Jurnalis Top, Jurnalis Plagiat

SAYA menorehkan tulisan ini dengan rasa emosi yang tertahan. Seorang pemimpin redaksi (pemred) sebuah harian yang terbesar di Sulawesi Selatan (Sulsel) melakukan suatu tindakan yang sungguh memalukan. Dia dituduh melakukan plagiat terhadap tulisan seorang kawanku dalam satu media online. Saya tak percaya, namun kawanku menunjukkan bukti. Ternyata, sang plagiator itu sudah minta maaf. Bagiku itu tidak cukup.

Pada saat saya membaca postingan temanku yang protes karena tulisannya dijiplak, saya merasa sedih sekaligus kecewa. Bagiku, petinggi para jurnalis harus jujur seperti malaikat sebab ia menjadi penjaga nurani sebuah penerbitan. Para pemred harus jadi wakil Tuhan sebab ia akan memberi judge atau penilaian pada berbagai lapis kenyataan sosial, menyibak kabut yang menyelubungi realitas, dan menjadi matahari yang menerangi pikiran publik. Dalam jurnalistik, nurani adalah mercu suar. Seorang jurnalis bisa saja salah dalam gerak menuju pulau kebenaran. Namun, nurani menjadi sesuatu yang memandu gerak untuk tetap fokus di jalur kebenaran sekaligus menyadari banyaknya kerikil yang merintangi proses perjalanan itu. Ia harus jujur dalam proses membentangkan kebenaran agar diketahui publik.

Tanpa nurani, sebuah institusi penerbitan akan kehilangan ruhnya. Berita yang disajikan media akan menjelma menjadi lalu lintas yang tak jelas ujung pangkalnya. Sebagai pembaca, kita sama dibuat bingung dan diajari praktek ketololan di depan mata. Sebagai penyaksi, kita seakan dibodohi sehingga sesaat kita merasa tercerahkan, namun ternyata, kita diperlakukan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Barangkali saya agak berlebihan. Bagiku, jurnalistik adalah proses untuk menyelami sisi terdalam dari sebuah realitas sosial, mengupas-ngupasnya sehingga jelas mana realitas dan bukan realitas, kemudian memberikan sentuhan nurani sehingga mencerahkan publik. Ketika seorang jurnalis senior melakukan plagiat, maka itu sama dengan mencederai proses menggapai kebenaran. Itu adalah sebuah pengkhianatan!!!

Saya agak sedih karena sang pemred itu adalah seorang jurnalis senior, sesepuh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulsel yang sering mengisi materi dalam berbagai seminar jurnalistik. Saya mengenal sang pemred tersebut karena seringnya melihat dia jadi pemateri. Saya masih terngiang dengan kalimatnya saat membawakan materi tentang Nine Element of Journalism dari Bill Kovach. Katanya, semua jurnalis bekerja dengan standar yang ketat, obyektif, dan punya nurani. Melalui nurani, seorang jurnalis bisa mendekati kebenaran dan berusaha keras agar meniti di jalur kebenaran tersebut. Pertanyaannya, apakah plagiat merupakan nurani? Inikah yang namanya kebenaran?

Semua orang pasti paham apa hukuman buat seorang plagiator. Dia akan menerima saknsi sosial dan menjadi palajaran bagi yang lain untuk tidak mengulangi apa yang dilakukannya. Saya sering memberikan permaafan jika pelakunya adalah seorang jurnalis magang atau jurnalis pemula. Barangkali dia sedang dalam proses pencarian style kepenulisan. Barangkali dia tengah mencari gaya atau jurus dalam memulai suatu tulisan. Namun lain soal jika pelakunya adalah seorang jurnalis top dan pemimpin redaksi. Ini adalah sebuah bentuk kelalaian yang sukar dimaafkan.

Saya juga bisa berempati dengan kawanku yang tulisannya dijiplak. Sebuah tulisan adalah anak kandung dari seorang penulisnya. Sang penulis pernah mengalami proses hamil dengan gagasan, kemudian susah payah melahirkannya melalui proses menuangkan ide menjadi tulisan. Tulisan adalah anak kandung yang kita kenali betul bagaimana rupanya. Ketika ada seseorang yang menjiplak tulisan itu, pastilah kita akan keberatan karena anak kandung kita direbut secara paksa oleh orang lain. Saat tulisan kita dikutip beberapa paragraf, kita juga merasa keberatan karena anak kandung kita sedang didandani tanpa seizin kita. Makanya, saya bisa memahami bagaimana perasaan temanku yang tulisannya dijiplak tanpa izin tersebut.

Kasus jiplak-menjiplak ini bukanlah hal yang baru di dunia jurnalistik negeri ini. Hampir tiap tahun selalu saja kita dengar kasus serupa. Pertanyaannya, mengapa kasus seperti ini bisa terjadi dalam dunia jurnalistik kita? Saya menduga ada beberapa sebab yang bisa didiskusikan. Pertama, posisi seorang jurnalis senior seakan berada dalam sebuah dunia yang mapan. Ia tak pernah kesulitan untuk menunggu karyanya dimuat. Ini jelas sangat beda dengan posisi para jurnalis pemula atau para penulis opini yang selalu antre ketika punya tulisan. Nah, posisi ini kadang membuat sang jurnalis merasa besar kepala dan merasa menguasai banyak hal. Seorang jurnalis senior merasa sudah cukup lama malang-melintang sehingga merasa besar kepala bahwa dirinya itu besar. Kedua, jurnalis senior tidak lagi punya banyak waktu untuk turun lapangan, mengolah data dan fakta. Ia sudah tidak lagi punya semangat untuk berkeringat mengejar fakta, mengolah bahan-bahan, dan disajikan menjadi sebuah liputan yang menarik. Ia seolah berumah di tempat yang sangat mapan di kalangan para penulis, tanpa mengasah diri lebih jauh.

Ketiga, semakin tingginya intensitas di dunia media massa, membuat banyak pengelola media yang berpikir instant. Banyak yang berpikir untuk membuat tulisan ‘asal jadi’. Dipikirnya kalau dia punya nama besar dan sering jadi pemateri di banyak seminar sehingga apapun tulisannya akan dipuji-puji terus. Padahal, ia sesungguhnya sedang jalan di tempat, tanpa beranjak maju. Keempat, kualitas pengelola media sungguh memprihatinkan. Sangat jarang kita temukan jurnalis yang bergelar magister. Sangat jarang pula kita menemukan media yang secara kontinyu meng-update kapasitas para jurnalisnya. Ketika sang jurnalis hendak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, perusahaan media merasa rugi jika membiayainya. Padahal, sekolah bisa menjadi investasi jangka panjang yang kelak hasilnya akan dinikmati oleh pihak pengelola media tersebut.

Keempat, hal tersebut adalah pemetaan sementara mengapa terjadi kasus plagiat di dunia jurnalistik kita. Butuh satu proses kultural dan kerja keras untuk mengembalikan citra jurnalistik sebagai dunia kemalaikatan yang mengajari kita tentang kebenaran. Bagi saya, kasus ini adalah tamparan yang harus kita pelajari apa maknanya bagi kita hari ini.(*)


0 komentar:

Posting Komentar