Karebosi yang Banyak Berubah


LAPANGAN Karebosi sudah banyak berubah. Saya agak terkejut ketika melihatnya hari ini. Di lihat dari luar, lapangan itu tetap berumput hijau, namun sudah lebih tinggi tanahnya dan ada mal di bawahnya. Sedihnya karena lapangan itu kini dipagari dan tak ada yang boleh masuk. Ada pagar yang mengitarinya dan pintunya hanya dipasang di tiga tempat sebagai jalan masuk menuju mal bawah tanah di situ.

Saya sedih karena kehilangan romantisme khas lapangan ini. Dulunya, lapangan ini ramai dengan banyak orang. Ada pohon-pohon besar, kemudian banyak orang yang bergerombol mengelilingi penjual obat yang kadang beraksi dengan ular. Saya beberapa kali menyaksikan aksi penjual obat itu. Selain itu, banyak juga kerumunan orang bermain catur dan saling sapa. Dulunya, ada banyak manusia yang menjadikan lapangan ini sebagai tempat bertukar sapa dan bertukar kabar. Ada dinamika serta pertautan kehangatan banyak orang yang masing-masing merasa memiliki lapangan ini.

Saya kehilangan romantisme lapangan ini. Dulunya begitu ramai dan bisa menjadi kanal stres. Duduk di bawah pohon-pohon di lapangan karebosi memberikan kenikmatan dan sensasi tersendiri bagiku. Saya suka melihat dinamika manusia di situ. Seingatku, di ujung lapangan, dekat Jalan Ahmad Yani, dulunya ada warung konro. Ketika selesai makan, maka kita akan melemparkan tulang sapi ke arah kerumunan anjing yang segera menyambarnya sambil menggonggong. Saya juga ingat, di sore hari banyak orang-orang yang berolahraga. Ada yang main sepak bola, banyak juga orang-orang tua yang memilih jogging mengelilingi lapangan ini. Kemudian di malam hari, ada waria tukang becak serta waria yang juga mengais rezeki di malam hari. Ternyata, begitu banyak orang dan profesi yang mencari nasib di lapangan ini.

Kini, semuanya tinggal cerita. Di lapangan itu, saya melihat ada bangunan megah. Saya tak bisa lagi masuk ke dalam lapangan sebab ditutup pagar dengan rumput yang rapi seperti lapangan golf. Kapitalisme telah merampas semua ruang-ruang yang romantis itu dengan kejam. Karebosi hanya milik mereka yang gila belanja, sedangkan rakyat yang dulunya berbagi kehangatan, harus gigit jari. Mereka bukan pemilik Karebosi. Mereka hanya singgah. Pemilik Karebosi sesungguhnya adalah pemerintah dan kaum pemodal.

Saya ingat liputan Tempo yang menempatkan Walikota Makassar, Ilham Arief Siradjuddin sebagai walikota terbaik karena sukses membenahi Karebosi. Bagiku, kriterianya agak aneh. Sebab yang saya lihat bukan pembenahan, melainkan pengusiran pada mereka yang memahat nasibnya di lapangan ini. Yang dilakukan pemerintah adalah memberi gincu pada lapangan ini, kemudian dijual untuk disetubuhi oleh bisnis demi keuntungan semata. Cuhhh…(*)




0 komentar:

Posting Komentar