APAKAH makna kemerdekaan? Apakah makna kebebasan? Setiap tahun hari kemerdekaan terus hadir. Kalender dan penanggalan disobek, namun makna hari itu seakan mengabur dan menjelma jadi ritual yang kehilangan ruh. Menjelma jadi baris-berbaris yang kaku hingga lomba panjat pinang yang riuh. Tanpa ada setitik refleksi dan upaya mencari tahu, apakah makna kebebasan.
Nun jauh di tahun 1926, pikiran Soekarno juga berpusar mencari jawab atas pertanyaan itu. Dalam usia 26 tahun, sebagai pemuda yang baru lulus Sekolah Tinggi Teknik Bandung, imajinasi Soekarno melanglang buana untuk menemukan apa makna kemerdekaan bagi negerinya yang tengah di bawah bayang-bayang kolonialisme. Ini tahun 1926, sebuah masa di mana Indonesia masih menjadi sebuah visi, sebuah cita-cita, yang tumbuh dalam batin dan dibisikkan dalam berbagai konferensi pemuda. Indonesia belum menjadi satuan politik dengan lanskap teritori yang membentang nun jauh dari Sabang hingga Merauke.
Indonesia masih menjadi sebuah konsep yang diimajinasikan sebagai buhul atau tali pemersatu yang menautkan berbagai keragaman etnik serta budaya. Indonesia adalah semangat yang tercecer dari jejak perlawanan yang dituturkan dalam pekik heroik para pahlawan dan cendekia, mulai dari Tjut Nya Dien hingga Sultan Hasanuddin. Indonesia adalah sesobek kisah tentang perlawanan yang laksana air bah mengalir deras, menaruhkan nyawa, mengamuk hingga modar sebagaimana kisah puputan di Bali.
Soekarno mendesah. Ratusan tahun, perlawanan itu tak pernah benar-benar bisa menjebol benteng kolonialisme yang begitu kukuh. Pekik perlawanan hanya bersahutan di ruang yang terpisah, tanpa ada satu kebulatan semangat dan gerak bersama untuk sama-sama lepas dari belenggu penjajahan. Jejak perlawanan itu menggariskan satu hal penting: persatuan adalah elemen utama bagi upaya untuk melepaskan bangsa dari belenggu kolonialisme. Seperti halnya Marx yang memulai manifestonya dengan kalimat hantu komunisme yang sedang menggerayangi Eropa, Soekarno memulai tulisan dan propagandanya dengan menciptakan hantu kemerdekaan dan hantu persatuan. Kemerdekaan adalah antitesis dari kolonialisme. Rasa kebangsaan (nasionalisme) lahir dari sebentuk ketidakberdayaan kultural ketika ada kekuatan besar yang menghegemonik dan mengekspansi seluruh ranah kultural lainnya sehingga menumbuhkan sebentuk perlawanan. Perlawanan yang terbersit melalui sikap untuk menafikan segala anasir (unsur) perbedaan kultural dan membulatkan tekad pada visi atau gagasan untuk melepaskan diri dari berbagai belenggu narasi besar.
Kegelisahan yang menghinggapi founding father Indonesia ini menjadi pintu masuk atau jendela untuk menjelaskan asal muasal gemuruhnya nasionalisme Indonesia menuju gerbang kemerdekaan. Kemerdekaan bermula dari pijar titik nasionalisme. Nasionalisme sendiri berawal dari konsep yang di dalamnya meniscayakan dialektika kultural antara sentimen primordial serta visi baru tentang bangsa. Ada tarik-menarik antara elemen primordialitas dan nasionalisme secara terus-menerus sehingga sintesa yang lahir adalah sebentuk konsensus atas bangsa yang dibayangkan. Elemen primordialitas itu adalah suku bangsa, sebagai satuan terkecil dari kebudayaan yang tumbuh dan berdenyut dalam keseharian manusia. Sedangkan nasionalisme lahir dari proses membayang-bayangkan sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama sehingga lahir kesepakatan bersama (Anderson: 2000).
Di lihat dari cara pandang seperti ini, nasionalisme seakan-akan bertentangan dengan kebudayaan. Antropolog Clifford Geertz pernah menulis panjang lebar tentang primordial sentiments dan national integration. Secara sederhana, apa yang disebut sentimen primordial adalah perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan kebudayaan, khususnya faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan, seperti hubungan darah, kesamaan daerah, kesamaan asal-usul, bahasa ibu, atau warna kulit. Kebudayaan memberikan segala yang ascribed, yaitu apa saja yang menjadi atribut seseorang atau posisi seseorang, tanpa pilihan aktif atau sadar dari yang bersangkutan.
Sedangkan nasionalisme dan integrasi nasional adalah pemikiran, perasaan, dan perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan, yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh dan harus dikelompokkan ke dalam apa yang dalam jargon sosiologi Parsonian dinamakan achievement (sebagai lawan dari ascription). Dalam arti tersebut, keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam integrasi nasional dianggap mengharuskan adanya pengorbanan terhadap hal-hal yang sifatnya primordial. Inilah yang kemudian melahirkan sebentuk chaos kultural sebagai pertanda bagi fajar nasionalisme baru Indonesia.
Pengabaian Daerah
Dikarenakan sikap untuk sedikit mengabaikan elemen primordialitas, menyebabkan nasionalisme selalu tak lepas dari dialektika kultural. Puluhan tahun Indonesia merdeka, daerah-daerah seperti Aceh, Makassar, ataupun Papua harus ikhlas untuk meredam sedikit aspek ke-Aceh-an, ke-Makassar-an, atau ke-Papua-annya demi menggabungkan diri dalam barisan besar bernama Indonesia. Kepentingan primordial harus diredam demi mencapai sebuah kemenangan besar. Dalam, hal perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, persoalan ini belumlah menjadi hal yang sangat mengganggu, malah menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Namun, ketika sang kolonialis itu telah hengkang, maka nasionalisme haruslah diterjemahkan menjadi ruh yang melandasi pembentukan negara yang bisa menyantuni pluralitas dan kemajemukan. Pada titik inilah chaos kerap kali terjadi.
Transformasi Indonesia dari konsep kultural (untuk menyebut gugusan beribu pulau) menjadi negara sebagai konsep politik, mengalami problematika yang cukup pelik untuk dituntaskan. Menjadi Indonesia bisa dimaknai daerah-daerah sebagai upaya menjadikan Jakarta sebagai sentrum dari pengelolaan berbagai aktivitas. Berbagai bangsa di daerah harus rela untuk menjadi titik terjauh. Di saat kolonialisme telah berakhir, pemerintahan Soekarno berusaha meretas sebentuk nasionalisme baru yaitu resistensi pada segala yang berbau asing sekaligus meng-create kategori nasional yang mencakup kebudayaan dan kepribadian. Ini kerap mendatangkan tanda-tanya besar. Istilah kebudayaan nasional hanyalah menjadi retorika belaka, tanpa diringi sebuah konsep yang memadai tentang apa yang dimaksud kebudayaan nasional tersebut. Ia melarang segala jenis musik rock and roll serta jazz, karena dinilai berasal dari luar serta tidak sesuai budaya bangsa. Pada saat bersamaan, ia melahap seluruh literatur asing, mulai dari Marx hingga Lenin. Soeharto melarang segala anasir kultural lainnya, tetapi di saat bersamaan justru mengagungkan Jawa sebagai kiblat kebudayaan nasional serta menjadikan HAM sebagai lelucon atas pembantaian etnis di mana-mana. Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Yudhoyono justru sibuk berurusan dengan konflik etnis di daerah serta konflik yang tumbuh subur dengan berbagai kekuatan politik di parlemen, tanpa visi yang jelas untuk menghadirkan sukma Indonesia di era kemerdekaan.
Persoalan besar yang akan dihadapi negeri ini adalah eskalasi konflik yang seakan tidak berkesudahan. Gagalnya transformasi nasionalisme sebagai spirit perjuangan ke dalam sukma ke-Indonesia-an, menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka dengan watak yang kolonial. Penguasa silih berganti, tetapi watak tetap saja kolonial, suka menindas, dan korup. Nasionalisme tidak dipraksiskan sebagai landasan untuk mengelola sistem politik yang akomodatif pada realitas kemajemukan di Indonesia hingga hari ini. Yang terjadi adalah proses melegitimasi sebuah kebudayaan nasional sebagaimana tafsiran penguasa. Hingga akhirnya masa Orde Baru dan Orde Reformasi, masyarakat Indonesia tetap harus belajar keras bagaimana mempraksiskan nasionalisme dan kemerdekaan. Sekian tahun lepas dari kolonialisme, bangsa ini hanya belajar keras bagaimana menjadi merdeka.(*)
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
Arsip Blog
-
▼
2008
(159)
-
▼
Desember
(33)
- Tahun Baru yang Tanpa Greget
- Logat Jakarta Atau Logat Makassar?
- Lelah dan Capek
- Rekor Tulisan
- Akan Segera Pulang
- Ada Internet di Kamarku
- Natal di Langit, Natal di Bumi
- Kata Pengantar Tesisku
- Menulis adalah Terapi
- Ya Allah... Ajari Saya
- Hadapi Saja
- Grogi, Takut, Gagu
- Involusi Mahasiswa Sulsel
- Petuah Bijak Master Oogway
- Pelacur
- Gentar
- Maafkan
- Maafkan
- Puluhan Tahun Belajar Merdeka
- Antropologi adalah Percik Kearifan
- SELAMAT JALAN PAK BULAENG
- Jurnalis Top, Jurnalis Plagiat
- Lagi Baca New Moon
- Kesal.....
- Zaman Kian Berat
- Jalan Spiritual, Jalan Kemanusiaan
- Twilight, Film Terbaik Tahun ini
- Beli Banyak Novel Baru
- Nonton Twilight
- Belajar Mengenali Lokalitas
- Menulis, Meditasi, dan Kejernihan
- Betapa Anehnya Profesi Pengamat
- Bagai Pesakitan Menghitung Hari
-
▼
Desember
(33)
0 komentar:
Posting Komentar