BEBERAPA tahun yang lalu, saya membaca tulisan ulama Iran, Murtadha Muthahhari, dalam buku Masyarakat dan Sejarah. Ia mengatakan: sejarah bukan sekedar kisah kegemilangan dan heroik dari seorang manusia. Sejarah juga menyimpan nestapa dan pilu bagi kemanusiaan. Sejarah adalah kuburan bagi mereka yang dibisukan, sekaligus panggung dari mereka yang memenangkan pertarungan, kemudian memiliki hak untuk mengontrol sejarah.
Pernyataan Muthahhari itu mengiang-ngiang di telingaku selama beberapa hari ini. Saya baru saja membaca edisi khusus Majalah Tempo tentang Sutan Sjahrir yang diberi judul Peran Besar Bung Kecil. Penerbitan edisi khusus tentang Sjahrir ini melengkapi edisi khusus tentang tokoh seperti Sukarno, Tan Malaka, Muh Hatta, hingga Aidit. Mereka adalah sosok yang telah memberikan hidupnya bagi bangsa, namun rakyat dan bangsa yang dibanggakannya itu tidak selalu mencatat nama mereka pada barisan penting mereka yang disebut pahlawan. Malah, beberapa dari mereka nyaris dilenyapkan secara tidak adil dalam buku-buku sejarah kita.
Dalam Tempo edisi khusus ini, Sjahrir dibedah dari beragam sudut pandang. Panggilan hidupnya sebagai patriot yang ikut membidani lahirnya Indonesia, dibahas tuntas, termasuk semua kisah cintanya. Tetapi, Tempo edisi khusus ini juga membedah bagaimana kisah romantis Sjahrir dengan semua kekasihnya. Saya melihat sisi manusia dari bung satu ini. Patriotisme pada bangsa, serta cinta kasih adalah gelora yang menyatu dan memberi warna-warni perjalanan hidup tokoh asal Sumatra ini.
Sjahrir ibarat Odysseus yang berlayar tetapi tak pernah mencapai tujuan. Kisah Sjahrir bisa pula dibaca sebagai kisah penaklukan yang kemudian berakhir tragis. Ia adalah seorang cerdik cendekia yang berhasil menggiring bangsa pada gerbang kemerdekaan. Ia berhasil memerdekakan sebuah bangsa yang tengah beringsut untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme. Lewat jargon revolusi, ia menggelorakan semangat massa dan rasa cinta yang dalam pada negeri hingga siap menjadi martir demi revolusi. Sayang, seperti halnya kisah Yunani kuno, Sjahrir kemudian ditikam oleh negeri yang begitu dicintainya. Ternyata, revolusi –sebagaimana sering didengungkannya—harus memangsa anak-anaknya sendiri.
Ketika Sukarno sukses mempertahankan kekuasaan hingga 20 tahun, maka Sjahrir hanya menjadi perdana menteri dalam waktu singkat yaitu sekitar beberapa tahun. Selanjutnya, hidupnya laksana pesakitan. Konflik dengan Sukarno telah menenggelamkan namanya, hingga tewas secara mengenaskan dalam satu pelarian di Zurich. Sjahrir adalah pejuang yang tak sempat memetik buah dari apa yang ditanamnya. Ia hanya sempat mewariskan politik luar negeri serta strategi menjadi diplomat yang ulung kepada penerusnya.
Pertanyaannya adalah mengapa pemimpin dan sejarah kita harus menenggelamkan begitu banyak orang yang berjasa kepada negeri ini? Bukankah kisah Sjahrir tak beda jauh dengan Sukarno yang ditikam Suharto, kisah Tan Malaka yang dihempas dalam sejarah, Hatta yang sempat dituduh mengkudeta Suharto, hingga Aidit yang dicap pengkhianat? Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan bangsa ini sehingga kita tak pernah utuh dalam melihat seorang tokoh. Kita hanya melihat satu episode kelam, yang boleh jadi itu adalah fitnahan dari sejumlah politisi bego yang kerjanya cuma menghambur-hambuirkan uang negara. Pantas saja jika kita masih saja berputar-putar dalam sikap yang bebal dalam memandang zaman.(*)
0 komentar:
Posting Komentar