Kata Pengantar Tesisku


(INI adalah catatan yang saya buat dalam bagian pengantar tesisku. Saya menuliskan kesan saya selama kuliah dan mereka yang membantu saya hingga lulus. Terima kasih buat semuanya. Silahkan klik link di bawah ini untuk membaca kata pengantar tersebut. Terimakasih)

TESIS ini adalah buah dari proses keja keras saya selama menempuh pendidikan di Universitas Indonesia (UI). Tesis ini lahir melalui proses menerjunkan diri, berkarib intim dengan realitas demi mengenali dan memahami, kemudian mengabadikannya dalam tulisan. Saya belajar berdisiplin untuk menyelesaikan sebuah karya yang kemudian menjadi kunci bagi saya untuk membuka gerbang kampus UI dan kembali ke dunia yang sesungguhnya.

Ada banyak tahapan proses yang saya lalui sehingga tesis sederhana ini bisa dikatakan sebagai refleksi dari cerminan perjalanan intelektual saya di UI. Jika diibaratkan sebagai bayi, maka tesis ini lahir melalui proses yang panjang dan berdarah-darah. Saya pernah berintim dengan realitas, kemudian hamil dengan gagasan-gagasan. Kemudian merawat gagasan itu selama periode tertentu, dan susah payah melahirkannya.

Tesis ini adalah anak kandung dari tradisi intelektualitas yang coba saya jagai dan dandani sepanjang waktu. Ketika banyak orang yang sinis pada mencibir pada wajah tesis ini, saya tetap tak berpaling dan akan setia melindungi dan mempertahankannya. Setidaknya, tesis ini adalah sejarah dan jejak yang berkisah tentang pencapaian saya pada suatu saat.

Saya sadar bahwa tesis ini sangat jauh dari sempurna. Tesis ini masih butuh kerja keras untuk dituntaskan. Saya juga paham bahwa tesis ini mungkin tidak menceminkan kualitas kesarjanaan seorang penyandang gelar magister. Namun, setidaknya semua proses tersebut telah coba saya jalani dengan penuh kesungguhan. Saya berusaha menjadi yang terbaik di tengah keterbatasan yang menjadi duri-duri kecil dalam perjalanan saya. Dua tahun yang lalu, saya mendatangi kampus ini dengan penuh rasa minder sebagai seseorang dari daerah terpencil yang hendak mengetahui bagaimana iklim belajar di kampus yang katanya terbaik di Indonesia.

Saya melalui semua tahapan, mulai dari ujian masuk, proses perkuliahan, diskusi, membaca, buat tugas, ujian proposal, menyusun tesis, hingga ujian. Semua tahapan yang digariskan pihak jurusan, saya jalani dengan penuh keseriusan. Saya pertama kali belajar membaca buku dengan teks bahasa Inggris. Tradisi intelektual di kampus saya sebelumnya tidak dibangun dengan standar yang sangat ketat seperti UI. Pertama kalinya pula saya jadi orang yang sangat rajin mengikuti perkuliahan hingga berhasil mendapatkan nilai-nilai yang baik. Semuanya saya lakukan hanya dengan satu tujuan yaitu meruntuhkan ego dalam diriku bahwa saya bisa menuntaskan kuliah di UI dengan hasil yang maksimal. Saya bertaruh dengan diri saya, apakah sanggup menuntaskan kerja ini ataukah tidak.

Konon, mereka yang hidup di belantara akademik adalah mereka yang berumah di atas angin. Mereka yang menempuh dunia akademik adalah mereka yang berdiam di langit-langit pengetahuan kemudian menafsir kenyataan dengan teliti. Dikepung hasrat yang meluap-luap, saya ikut berumah di atas angin laksana dewa selama dua tahun dan menjalani semua proses dengan sabar. Sayang, saya tak tuntas dengan kerja kelangitan itu. Sesekali saya harus kembali ke bumi untuk menjawab beban hidup. Terkadang, beban hidup itu begitu kuat mendera saya sehingga sering menjadi rintangan yang serius dalam penyelesaian studi ini. Sebelum kuliah, saya bekerja pada satu tempat yang cukup prestisius, namun saya tinggalkan karena padatnya jadwal kuliah. Selanjutnya saya bekerja pada satu perusahaan temanku yang kemudian gulung tikar hanya selang sebulan setelah saya masuk bekerja.

Dalam kondisi serba sulit itu, saya harus memutar otak bagaimana menyiasati beban hidup dan himpitan tugas di kampus. Saya akhirnya belajar dalam kondisi yang sulit dan membuat saya selalu menerobos batas antara dunia langit akademik dan dunia bumi sesungguhnya. Kondisi yang sulit itu mengharuskan saya untuk kreatif dan menyiasati semua keadaanku. Perlahan, saya mulai bisa menemukan irama untuk bertahan. Saya mulai bisa menemukan ritme menyiasati dua hal yang sungguh berat itu. Buktinya adalah saya bisa tiba pada titik ini. Saya berumah di atas angin dan berumah di atas bumi sekaligus. Jika belakangan rumah yang di atas angin itu porak poranda, maka itu adalah refleksi dari betapa beratnya menjagai rumah di atas bumi. Itulah kondisi yang harus saya jagai.

Dalam kondisi yang serba sulit tersebut, selalu saja ada uluran tangan malaikat-malaikat yang dengan caranya sendiri selalu membuat saya bisa bertahan. Mereka adalah orang-orang yang selalu setia menerima saya, meskipun sedang goyah. Mereka adalah bagian paling penting dalam seluruh episode perjalanan hidup saya dan betapa terkutuknya saya jika sampai mengabaikan mereka. Malaikat-malaikat itu adalah semua keluarga saya, mulai dari mamaku Hj Halma, Ismet, Tiah, dan Atun. Saya tak habis pikir dengan kebaikan luar biasa yang mereka pancarkan untuk saya. Saya tak habis pikir dengan butir-butir embun pertolongan yang mereka kucurkan buat saya. Ismet, Tiah dan Atun adalah saudaraku yang selalu hadir membantu di sejauh manapun saya melangkah. Mereka membakar api semangatku.

