Kisah Gajah dan Enam Orang Buta




DI suatu negeri yang jauh, enam orang buta tinggal bertetangga. Setiap hari mereka bercakap-cakap tentang banyak topik. Sering pula mereka berdebat tentang satu hal. Suatu hari, mereka berdebat tentang seperti apa bentuk gajah.

Rupanya, mereka belum pernah menyentuh hewan bernama gajah. Mereka hanya bisa mengira-ngira seperti apa bentuknya. Beruntung, raja di negeri itu mendengar perdebatan enam orang buta itu. Raja lalu berinisiatif untuk mendatangkan gajah ke hadapan enam orang buta itu.

Keenam orang buta itu dituntun untuk mendekati gajah. Mereka menyentuh gajah dari sisi berbeda. Ada yang memegang belalai, ada yang menyentuh badan. Ada yang meraba kaki. Ada juga yang memegang ekor. Ada pula yang memegang telinga gajah. Terakhir, ada yang memegang gadingnya.

Setelah semuanya menyentuh tubuh gajah, keenamnya dipanggil di hadapan raja. Raja meminta mereka untuk bercerita seperti apa bentuk gajah.

Orang buta pertama bercerita gajah itu seperti ular. Katanya tubuh gajah itu panjang, bisa meliuk-liuk ke kiri ke kanan. Orang buta kedua membantahnya. Katanya, gajah itu seperti tembok yang lebar. “Gajah itu seperti dinding rumah. Luas dan keras,” katanya.

Orang buta ketiga berpendapat lain. Dia menganggap gajah itu seperti pohon kokoh. Gajah itu seperti batang pohon yang kokoh. “Saya menghitung ada empat batang pohon,” katanya. 

Rekan keempat langsung membantah. Dia merasa gajah itu seperti tali panjang. Persis seperti tali kecil pengusir lalat. Orang buta kelima berpikir lain. Katanya, gajah itu seperti permadani lebar yang bisa bergerak. Terakhir, orang buta keenam memberikan pendapat. Gajah itu seperti tombak yang runcing dan tajam.

Setelah keenamnya berpendapat, mereka lalu sibuk berdebat. Semuanya merasa benar sebab telah menyentuh gajah. Tapi, apakah mereka salah? Tidak. Mereka benar. Sebab mereka bercerita tentang sebatas apa yang mereka ketahui. 

Informasi yang ada di kepala mereka sebatas pada apa yang mereka sentuh di tubuh gajah itu. Ketika hanya menyentuh badan gajah, maka akan mengira gajah itu seperti tembok. Ketika memegang kaki gajah, pasti mengira gajah seperti pohon. 

Demikian pula mengira gajah seperti permadani jika hanya memegang telinganya. Sedangkan yang menyentuh gading akan mengira gajah seperti tombak tajam. Yang memegang ekor akan mengira tali. Yang memegang belalai, akan berpendapat gajah seperti ular.

Kekeliruan orang buta itu adalah mengira kenyataan itu hanya sebatas apa yang diketahui. Padahal ada banyak informasi berbeda yang bisa ditelusuri dan dicari demi menyempurnakan apa yang diketahui. Mereka bisa mendatangi gajah dan menyentuh bagian berbeda demi mendapatkan gambaran utuh seperti apa gajah itu.

Beberapa situs menyebutkan kisah enam orang buta dan gajah ini berawal dari buku The Walled Garden of Truth yang ditulis Hakim Sanai, guru dari sufi Jalaluddin Rumi. Wikipedia mencatat, kisah ini dalam versi berbeda ditemukan pula dalam teks ajaran Hindu dan Budha. Di abad ke-19, penyair John Godfrey Saxe (1816-1887) menulis kisah ini dalam larik puisi. 

Kisah ini menjadi abadi sebab menunjukkan betapa terbatasnya pengetahuan manusia. Kita hanya mengenal satu keping puzzle realitas, tapi sering kali kita merasa angkuh sebab mengira itulah satu-satunya realitas. Kita merasa paling benar, kemudian sibuk menyalahkan orang lain. Padahal, pengetahuan kita terbatasi oleh informasi yang kita dapatkan.

Dalam tradisi ilmu sosial, ada pandangan bahwa apa yang kita sebut kenyataan adalah hasil dari konstruksi pengetahuan yang kita lakukan. Kita membangun gambaran tentang sesuatu dari kepingan informasi yang kita terima. Para pengkaji ilmu sosial juga percaya bahwa dunia sekitar kita punya banyak tafsir tentang kenyataan di sekitar. 

Jika Anda tinggal di Eropa, tafsir cantik adalah berkulit putih terang bak pualam, serta tubuh langsung, Tapi jika Anda tinggal di Afrika, yang disebut cantik adalah sosok berkulit gelap serta bertubuh gemuk. Seperti apa cantik? Tentunya akan tergantung seperti apa dan di mana kita mendefinisikannya.

Hari-hari belakangan ini, Indonesia sedang terbelah dalam kubu-kubu pendukung capres. Baru saja seorang teman meyakinkan di grup WA kalau calonnya sudah pasti akan menang. Dia menyebut banyak fakta-fakta yang sejatinya adalah konstruksi pengetahuan yang dia buat. Dia tidak melihat banyak fakta lain, yang bisa jadi berkebalikan dari apa yang dia yakini. 

Benar kata Budha, kita hanya ingin melihat apa yang kita anggap benar. Di luar itu kita anggap salah besar. Daripada ikut debat, mending kita nikmati saja debat kusir di media sosial. Teringat kisah orang buta itu, saya ingin berbisik supaya lihatlah dari sisi lain. Kenyataan akan lebih utuh dan lengkap.

Kata seorang teman, ada dua pihak yang susah diingatkan. Pertama, orang yang sedang jatuh cinta. Kedua, orang yang sudah punya pilihan di pilpres.

Anda berada di sisi mana?

0 komentar:

Posting Komentar