setahun lagi. Saat itu, JK masih menjadi peserta konvensi Golkar untuk memilih calon presiden. Pemilu masih setahun lagi. Banyak pakar dan analis masih sibuk menebak-nebak apakah gerangan yang akan terjadi.

Sebagaimana lazimnya pertandingan, sebuah prediksi hanyalah penghampiran dan jelas bukanlah kemutlakan sebab politik Indonesia –sebagaimana pernah dicatat Geertz (1964)-- laksana pertandingan yang sukar dibaca hasil akhirnya. Namun, saya tetap mencatat semua nujuman JK tersebut. Ia menebak lima besar hasil pemilu serta peluangnya sendiri ketika berpasangan dengan seorang calon presiden. Dengan nada bergurau, ia menantang semua yang menghadiri diskusi itu dengan kalimat, “Lihat setahun lagi. Apakah tebakan ini tepat ataukah tidak.“

Usai pemilu di tahun 2004, saya tersentak sebab tebakan tersebut tak meleset sama sekali. Bahkan, usai pemilihan presiden, lagi-lagi langkahnya tepat dan sesuai dengan prediksinya sendiri setahun sebelumnya. Sebagaimana dikatakan banyak pengamat, JK adalah politisi yang unik sebab bisa mengkalkulasi sebuah peta politik yang berlangsung. Pengalamannya sebagai saudagar, telah menempanya dengan baik sehingga prediksi dan analisisnya punya presisi (ketepatan) yang tinggi ketimbang para pengamat politik yang kadang terlampau akademis dan mendewakan beragam survei. Kalkulasinya terukur dan langsung bisa menebak fenomena keakanan hanya dengan mengamati sekeping realitas kekinian.

Makanya, menafsir langkah JK laksana menafsir sebuah pertandingan yang dinamis dengan hasil yang sukar ditebak. Sebagaimana dicatat antropolog Christian Pelras, sosok JK adalah prasasti hidup dari dinamika manusia Bugis yang unik dan melanglangbuana ke beragam penjuru. Ia bukanlah tipe pemain politik yang diam, efisien, dan taat asas dalam dinamika politik. Ia lincah dan menerabas sana-sini, suatu kemampuan yang tak terlalu disenangi mereka yang mendambakan politik sebagai mesin yang berjalan rapi dan teratur dengan pola tertentu. Nah, berkaitan dengan perkembangan politik kekinian, bagaimana pula menafsir pernyataan JK yang tiba-tiba menyatakan siap menjadi presiden? Apakah pernyataan itu juga didasari kalkulasi dan perhitungan yang matang sebagaimana dinamika politik lima tahun lalu?

Pertanyaan ini menjadi hal yang menarik untuk dianalisis. Saya mencatat setidaknya tiga fenomena yang mencuat. Pertama, jika dilihat dari dimensi waktu, maka pernyataan itu sungguh mengejutkan dan terkesan tidak konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang menyebutkan bahwa Golkar akan menentukan capres usai pemilu legislatif mendatang. Ada kesan bahwa pernyataan itu sebagai reaksi spontan, tanpa menghitung dengan presisi bagaimana dampaknya bagi partai. Padahal, strategi politik sebelumnya yang mengusung capres usai pemilu jelas jauh lebih mumpuni sebab memungkinkan mesin politik Golkar bekerja dengan nuansa lokalitas yang dipraksiskan para kader yang ada di daerah. Fakta tersebar meratanya tokoh kharismatis di partai beringin ini bisa dikelola menjadi strategi “desa mengepung kota“ yang lebih bertumpu pada kader partai dengan elektabilitas kuat di tingkat lokal, ketimbang memaksakan seorang capres yang hanya powerful di daerah tertentu. Itu sudah dilakukan secara baik oleh Golkar dalam iklan politiknya yang menampilkan sejumlah tokoh. Strategi ini jauh lebih efektif sebab pengalaman di ajang pilkada telah membuktikan bahwa kekuatan figur masih lebih bertenaga ketimbang mengandalkan mesin politik kepartaian.

Kedua, pernyataan kesediaan menjadi presiden itu seolah mengabaikan matematika politik dalam bentuk survei yang sejauh ini bisa menjadi pegangan dalam menilai layak tidaknya seseorang untuk maju sebagai presiden. Sudah bukan rahasia lagi jika politik di negeri ini seolah menjadi arena untuk mempertegas identitas etnis. Demokrasi kita dijelmakan dalam model demokrasi numerik yang melihat segalanya dengan kalkulasi angka-angka. Dalam kalkulasi tersebut, variabel etnis menjadi sangat penting sehingga politik di Indonesia adalah arena yang menggemakan kembali identitas etnisitas semisal isu Jawa-luar Jawa. Pada titik inilah dukungan terhadap JK lemah dan peta dukungan masih dikuasai mereka yang berada di Jawa. Itu bisa dilihat dari beragam hasil survei.

Survei yang dibuat LSI pimpinan Denny JA di bulan September 2007, menempatkan SBY dan Megawati sebagai dua kandidat terkuat. JK hanya menempati urutan kelima dengan 12,1 persen di bawah Wiranto (20,2 %) dan Sultan HB X (15,1%). Demikian pula dengan survei LSI versi Saiful Mujani pada 22 Desember 2008, menetapkan SBY (43 persen) dan Megawati (19 persen) jauh di atas JK yang hanya dipilih 2 persen responden. Bahkan survei terbaru yang dibuat Indobarometer, malah menempatkan Sultan HB X sebagai yang terpopuler di Golkar, mengalahkan kandidat lain termasuk JK.

Ketiga, posisi JK saat ini jelas berbeda dengan posisinya pada tahun 2004. Jika di tahun 2004, JK tidak membawa bendera Golkar, sebab saat itu Golkar mendukung Wiranto, kemudian Megawati pada putaran kedua. Kini, JK tidak selincah sebelumnya sebab harus terus mengikuti arus dan dinamika wacana partai yang mengalir deras. Tingginya desakan serta bargaining ketika Golkar memenangkan pemilu bisa menjadi soal yang harus didamaikan JK dengan pengurus-pengurusnya.

Namun, kesediaan itu juga menggembirakan sejumlah kader Partai Golkar yang sejak awal menjadi ‘musuh dalam selimut’ yang mengintip saat tepat untuk masuk arena. Sudah bukan rahasia lagi jika partai beringin itu terpecah dalam beragam kubu dan masing-masing saling gerilya menunggu kesempatan. Dalam situasi yang sangat dilematis ini, JK ditantang untuk kembali menujum sejauh mana langkah-langkah kakinya menuju kursi RI 1. Apakah kali ia akan sukses menorehkan jejak sejarah baru sebagai presiden pertama dari luar Jawa? Ataukah ia punya skenario lain? Jawabannya akan terungkap dalam waktu yang tak lama lagi. Sebab politik kita adalah panggung drama yang penuh suspense, siasat, dan kejutan-kejutan yang susah ditafsir.(*)


Sebagaimana dimuat di koran Seputar Indonesia,
Sabtu, 28 Februari 2009



0 komentar:

Posting Komentar