Sementara mamaku adalah cahaya lilin yang memandu ke manapun saya ingin bergerak. Tak terhitung rupa-rupa kebajikan yang dia berikan kepada saya. Saya hanyalah seorang anak yang bengal dan sering menyakitinya. Saya hanyalah seorang anak yang pembangkang dan selalu ingin lepas bagai merpati dan melanglangbuana ke mana-mana. Namun, ke manapun saya bergerak dan tersesat, ia selalu menjadi mercusuar yang memberiku cahaya pertolongan. Kemanapun saya bergerak, matanya akan selalu menjadi tempat kembaliku untuk menemukan kehangatan dan kasih sayang. Ia telah mentransformasi dirinya menjadi monumen kebajikan yang hadir dalam setiap lelah dan tak berdayaku. Ia adalah matahari yang tak pernah minta balasan dari bumi. Saya selalu tersungkur tak berdaya jika melihat betapa luasnya samudera kebaikan yang dia hamparkan untuk saya renangi dan selami. Mamaku adalah prasasti hidup dari kisah cinta seorang ibu yang tak pernah surut kepada anaknya. Seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk membesarkan buah hatinya. Setiap mengingat mamaku, saya selalu malu dengan diriku sendiri. Saya malu karena hingga saat ini tak bisa berbuat banyak. Tesis ini adalah sebuah komitmen sekaligus jalan pulang bagi saya untuk kembali merenungi cinta mamaku.

Bagian penting dalam penyusunan tesis ini adalah Dwiagustriani. Keikhlasannya untuk berbagi nasib dan takdir adalah anugerah terbesar yang pernah saya terima. Kebaikannya membantuku menghadapi semua masalah adalah tanda yang tak mungkin bisa kuingkari. Saya selalu melambungkan harapan agar kelak bisa memberikan balas atas semua kebaikannya. Semoga saatnya tak lama lagi.

Selain keluargaku, mereka yang juga menjadi bagian penting dariku adalah semua sahabat serta teman-temanku baik di Jakarta maupun Makassar. Sahabatku di Jakarta seeprti Adi Katak, Topan, Bulla, Irma, dan si kecil Ali adalah saudara di saat susah dan senang. Masih banyak nama lain, namun terlampau panjang jika disebutkan di sini. Kemudian sesama kerabat antrop angkatan 2006 yaitu Riri, Diah, Andi, Jaya, Gonjess, Mitha, Fikri, Ines, Kang Herry, Pak Azis, Pak Marko, Pak Murtadho, Pak Simon, dan Pak Pur. Terima kasih atas semua kebersamaan dan ikhtiar kita untuk saling membantu.

Tak lupa, segala rasa terima kasih saya haturkan kepada mereka yang berumah di langit-langit pengetahuan. Para dosen yang memberikan sentuhan ilmu serta ajaran kebijaksanaan. Mulai dari Dr Iwan Tjitradjaja (saya tak akan pernah lupa dengan segala masukan-masukannya yang kritis), Prof Achmad Fedyani Saifuddin yang memberikan saya kepercayaan besar (mungkin tesis saya telah mengecewakannya), Prof Sulistiyowati, Prof Susanto Zuhdi, Prof James Danandjaja, Dr Riga Adiwoso, Dr Suraya Affif, dan Dr Ninuk Kleden. Terima kasih atas semua kuliah-kuliah yang inspiratif dan akan mewarnai babakan kehidupan saya selanjutnya. Terima kasih juga buat staf program antrop yaitu Wati, Wiwin, Tina, dan Mas Tomi. Mereka yang dengan caranya sendiri telah membantu saya untuk melewati gerbang akademik dengan sukses. Terima kasih atas semuanya.

Rasa penghargaan tak terhingga saya berikan kepada semua kawan-kawan dan informan saya di Bau-Bau, maupun sudut lain di Pulau Buton. Informanku Hj Ainun Djariah, istri mantan Bupati Kasim, telah mengizinkan saya memasuki relung-relung pengalamannya yang mencekam. Ia telah mengajarkan saya ketabahan menghadapi hidup yang keras dan cara bertahan hidup bagai rumput liar. Dengan segala keterbatasannya, ia melayani saya untuk berdiskusi dan mengisahkan pengalaman pahit yang dijalaninya dengan harapan agar generasi muda Buton bisa paham apa luka kelam di masa silam. Kemudian informan lainnya seperti Suhufan, La Uma Dhadi, La Edi, La Ode Sabara, La Ode Anshari, dan La Ode Munafi. Terima kasih saya haturkan kepada Saidi yang setia mengumpulkan arsip kesaksian atas kejadian di masa itu. Tak lupa kepada kawan-kawan Respect yang menjadi instrumen bagi saya untuk mengumpulkan data. Terima kasih atas semua kebaikan itu.

Pada akhirnya, saya persembahkan semua pembaca untuk menelusuri tesis ini. Semoga ada inspirasi dan pencerahan yang bisa ditarik hikmahnya dalam karya yang sederhana ini. Selamat membaca!!!

Depok, 26 Desember 2008


M Yusran Darmawan


2 komentar:

Anonim mengatakan...

sungguh sebuah perjalanan panjang...selamat ya..

oeco mengatakan...

Menulis adalah proses reflesing & konsentrasi penuh untuk membuah suatu karya tulis dengan perjuangan menapaki perjalanan yang panjang dan penuh keiklasan untuk berhasil.

Posting Komentar