Logat Jakarta Atau Logat Makassar?

MALAM ini saya akan melewatkan tahun baru di Bukafe, Jalan Duren Tiga. Saya ingin reuni dengan teman-teman aktivis mahasiswa Unhas periode akhir tahun 1990-an. Kami menamakan diri kami Generasi Ampuh. Ampuh adalah singkatan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Unhas. Dulunya, nama itu digunakan uhtuk menamai kelompok kami yang suka berdemonstrasi di rektorat Unhas.

Ampuh membawa spirit perlawanan. Ada semangat yang bersemi di benak kami tatkala mendengar kata Ampuh. Kini, nama itu tetap kami patrikan sebagai nama kelompok, agar tetap mengingatkan pada semangat perlawanan kala mahasiwa. Kami seperti generasi baby boomer yang suka nostalgia dan mengenang kisah heroik masa lalu. Mungkin ini tanda bahwa kami mulai uzur. Meski sekarang banyak teman yang sudah mapan, setidaknya nama Ampuh bisa menjadi mesin waktu nostalgia yang mendekatkan solidaritas di antara kami. Meski terpencar jauh di sudut kota ini, bukanlah penghalang untuk ketawa bersama ketika mengingat masa lalu. Kebersamaan memang mahal.

Selama di Jakarta ini, saya selalu senang bertemu teman-teman Makassar. Entah kenapa, saya selalu menyempatkan waktu untuk bertemu dalam sebulan sampai beberapa kali. Temanku Adi lebih suka lagi. Ia tak tahan kos sendirian dan lebih suka kos bersama teman-teman Makassar. Alasannya sederhana. “Saya stres kalau tinggal jauh dari anak Makassar. Bergaul sama anak Jakarta sini, capekka logat. Talipat-lipatmi lidahku hanya untuk bilang lo gue,“ katanya.

Alasan berkumpul bisa beragam. Temanku Adi hanya karena persoalan sepele yaitu dia capek bicara logat Jakarta. Susahnya karena orang Jakarta sering mentertawakan kita saat bicara dengan logat Makassar. Itulah susahnya bagi temanku seperti Adi. Berpuluh-puluh tahun tinggal di Makassar, membuatnya susah menyesuaikan cara berbicara. Ketika harus logat Jakarta, lidahnya seakan terlipat-lipat. Makanya, dia lebih suka tinggal sama orang Makassar sebab tak harus logat tiap hari. Bahkan untuk urusan mencari jodoh, si Adi hendak pula mencari orang Makassar. “Saya mau cari cewek yang kalau saya bicara, bisa langsung saja. Tidak usah sesuai logat sini. Makanya, saya mau cari cewek Makassar,” katanya. Dalam satu pertemuan, saya pernah bilang, “Tak usahlah sesuaikan logat. Buktinya Jusuf Kalla tetap dengan logat Bugis.“ Si Adi langsung menjawab, “Beda saya dengan Jusuf Kalla. Dia sudah kaya, makanya terserah dia, dan semua orang ingin ikut. Sementara saya kasian masih kuliah di UI. Nanti kalau kaya baru kembali ke asal.“ Yah, masing-masing orang memang punya dinamika sendiri.(*)

Depok, 31 Desember 2008



0 komentar:

Posting Komentar