Natal di Langit, Natal di Bumi


KEMARIN natal dirayakan dengan khidmat. Saya tak bisa melihatnya secara langsung, meskipun cuma lewat televisi. Melalui beberapa media cetak, saya bisa merasakan betapa syahdunya umat Kristiani merayakan natal. Melalui media cetak, saya bisa menghirup atmosfer perayaan tersebut. Saat berjalan-jalan, kemeriahan itu juga terasa. Saya sering melihat patung Santa Klaus yang menghela kereta yang ditarik rusa, gambar pohon cemara yang ditutupi salju, serta pohon natal yang indah dengan kerlap-kerlip lampu. Semuanya meriah, namun tetap khidmat dalam balutan religiusitas.

Saya tak hendak menguraikan bagaimana natal. Tidak. Orang Kristen sudah banyak menjelaskan makna perayaan tersebut. Saya hanya menjelaskan pandanganku yang menyaksikan ritual tersebut. Meskipun saya Islam, namun pandangan ini adalah pandangan pribadiku yang lebih melihat fenomena-fenomena sosial. Jujur saja, ritual Kristen belakangan ini banyak membersitkan kekaguman padaku.

Menyaksikan ritual Kristen belakangan ini, tampaknya saya harus menghancurkan demikian banyak berhala pengetahuan yang lama saya pelihara di benakku. Dulunya, saya selalu berpandangan bahwa Kristen identik dengan tradisi Eropa. Apalagi ada tradisi seperti Santa Klaus ataupun bangunan gereja yang identik dengan bangunan ala Eropa. Dulu, saya menganggap Kristen identik dengan ibadah dengan bahasa Inggris dan lagu-lagu ala gospel. Namun, belakangan ini saya sering menyaksikan wajah Kristen yang sangat ramah pada tradisi. Kekristenan yang kental dengan tradisi Eropa itu mengalami pembumian sehingga kita sedang menyaksikan ekspresi kultural Kristen yang berpijak di bumi. Kekristenan bukanlah wacana yang berdiam di langit dan jauh dari peradaban hari ini. Kekristenan adalah hal yang dekat dengan diri kita dan menjadi bagian dari ekspresi sehari-hari kultural masyarakat.

Dulunya saya berpandangan bahwa Kristen adalah Eropa. Kini pandangan itu seyogyanya direvisi. Kristen punya sisi lain, sebuah wajah ramah Indonesia yang sejak dulu dekat dengan tradisi kultural, sesuatu yang tumbuh dan berdenyut atau memberi napas bagi masyarakat kita. Hari ini, saya melihat foto di Kompas tentang perayaan natal di Gereja Gubug Selo Merapi di Magelang. Saya tersentuh. Saya sedang menyaksikan natal yang dipentaskan melalui pagelaran wayang kulit. Ada dalang yang memakai pakaian khas Jawa, serta para pendeta yang juga mengenakan pakaian Jawa.

Kemudian, saya membaca berita tentang banyak tempat di Jawa seperti gua atau pertapaan yang kemudian menjadi jejak petanda tradisi Kristen. Ini adalah hal yang unik sebab mensintesiskan Kristen dengan tradisi lokal sehingga sedemikian membumi. Artinya, orang Kristen tak selalu mengacu pada Vatikan untuk merasakan nuansa spiritualitas. Mereka bisa memilih ke Gua Maria di Jawa, sebagaimana orang Islam di Sulsel yang kemudian berhaji di Gunung Bawakaraeng. Inilah ekspresi kutlural atau cara-cara manusia untuk berjalan menaiki tangga menuju Allah demi menemukan makna dan kembali ke bumi sebagai manusia paripurna.

Sebenarnya, strategi kultural ini bukanlah hal baru. Strategi kultural ini sudah lama dijalankan para penyebar agama pada masa silam. Ketika dulunya Islam hadir, maka Islam juga masuk dalam tradisi dan ritual Hindu yang lebih dulu hidup di masyarakat. Islam mengalami sintesa atau perkawinan dengan tradisi lokal setempat yang bernuansa Hindu sehingga melahirkan sebuah Islam yang hybrid atau eklektik. Bagiku, itu tak salah sepanjang makna dan pesannya yang kudus itu bisa sampai ke pemeluknya. Sejarah Sunan Kalijaga adalah sejarah seorang tokoh yang pandai membaca gerak masyarakat dan mengambil unsur-unsur kebudayaan masyarakat itu untuk memperkenalkan ajarannya. Makanya, kita masih bisa menemukan kisah Jimat Kalimasdha yaitu dua kalimat syahadat yang dibaca oleh Pandawa. Atau tentang cerita Yudhistira yang bertemu Sunan Kalijaga dan kemudian masuk Islam. Sedemikian kuatnya sintesis itu sehingga Jawa mengalami Islamisasi secara total.

Sekarang apa yang terjadi? Islam mengalami gejala Arabisasi secara perlahan. Ketika globalisasi kian membuka batas antar negara, banyak wacana ala timur tengah atau Arab yang perlahan mengatur relung-relung kultural masyarakat. Mulai banyak ulama alumni universitas ternama di Arab yang datang dan memberikan penilaian pada Islam yang hidup di Indonesia hari ini. Mereka memberikan label bid’ah, sebuah pertanda penyimpangan dari ajaran yang sesungguhnya. Mereka menjadi “polisi“ akidah yang kian menjauhkan ekspresi Islam dari makna kultural di masyarakat kita. Bagiku, lembaga semacam FPI di Jakarta adalah bentuk Arabisasi keislaman Indonesia sehingga Islam kita ditarik merapat ke Arab Saudi. Sapaan orang Buton kepada Allah dengan kata “Waopu“ ikut-ikutan disebut bid’ah karena dianggap tidak punya preferensi historis pada Islam di Arab.

Dalam kondisi ketika tradisi mulai sekarat, Kristen hadir dan perlahan memberi napas. Kristen hadir dengan wajah yang kultural. Pendeta disapa Romo, Yesus disapa Kanjeng Pangeran. Kristen perlahan ditarik menjadi lebih membumi, dan tidak lagi identik dengan barat atau Eropa. Dulunya,saya menganggap mereka yang mempraktikkan etika Jawa adalah seorang Islam, kini tidak lagi. Jangan-jangan dia seorang Katolik sebagaimana sosok Franky Welirang yang berambut gondrong dan memakai baju Jawa. Ternyata dia seorang Katolik yang taat.

Makanya, ketika melihat natal tahun ini, saya demikian tersentuh. Natal itu bukanlah hal yang berdiam di langit. Damai Natal adalah pesan kemanusiaan universal yang menembus segala batasan bangsa dan kategori kelas yang dibuat manusia manapun. Damai Natal adalah pesan indah yang dibisikkan kepada manusia manapun. Bahwa natal adalah bisikan indah yang berdenyut di bumi dan sumsum kita. Selamat Natal!!!!


Depok, 28 Desember 2008


2 komentar:

syahadah mengatakan...

saya yakin anda tidak pernah membaca al-qur'an, kitab suci ummat islam, dan pasti tidak berani karena selama ini gereja mendoktrin anda untuk tidak membacanya. padahal iman yang sebenarnya adalah, iman yang diperoleh dengan jalan merdeka, untuk menemukan kebenaran. betapa banyak orang telah merasa sampai kepada kebenaran sesungguhnya, padahal ia hanya beriman karena dipahsa, dicekoki, didoktrin. ketahuilah, kebenaran itu dapat diraih dengan keberanian untuk membandingkan sesuatu yang kita yakini dengan apa yang diyakini orang lain.

Anonim mengatakan...

Ah syahadah, saya yakin anda juga ga pernah baca QURAN. Jika tau anda pasti tak kan ngomong spt itu!

KLIK -> FORUM MURTADIN (Eks MUSLIM) INDONESIA

SELURUH KEBOHONGAN ISLAM ADA DI BLOG INI!

Posting Komentar