Ketika Mimpi Nyaris Tergapai


MINGGU terakhir ini saya belajar sabar. Sebuah impian yang sudah di depan mata, tiba-tiba gagal diraih. Mungkin saya termasuk tipe manusia yang tidak beruntung. Betapa tidak, ketika saya sudah lulus untuk satu program, tiba-tiba harus kandas di saat detik-detik akhir. Minggu ini saya dapat berita sedih. Keberangkatan ke Singapura dibatalkan setelah pihak National University of Singapore (NUS) mengetahui saya sudah mendapat predikat magister.

Sejak awal ikut program riset Asian Research Institute (ARI) ini, saya sudah punya firasat bahwa ini akan terjadi. Saya mendaftar program ini pada tanggal 15 Oktober 2008, semntara program ini resmi berjalan pada tanggal 4 mei 2009. Sejak awal mendaftar, saya agak setengah hati karena berpikir bahwa saya akan menyelesaikan studi di bulan Desember 2008. Sementara program ini adalah semacam beasiswa riset buat mereka yang sedang kuliah di program pascasarjana. Namun, seniorku di UI, Herry Yogaswara, meyakinkanku. Katanya, sewaktu ia mengikuti program ini tahun lalu, ada juga sejumlah orang yang sudah lulus kuliah. Mendengar penuturannya, saya merasa mantap ikut program ini.

Seingatku, banyak yang mendaftar program ini di UI. Seleksinya sederhana. Peserta cukup memasukkan abstrak riset dan nantinya akan dipilih oleh anggota dewan guru besar di NUS. Ternyata, setelah melewati seleksi yang ketat, ternyata risetku dianggap sebagai satu yang terbaik. Di luar dugaan, temanku mahasiswa S3 di UI, Muh Murtadho, juga lolos seleksi. Maka, peserta program ARI NUS asal Indonesia untuk tahun ini diwakili oleh dua mahasiswa UI yaitu saya dan Murtadho. Pengumumannya sendeiri kuterima melalui email pada tanggal 18 Desember 2008, sehari jelang saya ujian. Selanjutnya, mereka mengirimkan surat pernyataan diterima. Saat itulah, saya merasa dilematis, antara tetap melanjutkan ujianku, atau menahan diri dulu satu semester dan ikut program ARI lebih dahulu.

Setelah lama memikirkannya, saya memilih menyelesaikan kuliah. Pertimbanganku adalah: kuliah sangat penting bagiku. Andaikan saya tunda masa selesaiku, maka saya tidak terlalu yakin bisa lulus di tahun 2009, mengingat program ARI ini cukup lama yaitu Mei sampai Agustus. Pertimbangan memilih penyelesaian studi ini sudah pula kubahas dengan keluarga di kampung. Mereka memberikan dukungan.

Persiapan mengikuti program ini cukup panjang. Saya selalu menjalin kontak melalui email dengan pihak NUS yang dalam hal ini melalui seseorang bernama Selvi. Saya tak pernah bertatap muka dengan Selvi. Selama ini, saya hanya menjalin kontak melalui email. Ia menyuruhku segera urus paspor sebab saya wajib mengisi Training Education Program (TEP) yang disyaratkan Departemen Tenaga Kerja Singapura. Kemudian saya pulang kampung dan urus paspor. Setelah itu, saya ke kampus Unhas untuk men-translate ijazahku ke dalam bahasa Inggris. Prosesnya cukup panjang sebab jaraknya cukup jauh.

Ketika hendak mengirim semua berkas itu, pernyataan status akademikku masih berbahasa Indonesia. Status akademikku itu dibuat pada bulan November 2009, saat saya masih berstatus mahasiswa. Ketika Selvi menerimanya, ia memintaku agar mengirimkan pernyataan dalam bahasa Inggris. Katanya, jika dalam bahasa Indonesia, maka pihak Depnaker Singapura bisa menolaknya. Ia memintaku segera menghubungi pihak UI untuk minta surat pernyataan status akademikku.

Selain memintaku menghubungi UI, Selvi juga menyuruhku segera booking tiket dan menginformasikan jadwal keberangkatan. Katanya, ia akan mengganti biaya tiket pada tanggal 14 Maret nanti. Saya menikmati semua proses imel-imelan dengannya. Saya merasa sedang memperlancar kemampuan bahasa Inggrisku. Setelah menghubungi sejumlah maskapai penerbangan, akhirnya saya memilih maskapai Air Asia dengan pertimbangan bahwa maskapai ini paling murah. Lagian, temanku lebih suka naik Air Asia ketimbang naik maskapai asing seperti Singapore Airlines.

Setelah membeli tiket, masalah kemudian menghadang. Selvi memintaku agar segera mengirim status akademikku. Saat inilah saya bingung sebab status akademikku sudah lulus. Temanku Murtadho menyarankanku agar sedikit menyiasati keadaan dengan cara melobi kampus supaya membuat surat bahwa saya belum lulus. Namun, cara ini kuanggap berisiko. Andaikan pihak NUS tahu, maka pastilah mereka akan keberatan. Boleh jadi, saya akan dibebani biaya penggantian setelah berada di Singapura. Akhirnya saya kontak Mas Herry Yogaswara. Dia memintaku agar tetap saja memasukkan status akademik yang dikeluarkan UI. Kata Mas Herry, saya harus menjelaskan bahwa fellowship itu akan saya gunakan untuk memperdalam kembali risetku agar bisa diterbitkan menjadi buku. Saya setuju dengan saran Mas Herry. Saya berusaha untuk tetap jujur dan menjalani proses dengan jujur, tanpa tricky.

Kini, semua sudah terjawab. Ketika menerima surat dai kampus yang kukirim, Selvi kembali mempertegas. Setelah menjelaskan bahwa saya sudah lulus namun tetap membutuhkan beasiswa itu untuk memperdalam riset, Selvi akhirnya mengirimkan imel yang membuatku sedih. Ia menyatakan bahwa seiring dengan lulusnya saya dari UI, maka beasiswa itu resmi ditarik. Tentang tiket, ia memintaku agar membatalkannya atau mengatur ulang jadwal keberangkatan. Saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya bisa sedih karena saya hanya berusaha jujur. Temanku Murtadho ikut sedih dnegan nasibku. Katanya, “Sebenarnya ini bisa disiasati sejak awal. Tapi kamu memilih untuk tetap jujur. Semoga kejujuran itu ada hikmahnya di kemudian hari.“ Senada dengan itu, Herry juga ikut sedih. Ia memintaku untuk tetap optimis dan membuka peluang lainnya.

Saya hanya bisa mengurut dada. Mungkin ada hikmah dibalik semua kesialan yang hinggap di kepalaku saat ini. Mungkinkah ada pesan indah yang sedang dibentangkan Tuhan dan ke situlah arahku bergerak? Entah...



0 komentar:

Posting Komentar