Jalan Spiritual, Jalan Kemanusiaan

BESOK Idul Adha akan diperingati. Jalanan sepanjang Lenteng Agung hingga Depok dipenuhi kambing dan sapi yang dijual secara massal. Banyak warga yang singgah membeli binatang untuk kemudian disembelih dan dibagikan pada keesokan harinya. Ada kebahagiaan yang di-share dan dirasakan secara bersama. Mereka yang memberi dan mereka yang menerima tiba-tiba saja lebur dalam satu kebahagiaan. Semua bersuka cita. Sementara saya hanya bisa menyaksikan dari sini. Saya hanya berdiam di kos-kosanku yang sempit, di tengah tumpukan buku dan berkas ujianku.

Saya memaknai peristiwa ini dengan cara berbeda. Bagiku, Idul Adha adalah sebuah ritual yang bertujuan untuk melestarikan sebuah ingatan tertentu. Idul Adha menjadi momentum yang diingat secara kolektif dan menyediakan ruang yang sungguh luas untuk diinterpretasi dan dikayakan maknanya. Sayangnya, ingatan dan ritual itu tak selalu linear. Ritual itu kadang tak berpretensi mengusung makna tertentu yang semestinya bisa dipetik dan dikenyam bersama. Ritual itu menjadi kosong dari ingatan. Ritual itu hampa dari hikmah yang berceceran secara acak dalam sejarah yang seharusnya ditautkan ulang.

Barangkali inilah dinamika dari ingatan kolektif. Ingatan kolektif bukanlah suatu ingatan yang sama sebagaimana dialami oleh suatu komunitas. Ingatan kolektif yang saya maksudkan adalah ingatan pada peristiwa bersejarah di masa silam yang dianggap penting dan kemudian diingat secara bersama di masa kini. Persoalan bagaimana wadah dan bentuk ingatan itu, orang bisa saja berbeda-beda atau tidak bersepakat. Namun kesemuanya bermuara pada satu isu yang sama bahwa peristiwa itu penting di masa silam sehingga diingat di masa kini demi menumbuhkan identitas dan mercusuar gerak manusia di hari ini.

Kisah masa silam yang hendak dilestarikan di sini adalah momentum ketika Ibrahim hendak menyembelih anaknya Ismail. Ibrahim, seorang filosof telah melalui masa remajanya demi menjawab pusaran pertanyaan di kepalanya tentang siapakah Tuhannya. Ibrahim adalah seorang filsuf yang mendaki bukti dan menuruni lembah dalam upaya perjalanan spiritual untuk menemukan siapa yang menciptakan semesta, bagaimana proses penciptaan, serta mengapa harus ada ciptaan. Ia menanyakan tiga hal yang selanjutnya menjadi pangkal dari isu yang dibedah semua aliran filsafat teologi di hari ini.

Kisah Ibrahim yang paling menyentuh hatiku adalah ketika ia menghabiskan malam dengan kontemplasi dan memandang bulan, kemudian bertanya, “Itukah Tuhanku?“. Di siang hari, ia kembali memandang matahari yang bersinar lebih terang dan kemudian bertanya pada dirinya, “Inikah Tuhanku?“. Pertanyaan itu menjadi awal yang membawanya pada berbagai spekulasi filosofis. Sayang, sejarah tak banyak berkisah bagaimana Ibrahim menemukan pencerahan tersebut. Apakah ketika duduk di bawah pohon bodhisatwa sebagaimana Buddha? Ataukah ketika duduk dalam gua sebagaimana Muhammad? Persentuhan Ibrahim dengan Tuhan tak banyak dibahas sehingga saya menarik simpulan: barangkali pencerahan baginya adalah titik paling puncak dari kontemplasi spiritualnya. Ibrahim melakukan perjalanan spiritual dan akhirnya menemukan Tuhan sebagai puncak dari aktivitas mengasah rasio dan merajut pertanyaan filosofis. Jika kemudian Ibrahim menjadi bapak dari tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi, maka itu adalah manifestasi dari pencariannya yang sedemikian panjang.

Saya menduga, keberagamaan Ibrahim adalah spiritualitas yang tanpa bentuk, bebas dan mengalir seperti udara. Barangkali ia hanya punya semacam insight atau percikan-percikan kearifan yang tidak diformalisasi dalam agama. Ia hanya punya kilasan-kilasan jawaban dan tidak pernah berniat menyusun jawaban itu secara metodologis. Ia tak mau menjelmakan ingatan personalnya dalam struktur atau kolektivitas. Dengan cara itu, ia menihilkan konflik dan kontestasi. Agama adalah soal ingatan personal dan perjalanan menggapai Tuhan. Ia tak berhasrat memformulasi keyakinan menjadi kesadaran kolektif sebagaimana pandangan Durkheim tentang the elementary form of religious life. Manusia bisa menggapai keyakinan dari berbagai sisi, sebagaimana ketika mendaki Gunung Bawakareng, kita bisa lewat Gowa, Maros, atau lewat Bulukumba. Ibrahim hanya punya gambaran-gambaran yang bersifat makro, tanpa mengurainya dalam detail-detail ritual sebagaimana agama hari ini. Jika kemudian Musa, Isa, dan Muhammad hadir, maka mereka hanyalah penyempurna dari insight atau pencerahan yang dialami Ibrahim. Makanya, sosok Ibrahim adalah titik awal sekaligus titik temu dari tiga agama besar yang saat ini sering berkonflik dan berkontestasi.

