Stres Ketika Berurusan dengan Polisi


HARI ini saya pergi urus Surat Izin Mengemudi (SIM) di Poltabes Makassar. Saya agak malas melakukan ini. Sebenarnya saya lebih memilih urus lewat calo, sebab saya yakin urus sendiri agak ribet dan bisa menimbulkan stres. Tapi, terlalu banyak orang yang mencampuri keputusanku. Terlalu banyak tekanan bertubi-tubi yang memaksa saya hingga terpaksa harus urus SIM sendiri, tanpa lewat calo. Saya enggan, namun saya tak berdaya. Maka, datanglah saya ke kantor Poltabes di Jalan Ahmad Yani, Makassar.

Saat tiba di kantor Poltabes, saya disapa seorang opsir polisi yang tambun dan berkumis. Ia tanya, apakah saya urus SIM sendiri ataukah diuruskan orang lain. Saya menjawab bahwa saya urus sendiri. Ia menawarkan diri untuk membantuku. Saya langsung menolaknya. Aneh, di dalam kantor polisi, banyak calo yang berseragam.

Kemudian, saya masuk ke dalam kantor polisi. Ternyata, sebelum mengurus SIM, saya harus punya surat keterangan berbadan sehat. Saya direkomendasikan untuk pergi ke Jalan Jampea. Saya berjalan kaki sejauh setengah kilometer dari Poltabes. Di situ, saya bayar Rp 35.000, kemudian antri untuk menjalani tes. Mataku dites apakah buta warna ataukah tidak. Saya juga disuruh membaca sejumlah angka-angka di kejauhan. Semua tes itu bisa saya lewati hingga akhirnya dapat surat pernyataan sehat dan siap menjalani test.

Kembali ke Poltabes, saya lalu menunggu sampai satu jam lebih. Di kantor ini, jam istirahat mulai pukul 12.00 hingga pukul 01.00. Saya hanya duduk-duduk saja di dalam kantor itu, sambil melihat-lihat banyaknya orang yang antri untuk keperluan yang sama denganku. Setelah para polisi kembali aktif, saya lalu mendaftar dan bayar Rp 75.000. Kemudian disuruh isi sejumlah blanko, kemudian siap-siap menjalani tes. Saya sempat merasa dipimpong ketika harus mencari-cari tempat untuk cap jempol kanan. Sejak awal, saya memang malas berurusan dengan polisi.

Setelah itu saya mulai menjalani tes tulis. Bersama puluhan pencari SIM lainnya, saya masuk dalam satu ruangan, dan mulai dibagikan lembar isian yang persis mirip lembaran tes UMPTN. Jumlah soalnya sebanyak 30 nomor, dan harus dijawab dengan cara mengisi bulatan-bulatan jawaban dengan pensil 2B. Di sekelilingku, banyak pengojek, serta orang-orang yang gelisah dan keringatan. Lembar soal belum dibagikan, namun mereka sudah stres kayak orang yang mau jalan menuju tiang gantungan. Saya sendiri tidak terlalu percaya diri, padahal saya seorang magister dengan IPK 3,76.

Ketika soal dibagikan, saya agak tersenyum ketika membacanya. Jenis soalnya gampang-gampang susah. Saya teringat soal-soal khas pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) seaktu saya di bangku SD. Misalnya, ada pertanyaan: ketika anda sedang mengendarai motor, apa yang anda lakukan ketika ada seseorang yang mendahului dengan cepat? Pilihan jawaban ada tiga yaitu (a) tetap berkendara dengan hati-hati, (b) merasa tertantang kemudian ikut balap mengejarnya, (c) merasa kejantanan terusik, kemudian mengebut motor, sambil memaki dan menantang. Biasanya, kalau saya disodori soal seperti ini, saya lebih suka menjawab (c) sebab jawaban ini lebih asyik dan menujukkan bahwa kita punya nyali. Namun saya ingat, kalau ini ibarat pelajaran PMP. Jawabannya adalah yang paling menyenangkan bagi pemerintah dan polisi. Jawabannya pastilah jawaban para banci yang setia dan hendak berbakti kepada negara. Seolah negara adalah ibu yang baik dan selalu mengayomi warga yang diperlakukan seperti anak-anaknya.

Ada banyak soal yang saya tidak mengerti. Masak, saya disuruh jawab tentang jenis-jenis SIM serta kenderaannya. Yang saya tahu hanya SIM A dan SIM C. Saya baru dengar ada yang namanya SIM B1 atau SIM B2. Tuntas menjawab 30 nomor, saya lalu setor jawaban dan menunggu. Saya melihat di kiri kanan banyak yang stres dengan soal yang dibagikan. Malah, saya melihat beberapa pemuda mengucurkan keringat kayak orang yang habis mandi. Kemudian saya dipanggil. Ternyata, saya bisa menjawab benar 20 soal dan ada 10 yang salah. Saya dinyatakan lulus, kemudian lembar mapku distempel tanda lulus. Kemudian saya menuju loket yang lain untuk tes berikutnya.

Saya melihat jam di dinding menunjukkan pukul 15.00. Polisi yang menerimaku menyuruh duduk kemudian mengambil berkasku. Ia lalu memintaku untuk datang lagi keesokan harinya. “Besok datang lagi jam 9 yaaa. Hari ini kita cukupkan sampai di sini,“ katanya. Sialan..... Sejak jam 9 pagi saya antri sampai jam 3 sore, urusan belum juga selesai. Saya tak bisa berkata apa-apa. Polisi itu punya senjata, sedangkan saya tidak punya. Akhirnya saya pulang dengan menggerutu.(*)



0 komentar:

Posting Komentar