Indonesia sebagai Negeri Calo

KEBERADAAN calo adalah cermin dari parahnya mekanisme birokrasi. Ketika birokrasi terlampau berbelit-belit dan menjadi benang kusut bagi rakyat, maka calo akan selalu hadir sebagai pahlawan yang bisa memperlicin semua urusan. Saya tak pernah menyalahkan para calo. Mereka justru penolong sebab punya solusi birokrasi untuk memudahkan urusan. Mereka adalah potret dari parahnya administrasi dan manajemen negeri ini yang memang amburadul.

Betapa anehnya negeri ini. Di mana-mana ada calo. Mulai dari calo urus SIM, KTP, kopian ijazah, surat pensiun, calo tiket kapal, kereta, bioskop, hingga calo surat tanah. Di mana-mana, jika ingin jadi PNS, maka bisa lewat calo. Bahkan anggota DPR RI juga merangkap sebagai calo proyek demi menebalkan kantung sendiri. Buktinya, banyak anggota DPR yang tertangkap karena menjadi calo. Tak hanya di DPR saja. Dalam dunia pemerintahan juga banyak calo. Banyak yang menjadi pembisik gubernur atau bupati. Istilah kerennya adalah ring 1. Padahal, mereka hanyalah sekumpulan orang yang dulunya bekerja bersama di ajang pemilu atau pilkada, kemudian menikmati kursi istimewa. Saya sempat bertemu teman yang kaya-raya gara-gara jadi calo jabatan. Duh... ini memang negeri calo.

Banyaknya calo menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan birokrasi negeri ini. Semestinya harus ada evaluasi di mana letak masalahnya. Mustahil seorang calo jalan sendiri. Pastilah ia menjalin kerjasama dengan sejumlah birokrat di dalam kantor itu sehingga urusan bisa cepat. Keuntungannya pasti dibagi bersama biar sama-sama senang. Saya sendiri agak bertanya-tanya. Bukankah para pegawai negeri itu digaji setiap bulan untuk melayani masyarakat? Lantas, kenapa pula harus melegalkan praktik percaloan?

Bagiku, calo adalah bentuk korupsi. Tapi saya tidak setuju juga kalau para calo dibekuk. Sebab mereka mempermudah semua urusan menjadi lebih sederhana. Kalau para calo dilarang, apakah ada solusi untuk mempermudah silang sengkarut birokrasi? ….


0 komentar:

Posting Komentar