Barangkali insight itulah yang selama ini menjadi nurani yang mengendalikan gerak Ibrahim. Historisitas bagi Ibrahim adalah upaya mempraksiskan gagasan ke dalam tindakan. Historisitas Ibrahim adalah upaya melaksanakan semua perintah nurani yang dimulai dari kegelisahan dan selanjutnya mengalir secara dialektis dalam kesadarannya. Pada suatu malam ia bermimpi bahwa Tuhan memerintahkannya untuk segera menyembelih putranya Ismail. Pada titik ini, Ibrahim dilanda dilema. Jika Tuhan adalah sebuah titik di mana segala orientasi diarahkan, maka manusia bisa terjebak pada menuhankan banyak hal. Ketika manusia berpikir bahwa uang adalah titik orientasi, maka saat itu juga ia telah menuhankan uang. Makanya, atheis bukanlah musuh keyakinan, sebab ada kesadaran mencari Tuhan dalam diri manusia. Musuh keyakinan adalah politheisme yaitu membanyak-banyakkan Tuhan atau orientasi dalam hidup.

Ibrahim menyadari itu. Tatkala hari-harinya dipenuhi gambaran tentang Ismail, maka ia seakan lupa pada tujuan utamanya yaitu pencerahan dan jalan nurani. Ismail menjadi orientasi baru yang menjauhkannya dari jalan yang semula dipilihnya. Ismail menjadi kabut yang menghalangi pandangan jernihnya tentang hidup dan kehidupan. Episode yang paling menggetarkan saya dalam kisah ini adalah ketika Ismail dengan ikhlas menyerahkan lehernya untuk disembelih. Ternyata Ismail justru mencapai pencerahan pada usia yang sangat muda, sesuatu yang digapai dan diidam-idamkan Ibrahim setelah lama berkelana. Ismail mencapai titik paling puncak dari keyakinan yaitu keikhlasan berkorban yang dilandasi kesadaran bahwa keyakinan tentang Tuhan sebagai titik akhir orientasi adalah oksigen yang memberi napas bagi semesta dan gerak manusia. Dalam usia muda, Ismail paham kegelisahan ayahnya yang dipenuhi imajinasi tentang dirinya adalah jalan menyimpang dari jalan spiritualitas. Dengan cara mengorbankan diri, ia telah meluruskan jalan menyimpang ayahnya sekaligus mengalami kebersatuan atau penyatuan mistis dengan Tuhan, sesuatu yang lama didambakannya.

Keyakinan keduanya berdialektis hingga turunlah perintah dari langit. Saya memaknai episode ini bahwa keduanya kemudian mencapai perjumpaan filosofis yang sama. Keduanya bersepakat bahwa pengalaman yang mereka jalani menyimpan butiran hikmah bahwa manusia memang bisa lalai dan tunduk pada orientasi berbeda. Manusia bisa salah dan memilih jalan belok, namun kesadaran kemanusiaan dan spiritualitas akan menjadi rambu-rambu yang kembali meluruskan jalan manusia. Kesediaan berkurban adalah kesediaan untuk tetap meniti pada jalan lurus kemanusiaan dan memberi makna bagi manusia lainnya. Keduanya sama-sama tersenyum dan menyadari bahwa jalan terbaik untuk menggapai Tuhan adalah kesediaan berkorban untuk sesamanya. Kesadaran spiritualitas itu dijemakan dalam situasi tatkala semua manusia sama-sama tersenyum bahagia. Pada akhirnya, jalan spiritual adalah jalan kemanusiaan. Episode ketika Ibrahim mengganti Ismail dengan daging kambing kemudian dibagikan pada orang lain menjadi simbol bahwa kesadaran spiritualitas itu akan tercapai ketika seseorang memberikan kebahagiaan pada sesama. Ternyata, jalan Tuhan itu tidak terletak di langit. Jalan Tuhan itu terletak pada seberapa banyak manusia lain yang tersenyum bahagia dengan kehadiran kita, dengan tangan kasih yang kita ulurkan.

Sekarang, tatkala peristiwa itu jauh berlalu dalam sejarah, apa jejaknya yang tersisa? Apakah pesta membagikan daging, ataukah pesta memukul beduk?



Depok, 7 Desember 2008
www.timurangin.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar